Di bawah gemerlap lampu sorot yang menyinari satu spot yang menjadi pusat tempat itu, riuh penonton tidak terkendali ketika di kedua sisi mulai keluar siapa yang akan bertanding. Kotak persegi yang menjadi tempat pertarungan banyak orang, dan Jungkook adalah salah satu petarung itu. Namanya cukup dikenal karena dia cukup banyak memenangkan pertarungan.
Sekali lagi dia bisa tersenyum puas ketika sorak-sorai menyerukan namanya, dan dia bisa mengangkat tangannya tinggi-tinggi atas musuhnya yang terkapar dilantai. Rasa sakit akibat pertarungan terakhirnya seperti tidak terasa lagi.
Menjadi tukang pukul bukanlah keinginannya. Dia memiliki cita-cita lain ketika dia masih sekolah, menjadi arsitek adalah salah satunya. Namun keadaan kurang beruntung. Jungkook tidaklah berasal dari keluarga yang serba cukup. Selain karena alasan lainnya. Tapi sekarang, mungkin keadaannya bisa dikatakan lebih baik meskipun dia harus mengorbankan badannya. Ada alasan mengapa dia harus bertahan meskipun dia bisa saja berhenti.
Satu orang yang selalu menunggunya di belakang arena pertarungan. Satu-satunya keluarganya sekarang. Bocah kecil yang bahkan tidak pernah terlewat untuk menemaninya ketika dia harus bekerja.
"Papa?"
Seperti sebuah panggung pertunjukan namun apa yang dipertontonkan berbeda, di belakang sana ada orang-orang yang setia menunggunya. Termasuk satu-satunya bocah kecil yang kini terlihat sendirian di dalam ruangan khusus untuknya.
Anak laki-laki dengan celana kodok pendek dan memakai kaos kuning menyambut kedatangannya. Ditangannya terdapat boneka bertelinga panjang berwarna abu-abu yang kakinya terseret karena dia menariknya agar tetap bersama. Mata besarnya terlihat berkaca, sedikit khawatir ketika laki-laki yang baru saja datang dan dia panggil dengan sebutan papa berlutut di hadapannya.
"Kenapa menangis? Seungho takut sendiri?"
Kepala dengan rambut tebal menggeleng. Bukan hanya karena itu. Biasanya akan ada satu atau dua orang yang menemaninya di dalam situ ketika ayahnya berada dalam pertarungan, tapi kali itu dia sendirian. Juga karena perasaan khawatir setiap ayahnya bekerja.
Meskipun anak-anak, dia mengerti dengan apa yang dia dengar dari orang-orang. Pekerjaan ayahnya beresiko, tapi Seungho tidak bisa melakukan apapun.
"Ayo pulang."
Anak itu merengek kecil, malam sudah larut dan dia juga mengantuk.
"Sebentar lagi ya."
Tapi masih ada yang harus ayahnya selesaikan dan dia harus menunggu sedikit lagi. Satu orang sudah menunggu di luar. Mengantarkannya pada pemilik tempat itu. Bos disana, laki-laki yang sudah berumur. Di depannya, di atas meja terlihat banyak uang berserakan. Dia menata sekaligus menghitungnya. Kemudian ketika Jungkook masuk dengan bocah di gendongannya, laki-laki itu segera menyuruhnya duduk.
Memberikan kepada Jungkook apa yang menjadi haknya. Tumpukan uang yang cukup tebal.
"Kenapa tidak kau carikan orang yang bisa menjaganya. Uang yang kau dapat dari sini kupikir cukup banyak jika hanya untuk membayar orang lain. Atau mungkin kau mau memberikan ibu untuknya? Haissh... aku perihatin jika kau terus-terusan membawa bocah ini untuk bekerja."
Bosnya bicara panjang lebar, sementara Jungkook hanya menjawabnya dengan gelengan. Dia masih cukup mampu untuk bekerja sekaligus merawat anaknya.
Hingga malam semakin larut dan bocah itu sudah tertidur ketika ayahnya membawanya pulang. Jeon kecil yang kelelahan menunggu, terlelap tanpa merasa terganggu ketika ayahnya meninggalkan dirinya di dalam kamarnya sendiri.