10. Bahadur

11 3 0
                                    

ba·ha·dur

1. kl n pahlawan; satria;
2. kl a gagah berani

---

Selamat Membaca!!!

💌💌💌

Tiara terlonjak saat netranya menangkap Ardit yang tengah menatap pria tua bejat itu dengan garang. Pria tersebut pun hanya mengerang. Entahlah apa yang Ardit lakukan tadi, sepertinya ia telah menonjok pria itu.

Dan kini, Ardit mulai berjalan mendekati korban tonjokannya tadi, lalu menarik kerah pria tersebut.

“Jangan berani-berani sentuh dia walau seujung kuku. Jangan pernah berani coba kalau tidak ingin merasakan bogemanku lagi.” Namun, pria itu hanya menyeringai menanggapi ucapan Ardit.

“Kamu menantangku, hah? Bocah sepertimu bisa apa?” tantang pria tersebut yang langsung menyulut emosi Ardit.

Tanpa basa-basi, ia menghantam rahang pria itu berkali-kali tanpa ampun dengan tangan sebelahnya yang masih bebas, membuat sasaran pukulan vokalis GoeSevent itu tak dapat mengelak. Tiara tentu saja terkejut, seolah telah melihat sisi lain Ardit pada saat ini. Ardit yang ia kenal sangat ramah, bisa menjadi segarang ini hanya untuk membelanya.

“D—Dit, udah. Kita pergi aja.” Tiara yang ketakutan menarik pelan belakang kemeja Ardit. Lelaki itu spontan menoleh dan melihat wajah Tiara yang sangat pias. Ardit mengembuskan napas kesal, lalu menghempaskan dengan kasar pegangannya pada kerah pria di hadapannya itu.

“Kali ini kamu beruntung. Kalau nggak ada Tiara yang berhentiin, kamu bisa habis karena sudah berani melakukan pelecehan. Pergi sana!” Ardit pun mengibas-ngibaskan pakaiannya yang berdebu, lalu pergi dari tempat tersebut dengan menggandeng tangan Tiara yang agak bergetar dan sudah sangat dingin.

Sedangkan Tiara, dia menurut dan ikut saja ke mana Ardit menariknya. Saat ini, dia benar-benar bergantung pada lelaki itu. Ketika telah sampai di dekat sebuah mobil berwarna merah, Ardit membukakan pintu mobil sebelah kiri untuk Tiara dan gadis itu langsung masuk ke sana.

Tiara sejak tadi hanya menunduk. Tak berani untuk mengangkat kepalanya walau sejenak saja. Ardit yang menyadari hal tersebut hanya diam sembari menyalakan mesin mobil. Baru saja akan menjalankan kendaraan besi tersebut, dering ponsel lelaki itu mulai terdengar.

“Halo? Kenapa?”

“Dit, kamu di mana? Tiba-tiba ngilang gitu aja.”

“Aku ada di mobil, sekarang mau pul—”

“Hah? Kok langsung pulang, sih? Kita nggak jadi makan-makan dulu, Dit?”

“Nggak dulu, deh. Kapan-kapan, ya.”

“Pasti kamu barengan sama Tiara, ya, sekarang? Hayo, ngaku!”

“Berisik!” Ardit pun langsung memutus sambungan teleponnya dengan Jino, lalu mulai menjalankan mobil.

Tiara sempat mendengar percakapan Ardit tadi, karena suara Jino cukup menggelegar di suasana sunyi dalam mobil Ardit ini. Sebenarnya Tiara merasa bersalah. Gara-gara dia, Ardit jadi tidak bisa have fun dengan teman-temannya. Akan tetapi, untuk berbicara saja lidahnya terasa kelu. Apalagi mengungkapkan rasa sesal.

“Pipi kamu masih sakit?” tanya Ardit untuk memecahkan suasana. Tiara hanya menggelengkan kepala dalam diam. Sejujurnya gadis itu agak was-was apakah Ardit mendengar seluruh percakapannya dengan pria tua itu.

Sebab, bila Ardit mendengarnya, maka semua rahasia yang ia kubur dalam-dalam akan terungkap. Selama ini, Ardit tak pernah mengetahui pekerjaan mama Tiara yang sebenarnya.

“Kamu tadi kenapa tiba-tiba langsung keluar, Ti? Kenapa nggak nunggu aku selesai performance dulu kalau mau pulang? Kan aku bisa anter kamu pulang. Bahaya kalau malam-malam gini kamu pulang sendirian.”

Namun, lagi-lagi Tiara hanya terdiam. Dia benar-benar bingung harus berkata apa. Akibatnya, cairan bening mulai mengambang di pelupuk mata gadis itu. Karena tak ingin menunjukkan tangisannya, ia pun memalingkan muka.

Ardit yang melihat hal itu langsung menghela napasnya dengan lelah. Ia membiarkan saja Tiara supaya lebih tenang.

Mobil Ardit pun berhenti di depan sebuah rumah berpagar hitam. Tiara masih diam dalam posisinya. Setelah beberapa menit dia menenangkan diri dan mengeringkan air matanya, gadis itu pun menoleh pada Ardit sembari tersenyum.

“Makasih banyak, ya, Dit. Sudah anterin aku pulang.” Ardit pun balas tersenyum.

“Iya. Langsung masuk ke rumah, ya. Nggak usah keluar-keluar.” Tiara mengangguk mengiyakan.

“Kamu hati-hati, ya, pulangnya.”

“Siap.” Selepas itu, Tiara beranjak dari posisinya dan mulai masuk ke rumah. Untunglah pintu rumahnya masih belum dikunci.

Saat berjalan masuk, Tiara tak sengaja mendengar suara desahan yang lumayan keras, suara yang sangat tidak pantas untuk ia dengar. Antara ngeri dan kesal, Tiara berusaha untuk cuek, lalu masuk ke kamarnya. Ia tak memedulikan sang mama yang sepertinya asyik dengan pria yang ia temui sebelum pergi ke Kafe A tadi.

Mendadak saja, rasa kesal Tiara pada sang mama bertambah berkali-kali lipat. Terutama saat ia teringat bahwa dirinya nyaris saja menjadi santapan ganas dari pria tua bejat yang tak ingat umur itu. Kalau saja Ardit tak membantunya.

💌💌💌

Have a nice day.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
FixationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang