•9

934 254 14
                                    

|Why We Should Break Up|

***

Jeffrey kini berada dalam mobil, melajukan kemudi membelah jalanan Soekarno Hatta dengan Lisa yang berada di kursi sebelahnya. Pemuda itu berulangkali mengarahkan pandangannya pada wajah Lisa. Menatap khawatir gadis tersebut yang terus mengarahkan pandangannya ke jalanan dari balik kaca mobil disampingnya - tanpa suara.

Sudah satu jam berlalu, sejak Lisa keluar dari rumah Damian dengan kondisi yang terlihat kacau. Entah apa yang mereka berdua bicarakan, Jeffrey tak tahu-menahu. Dirinya hanya diminta menunggu didalam mobilnya. Dan kini, disinilah mereka berdua. Mengelilingi jalanan kota Jakarta atas permintaan gadis disebelahnya yang berkata tak ingin langsung pulang ke kosnya.

Merasa kondisi ini terlalu meresahkan pikiran Jeffrey, ia memutuskan untuk menepikan mobil mereka. Dirinya sudah tak tahan lagi, Jeffrey pun melepas sabuk pengamannya dan meraih wajah Lisa. Membisikkan beberapa pertanyaan dengan hati-hati seolah gadis dihadapannya adalah sesuatu yang rapuh bahkan mudah pecah kapanpun itu.

"Hey, Lis. Are you okay right know? Did you want to tell me something? Jangan dipendam sendiri, lo bisa berbagi." Jeffrey menatap dalam manik mata Lisa. Namun hal tersebut justru membuat bahu Lisa bergetar. Tangis yang sedari tadi ia coba tahan pecah begitu saja. Jeffrey sudah tidak kuasa menahan emosi yang bergejolak didalam dirinya. Perlahan ia raih sang gadis kedalam pelukannya. Membiarkan Lisa menangis sepuasnya hingga membasahi kemejanya. Dengan penuh hati-hati Jeffrey beranikan dirinya membelai lembut surai dirty blonde gadis itu.

"Gue bodoh Jef, gue bodoh! Gue tau dari awal kalau gue bakalan kalah. Tapi kenapa gue tetap bersikukuh sama pendirian gue yang justru itu bikin gue makin sakit!" Ucap Lisa ditengah isak tangisnya.

Melihat gadis yang ia cinta terlihat rapuh dan menderita, justru semakin membuat hati Jeffrey sakit. Jeffrey menepuk-nepuk pelan punggung Lisa. Mencoba menyalurkan ketenangan yang ia harap bisa membantu.

"Cinta itu bukan kompetisi Lis. Nggak ada menang atau kalah." Ujar Jeffrey masih merengkuh tubuh Lisa, memberikan kenyamanan ditengah tangisnya.

"Gue benci sama diri gue sendiri. Kenapa susah banget buat lepasin dia. Padahal gue tahu persis gimana akhirnya. Dan lo tahu apa yang paling gue benci Jef?" Pertanyaan retoris dari Lisa membuat alis Jeffrey bertaut bingung.

"Fakta bahwa saat gue tahu ada Ajeng disana. Sebagian kecil diri gue berharap mereka selingkuh aja sekalian. Biar gue nggak terlalu mengenaskan. Hhh..." Lisa terdiam sejenak, menertawakan dirinya.

Dapat ia rasakan Lisa mulai mengurai pelukan diantara mereka. Dan kini tengah menghapus bulir bening yang masih mengalir dipipinya. Jeffrey menatap Lisa prihatin, gadis itu terlihat sangat kacau. Lebih kacau dengan mata sembab yang masih memerah.

"Gue harus apa sekarang Jeff?" Tanya Lisa, dirinya terlihat lelah.

Jeffrey tersenyum lembut. Satu tangannya bergerak untuk menghapus air mata yang keluar dan membasahi pipi Lisa.

"Sebenarnya tanpa lo tanya pun, lo udah tau jawabannya Lis." Jeffrey berhenti sejenak, mempertimbangkan untuk meneruskan perkataannya atau tidak.

"Tau nggak Lis, seseorang pernah bilang. Sebelum kita mencintai oranglain, kita harus belajar mencintai diri kita terlebih dahulu. Karena apa? Karena cinta itu juga tentang berbagi. Harusnya dengan cinta lo bisa dapat kebahagiaan dua kali lipat dari sebelumnya. Tapi kalau nggak, itu sama aja nyiksa diri lo sendiri." Jelas Jeffrey hati-hati.

Jeffrey menatap Lisa lagi, mencoba menyelami manik bambi yang sedari dulu menjadi salah satu sumber kebahagiaan tanpa syarat untuknya. Menyaksikan mata tersebut tersirat luka, entah kenapa sangat menyakitkan baginya.

Jeffrey bahkan telah berusaha merelakan Lisa untuk sahabatnya. Jika itu artinya Lisa bisa bahagia. Tapi menemukan kenyataan yang sebaliknya, justru membuat Jeffrey siap melayangkan tinju dihadapan Damian saat ini juga.

"Gue pikir gue udah berusaha selama ini Jef. Gue berusaha sabar dengan harapan dia bakalan buka hati buat gue suatu saat nanti." Ucap Lisa perih.

"Meskipun gue nggak pantes ngomong kayak gini. Tapi Lis, lo udah menunggu selama ini. Dan..." Jeffrey menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Lo harus tahu kapan waktunya buat merelakan. Menyerah nggak bikin lo kalah. Dan lagi, lo berhak juga buat dicintai. Udah terlalu lama lo sakit hati Lis." Imbuh Jeffrey.

Lisa mengacak rambutnya frustasi sebelum akhirnya menyandarkan tubuhnya secara kasar. Matanya kini terpejam, "Jeff, gue butuh waktu buat berpikir. Bisa anter ke kos gue sekarang?" Pinta Lisa yang langsung mendapat anggukan dari Jeffrey.

Jeffrey memposisikan dirinya menghadap kedepan dan memajukan tuas kendali. Kembali melajukan mobilnya diatas aspal hitam kota Jakarta. Percakapan malam itu ditutup tanpa suara. Menciptakan keheningan disepanjang jalanan ibukota.

***

Lisa disini jadi cewek yang rapuh, mleyot dan sangat mudah terdistraksi ya :")
Andaikata aku jadi Lisa udah gemes pen nyakar sana sini atau main classy, langsung cau tinggalin Damian. Tapi sadar atau nggak, disekitar kita juga ada cewek bahkan nggak menampik cowok juga yang udah tahu didalam suatu hubungan dia tersakiti. Tapi tetep aja masih cari celah/mungkin alasan buat bertahan.

_Don't forget to click star and comment if you enjoy my story and thank's for coming_

✔ Why - We Should Break Up (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang