6 - Topeng Penutup Kesenduan

18 3 18
                                    

Tidak biasanya rumah Jenna terlihat sangat berantakan, ia sengaja mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam lemari pakaiannya. Dokumen-dokumen penting, dan koleksi baju-bajunya berserakan tak beraturan di lantai. Jenna bertinggung lemas di lantai, dengan pikiran yang carut marut. Malam itu ia baru menyadari bahwa ada satu benda rahasia hilang dari rumahnya.

Tenang Jenna itu ngga akan hilang, ia berbisik kepada hatinya. Jenna tidak bisa membayangkan jika benda itu benar-benar hilang dan ditemukan oleh orang lain.

"nggak mungkin hilang. Pasti ada di sini." Ujarnya. Ia menyemangati dirinya sendiri untuk terus mencari benda yang hilang itu. Namun benda itu tidak ditemukan juga hingga akhirnya ia menyerah dan terpaksa membenahi seluruh barang-barang yang tergeletak itu. Ia memandangi seluruh benda yang tergeletak, dan tidak tahu harus mulai dari mana untuk merapikannya.

Setelah selesai membenahi seluruh barang-barangnya, ia duduk di atas Kasur sambil termenung. Kemudian ia mengambil sebuah buku catatan kosong dan memutuskan untuk menuliskan keresahan hatinya disitu.

(Sungguh aku tidak ingin mengulang penderitaan, tolong kasihani batin ku Tuhan!, Ketika hakikat percikan masa lalu yang menjadi muara ketakutan, kesakitan, kegelapan dan ketidakmampuan. Tapi aku sudah mengubahnya, bukan?. Saat ini semuanya tidak perlu tercium seperti bangkai yang membuka tabir. Namun tatkala kelemahan teruntai gamblang, dan waktunya lengah menjadi takdir. Maka tamatlah riwayat ku !!)

Jenna mengangkat kepalanya dan melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Terlihat jarum Panjang hampir sejajar dengan jarum pendek di angka 12. Lalu ia menutup buku catatan barunya itu dan menaruhnya di atas Kasur. Ia berjalan menuju cermin yang berdiri di atas meja riasnya dan menatap dirinya sendiri.

"sudahi penderitaan batin ini !" Jenna berbicara kepada dirinya sendiri di depan kaca. Tanpa disadari air matanya menetes. Ia mencoba untuk tersenyum. Namun ia hanya bisa tersenyum pahit.

Ia kembali ke tempat tidur, dan merebahkan tubuhnya, lalu tak lama ponselnya berbunyi, seseorang mengirimkan pesan singkat tengah malam. Pesan itu dari Linda, sahabat lamanya.

Linda

Selamat ulang tahun sahabat karib ku. Semoga engkau bahagia selalu. Dan semoga aku selalu menjadi orang yang pertama mengucapkan itu disaat ulang tahun mu.

Jenna

Kamu selalu menjadi orang yang pertama sis !, By the way, apa kabar ?

Linda

Maaf tidak ada brownies dengan lilin yang meluncur ke tempat mu seperti sepuluh tahun yang lalu.

Jenna

Sekarang Brownies itu sudah menjadi cerita lucu. Makasi sudah menjadi pengingat hari ulang tahun ku. Dan aku semakin lupa hari itu.

Linda

Jangan begitulah !, carilah seseorang yang selalu ingat pada hari ulang tahun mu.

Jenna

Sudah ada kamu Lin, walaupun kamu jauh di Solok. Kamu selalu mengingatkan ku, kan?

Linda

Carilah suami, agar bisa menggeser posisi ku yang selalu menjadi nomor satu saat hari ulang tahun mu.

Jenna

Ah C'mon Lin. justru kamu yang harus mencari suami, supaya Abraham punya sosok laki-laki benar yang menjadi panutan.

Linda

Sudahlah, kita lanjutkan percakapan ini nanti !

Jenna menutup ponselnya. Selama beberapa jenak ia terdiam. Ketika kantuk mulai menyerang ia pun tidur dalam kesepian.

***

Jenna bangun lebih awal dari biasanya, matanya sedikit bengkak dan membuat wajahnya terlihat sendu pagi itu. Sebelum berangkat ke tempat praktek, ia sengaja berlama-lama duduk di meja rias, ia menggunakan make up sedikit lebih tebal sebagai topeng penutup kesenduan wajahnya itu. Dan Jenna berhasil membuat dirinya terlihat jauh lebih cantik dari biasanya.

Pasien-pasien di tempat praktek menatap terpesona melihat penampilannya hari itu. Tak terkecuali salah satu pasien wanita paruh baya yang selalu memperhatikan penampilan Jenna saat bertemu. Dimasa lalunya wanita tua itu adalah seorang desainer pakaian, tak heran ia pun selalu berpakaian unik dan senang mengkritik penampilan siapa pun yang ada dihadapannya.

"perfect, riasan wajah mu menyatu dengan dress yang panjangnya tujuh perdelapan, berwarna merah." Ujar wanita tua itu.

"maaf? Kenapa?" Jenna bertanya karena tidak fokus mendengarkan celotehan wanita itu.

"hari ini kamu terlihat cantik. Setelah ini kamu mau pergi kencan kan?, saat aku seusia mu. Eh... ngomong-ngomong berapa usia mu?, kamu terlihat masih sangat muda, sepertinya kita seumuran !" wanita tua itu berceloteh lagi sambil merapikan poni nya yang sudah berwarna putih.

Bahu Jenna tiba-tiba terguncang-guncang. Ia tertawa lepas dan suaranya bergema hingga terdengar sampai keluar ruang tunggu pasien.

"tiga puluh empat ! anda juga kan?" Jenna ikut berceloteh.

"aku lebih muda dari usia mu. Dan masih mencari pria untuk ku jadikan suami." Celoteh wanita itu lagi sambil tersenyum bangga. Wanita itu mengeluarkan foto usang dan menunjukkannya kepada Jenna.

"tampan sekali, siapa pria di foto ini? Suami anda?" Tanya Jenna.

"Dia cinta pertama ku, dia sedang menunggu ku di Inggris !"

Jenna melirik ke arah anak perempuannya yang selalu menemani wanita itu tiap konsultasi. Anak perempuannya menggeleng-gelengkan kepala memberi tanda kepada Jenna bahwa apa yang dikatakan ibunya barusan tidak benar. Hanya halusinasi saja. Jenna sangat memahami kondisi wanita itu, ia selalu mencoba memberikan respon terbaik agar wanita itu tidak mengamuk seperti waktu pertama kali datang padanya.

"anda terlihat keren hari ini dengan poni, apa betul itu poni baru? Atau saya baru lihat?" ujar Jenna sambil memuji wanita itu.

Wanita itu pun tersipu-sipu saat Jenna memujinya.

BRAKKK !!, tiba-tiba seseorang membuka pintu ruang praktek Jenna dengan kasar dan membuat tiga orang di dalamnya terkejut. Terlihat perempuan berambut coklat yang wajahnya ditutupi masker berdiri di depan pintu, tak lama seorang laki-laki dan tiga orang perempuan datang menyusul dengan raut wajah yang panik. Pasien yang berada di dalam ruang praktek sontak berdiri dengan mata membelalak.

Jenna langsung mengenali siapa mereka. "Salma" Ujarnya sambil berdiri mematung.

Ia pun berusaha untuk tenang agar tidak membuat pasiennya ketakutan. "mohon maaf, saya akan membuatkan espresso hangat ya, mau kan?" Jenna menawarkan kopi untuk mengalihkan perhatian pasiennya. Ia segera menuju ke pintu dan menghampiri Salma beserta para pengikutnya. "Mohon duduk tenang di sebelah ya !" ujar Jenna tetap bersikap tenang dan berusaha tidak marah. Jenna memberikan isyarat kepada Hana asisten pribadinya, untuk menangani Salma dan membawanya ke ruangan yang satunya lagi.

Setelah semua situasiterkendali, Jenna melanjutkan sesi konsultasi dengan pasien-pasiennya hingga selesai. Walaupun sedang mengalami kelelahan secara emosional Jenna selalu berusaha berpikir jernih diantara kondisi yang keruh.


Halloo guys,

kalian sudah di vaksin belum?, yang sudah ayooo cobaa feed back disini, gimana reaksi kalian setelah di vaksin??

Entah kenapa akhir-akhir ini gerakan ku lambat kayak siput, mau nulis aja berat banget padahal percakapan antara si Jenna dengan Linda udah ada di pikiran ku. 

Anyway, enjoy bab 6 ku yah, dont forget comment like and subscribe... eh,.... 

jangan lupa vote dan feed back 

thank you guys, love you all, muachh


BAD SOULMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang