Bab 3 : Perpisahan Pertama

8 4 1
                                    

Tahun-tahun mulai berganti, kini Ava kecil sudah hampir menyelesaikan masa sekolah dasarnya.

Acara perpisahan sekolah. Dimana semua orang turut hadir dan bersenang-senang sebelum akhirnya semua bener-benar usai.

"Mama, hari ini perpisahan sekolah, mama datangkan? Mama udah janji waktu itu" Ujarku yang menagih apa yang telah beliau ucapkan sebelumnya.

"Ka, maaf ya, mama ada rapat, sama papa aja. Mama berangkat yaa" Balasan macam apa ini, mama melenggang pergi setelah mengusap lembut kepala ku.

"Mah, terus nanti foto-fotonya gimana?" Ucapku, namun sangat terlambat, mama sudah pergi dengan mobilnya.

Baiklah, tersisa papa dilantai atas sebagai harapan. Batinku

Aku bergegas keatas, namun aku sudah menemukannya sebelum sampai ke atas.

"Pah, papa. Hari ini acara perpisahan sekolah mama gabisa ikut, papa mau Dateng ga? Gantiin mama" Aku yang sedikit memelas kepadanya

"Lho mama gimana sih? Katanya dia yang mau nemenin kamu" Beliau tidak bisa diam, jadi dia berbicara sambil mondar mandir mengurus keperluannya.

Apa aku akan sendirian hari ini? Mereka sibuk sekali. Batinku

"Terus aku gimana?" Aku semakin memelas, siapa tau beliau akan prihatin. Tapi malah aku yang prihatin sama papa. Sebegitu pentingkah uang untuk dirinya dan mama, sampai ia tidak sempat melihat anaknya tumbuh.

"Kamu jalan sendiri aja ya, Adik dijagain yang bener, kalau pulang jangan misah. Papa gabisa, ada yang harus papa urus" Akhirnya beliau berhenti melakukan aktifitasnya, tapi aku tetap terbengkalai.

Gatau udah lelah banget, aku saat itu akhirnya pergi hanya berdua dengan adik diantar supir kami. Kami satu sekolah. Jadi kelas dia ikut merayakan perpisahan.

Disaat semua berdandan rapih, aku hanya pakai kebaya seadanya, dan tidak di makeup. Teman angkatanku yang lain berdandan layaknya memang akan menjadi seorang tamu penting, karna ini acara perpisahan kami.

Sedangkan aku? Aku seperti seorang anak yang terpisah dari ibunya di kondangan. Adik bersama temannya, aku sendiri. Mereka yang pernah kukenal tidak ada yang betah duduk diam. Mereka pasti akan pergi kesana kemari untuk berfoto. Aku? Dahlah dahlah

Penampilan demi penampilan tersembahkan, Hingga acara inti pun sudah terlaksana. Aku masih berharap, kedua makhluk Tuhan yang sibuk ini akan memberi kejutan dan datang menemuiku.

Nihil

Sampai acara hampir selesai mereka tidak kunjung datang. Aku sudah mulai muak, adikku meminta untuk pulang, untung saja adik ku juga sudah tidak betah disana.

"Mama papa gadateng?" Tanyanya disaat perjalanan kita menuju rumah.

Iya jalan, gadijemput ini sama supir, kami tidak memberitahu kami pulang cepat. Orangtua kami? Sibuk mereka, jangan diganggu ya guys.

"Gatau deh, jangan tanya!" Duh adik, maap yaa, tapi aku sedang marah

Dia tahu apa yang aku rasakan, dia mengganti topiknya mencoba menghibur, kami bercanda tawa sepanjang jalan, menghilangkan kesedihan dihati kami.

Diperjalan, banyak mata yang menatap aneh. Bagaimana tidak, kalian juga pasti tau apa yang mereka pikirkan.

Setiba dirumah

"Ini mobil papa masih ada, papa ga kerja?" Tanya adik, heran

"Belum berangkat mungkin, atau ada yang mau diambil nanti pergi lagi" Jawabku sepositif mungkin

"Assalamualaikum Warahmatullah" Ucap kami kompak

"Waalaikumsalam Warahmatullah, neng udah pulang? Naik apa? Kok gabilang ke mba?" Yap beliau mba Dewi, setia dan jujur. Dia sudah seperti ibu sendiri bagiku, gatau adik menganggap dia sebagai apa

"Mba, papa mana? Kok tumben mobilnya masih di garasi" Tanyaku

"Ohh itu, Tuan lagi tidur di kamarnya. Sini non, mba bantu bawa tas nya" Ucap mba Dewi

"Papa ga kerja mba?" Tanya ku bingung

"Ngga non, Bapak ambil cuti katanya, makanya dia bilang dia mau tidur dulu" Gini nih yang aku ga suka, kejujuran yang menyakitkan

Aku diam, sedikit syok, gemetar menahan tangis, mau menjerit rasanya.

"Non, non Ava kenapa?" Bahkan beliau ini yang bukan anggota keluarga bisa sekhawatir ini sama aku, masa mereka ngga?

Aku terbungkam, gabisa ngomong apa-apa. Aku hanya bisa menggeleng lemas dan pergi menuju kamar ku.

Dinding kokoh ini, dia yang melindungiku sekali lagi. Melindungi dari tatapan ke khawatiran para pembantu rumah ini. Tatapan iba dari meraka. Sedangkan tidak dengan orangtuaku. Mereka tidak peduli.

Nangis sih ngga, namun perkataan dan kejadian hari ini terus diputar ulang oleh pikiran ku.

Segala ekspetasi terkubur didalam sepi. Betapa teringat jelas, setelah acara inti pelepasan, mereka yang turun dari panggung disambut orangtuanya, di peluk dan dicium. Ada yang foto bersama, bahkan kedua orangtuanya dateng. Sedangkan aku? Cuma adikku yang mendekat dan ngajak pulang.

Kukira keharmonisan selama ini akan membuat ku merasa bahagia. Dan aku kira melihat mereka yang kadang sering dirumah, akan membuatku lebih beruntung.

Tapi kenapa makin hari, hanya pembantu dirumah ini saja yang memanggil ku, melihatku dan khawatir kepadaku. Orangtuaku, jangankan memanggil, menatap anaknya saja tidak.

Tangisku tak terbendung. Aku hanyut didalamnya

##################################

Aku tidak seperti keluarga yang lain. Liburan panjangku diisi dengan kesibukan untuk daftar ke sekolah baru ku. SMP. Masa dimana aku kira aku bisa lebih leluasa untuk rehat sejenak, dan kembali menjadi diriku di versi baru yang lebih baik. Agar aku dapat memperoleh prestasi dijenjang sekolahku berikutnya. Dapat banyak teman, dan mengikuti organisasi.

Tapi ternyata, hanya sebatas ekspetasi.

Banyak hambatan terjadi saat proses pendaftaran, Aku kekurangan nilai saat seleksi masuk ke SMP negri, yang mengharuskan aku duduk sementara di bangku swasta.

Bahkan untuk duduk di swasta saja, banyak drama yang terjadi.

Dari aku yang gabisa masuk ke sekolah A karna gada bangku kosong. Ke sekolah B tidak bisa masuk karna tidak lulus tes. Ke sekolah C gagal juga, lebih tepatnya digagalkan karna katanya kemahalan, dan belum tentu kualitas terjamin.

And, here i am. Sekolah antah berantah, lingkungan yang terbilang toxic, teman-teman yang hampir semua membangkang aturan. Kualitas yang sebanding dengan SPP yang terbilang murah. Aku yang memilih. Bukan berarti menyesal, toh aku akan pindah jika di Sekolah Negri yang ku inginkan ada bangku kosong. Papa berjanji akan hal itu.

Namun, tidak sejalan seperti yang kukira. Perpisahan sekolah waktu itu, hanya menjadi awal keterpurukan semakin menjadi. Aku semakin down, tidak punya teman, dipojok, sendirian, sering sakit tapi tidak ada yang tahu. Toh mereka kenal aku juga tidak. Dan berlangsung hingga aku masuk kelas 9. Apa ini, bahkan tugas kelompok pun aku malah sendirian. Setidaknya aku bisa sedikit fokus dengan pembelajaranku, walau aku terbuang, namun namaku selalu masuk 10 besar, bahkan pernah peringkat ke-5 siswa paralel. Tapi tetap, mereka tidak mengenalku. Dan tidak sedikit yang menyangka aku anak baru. Poor me.

Di kelas 9. Setelah namaku masuk urutan 10 besar siswa paralel. Setidaknya ada beberapa orang yang ingin mengenalku, dan berteman dengan ku. Karna menurut mereka aku adalah jawaban atas doa-doa mereka yang selalu bingung mengerjakan tugas.

Udahlah gapapa dimanfaatin yang penting masih bermanfaat. Pikirku kala itu.

Mereka yang punya kebiasaan pergi main bersama, sewaktu-waktu mereka mengajakku, dan inilah saatnya bagiku untuk uji nyali.

Dibalik DindingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang