•3

915 248 21
                                    

|Why - We Should Break Up|

***

Lisa bergerak-gerak gelisah sedari tadi. Menimbulkan bunyi decitan dikasur miliknya seiring dirinya berganti posisi. Rose yang terlihat terlelap pun pada akhirnya terbangun dan mendengus kesal sembari meniup-niup poni miliknya.

"Lis, lo tau kan. Jam dua siang ini kita ada kuliah. Please, gue nginep dikosan lo buat sleeping beauty, bukan buat main jungkat-jungkit." Gerutu Rose yang kini berganti posisi miring menghadap Lisa, sahabatnya.

"Duh Rose... Ini pasti ada yang nggak bener tau nggak!" Rengek Lisa kali ini. Bahkan dirinya bangun dari posisi tidurnya dengan kasar hingga membuat Rose sedikit terpental akibat gerakan Lisa yang tiba-tiba.

"Buset dah, kan! Ini dari mulai setengah jam yang lalu nih. Badan gue kepental-pental. Bukannya tidur tenang malah nyeri semua. Nyesel gue numpang di kosan lo." Gerutu Rose yang kini bangun dari posisinya dengan keadaan rambut yang mencuat kemana-mana. Dan jangan lupakan raut muka kesal yang terpasang diwajahnya.

"Kenapa sih?! Bete gue liat lo kayak cacing kepanasan. Nggak bisa diem dari tadi, heran deh!"

"Yee... Harusnya gue yang bete ya. Inikan dari awal saran dari lo!" Tukas Lisa.

Rose yang mulai mengerti kemana arah pembicaraan mereka langsung memutar bola mata malas. Membenahi rambutnya yang berantakan, kini dirinya memfokuskan atensinya pada Lisa yang tengah uring-uringan. Rencana awal Rose untuk mengisi baterai kehidupannya alias tidur siang sebelum memulai perkuliahan telah gagal. Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa Rose lakukan selain mendengarkan keluh kesah sahabatnya yang satu ini.

"Sini cerita sama mami Rose. Ada masalah hidup apa lagi sih dirimu duhai Lalisa." Ucap Rose hiperbola. Meski begitu, Lisa tetap memutuskan untuk menceritakan kejadian yang mengganggu benaknya sedari tadi.

"Lo tau kan..."

"Ya nggak tau kan belum cerita." Sela Rose yang berakhir mendapat timpukan boneka beruang dari Lisa tepat mengenai wajah.

"Duh Lisa!"

"Ya makanya dengerin!"

"Iya, Iyaaa... Maaf. Lanjut gih, diem beneran ini."

"Awas kalo nyela!" Ancam Lisa yang membuat Rose mengangkat tangan kanannya membentuk tanda peace dengan raut muka yang dibuat seimut mungkin.

"Hehe...peace."

Lisa menghela nafas dalam sebelum akhirnya menghembuskannya secara perlahan.

"Lo tau kan selasa kemarin gue sempet ngambek sama Ian. Chat gue juga awalnya belum sempet dibaca apalagi nggak terkirim. Dan dia bisa ngasih kabar di grup baseball, tapi nggak ngabarin gue sama sekali."

Rose mengangguk-ngangguk faham, "Iya tau kok. Malemnya lo uring-uringan nggak jelas sampai ngelempar bantal ke gue kan. Pegelnya masih sampai sekarang tau!"

"Hehe... Maaf ya Rose, jangan ngambek." Ucap Lisa seraya menggoyang-goyang lengan Rose.

"Iya, iyaaa... Udah gue maafin. Lanjut lagi ceritanya, keburu masuk kelas nih bentar lagi."

"Oh iya! Nah, habis itu kan lo nyaranin buat ngejauh aja sementara dari Ian daripada gue tambah emosi. Tapi kenapa gue ngerasa udah tiga harian ini Ian jadi ikut ngejauhin gue ya Roseeeee.... Gue harus gimana?!" Rengek Lisa yang kini mencubit-cubit boneka pikachu miliknya.

Rose yang melihat itu berdeham perlahan. Membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba gatal, sebelum memutuskan untuk menimpali perkataan Lisa.

"Ya, yaa... Mana gue tau sih Lis. Cara itu selalu ampuh kalau gue coba ke Juned. Hehe, dia pasti bakal balik perhatian ke gue. Ya mana tau kalau responnya waktu di uji coba ke Damian nggak sama."

"Ih... Roseee. Itumah Junenya yang bucin sama elo, tau! Giliran sama Ian dianya jadi dingin kali, mana cuek bebek lagi. Arrghhh... Pusing jadinya gue, Rose sih...." Gerutu Lisa yang kini tengah mengacak rambutnya Frustasi.

"Lho lhoo... Kok lo jadi nyalahin gue sih. Kan gue itu cuman memberikan alternatif dari rumusan masalah yang lo alamin. Nah, masalah penerapannya dikehidupan percintaan elo mah hasil akhirnya pasti beda-beda. Tergantung subjek dan variabel ya!" Jelas Rose panjang lebar yang membuat Lisa menatap dirinya bingung.

"Hasil akhir di elo nggak sesuai ekspektasi mah masalahnya ada di subjeknya, si Damian yang kayak ubin masjid itu! Variabelnya ada di lingkungan sekitar. Lihat aja tuh dia nempel kemana-mana sama geng baseball yang dimana ada anak baseball otomatis disitu juga ada Ajeng!" Tambah Rose yang kini terlihat menggebu-gebu saat memberi penjelasan pada Lisa.

"Ya tapi kan Ajeng itu sahabatnya Ian Rose." Lisa memberikan pembelaan. Masih belum sepenuhnya menerima apa yang Rose jabarkan.

"Ya maka dari itu karena Ajeng sahabatnya. Lo sadar nggak sih Lis, selama ini cuman jadi yang kesekian. Apa-apa pasti Ajeng duluan." Imbuh Rose yang sontak membuat Lisa terdiam. Seolah-olah mendapat tamparan keras lewat ucapan sahabatnya itu yang naasnya memang benar adanya.

"G..gue tau kok. Ya itu karena kita baru jalan beberapa bulan aja sih. Mana bisa gue gantiin posisi Ajeng yang udah sahabatan berapa tahun, bahkan mungkin nggak akan bisa. Tapi seiring berjalannya waktu, gue pasti bisa jadi salah satu prioritas utama Ian kok." Ucap Lisa yang terkesan menghibur dirinya sendiri.

"Nggak usah nunggu berjalannya waktu Lis. Kalau Ian udah beneran berani ngungkapin cinta ke elo, harusnya disitu juga Ian tahu kalau elo itu termasuk salah satu orang yang patut dijadiin prioritas."

Ingin rasanya Rose memberitahu isi fikirannya. Tapi tanpa diberitahu pun pasti Lisa sudah faham. Hanya saja akan percuma jika memberitahunya hal tersebut saat ini. Karena rasa yang dimiliki Lisa untuk Ian yang membuatnya menampik segala kenyataan yang ada.

Rose hanya bisa menghela nafas pasrah, berharap yang terbaik untuk hubungan sahabatnya.

"Terus, apa yang mau lo lakuin selanjutnya?" Tanya Rose yang membuat Lisa menopang dagu berpikir sebelum akhirnya menunjukkan raut wajah yang lesu.

"Mau gimana lagi. Ya gue harus bicara lagi lah sama Ian. Nggak enak tau diem-dieman sama pacar sendiri, kita kayak lagi perang dingin aja." Ujar Lisa.

"Ya kan kenyataannya emang gitu." Sindir Rose yang mendapat lirikan tajam dari Lisa.

"Hehe... Iya iyaa. Nah, udah mau jam dua nih, ayo buruan beres-beres. Takut gue kalo telat kelasnya pak Subedjo. Nanti yang ada kita diselepet pake kumisnya yang mirip sama patil lele." Dalih Rose yang kini buru-buru beranjak dari kasur kebesaran milik Lalisa. Dan berlari menuju kamar mandi. Membuat Lisa terkekeh pelan melihat tingkah sahabatnya yang satu ini.

Segera Lisa menyambar ponsel miliknya dan mengetik beberapa kalimat untuk seseorang yang sedari tadi menjadi topik utama pembicaraan mereka.

Ian, besok sore bisa bicara?

Terkirim

Dibaca

***

_Don't forget to click star and comment if you enjoy my story and thank's for coming_

✔ Why - We Should Break Up (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang