Suara musik bergema diseluruh isi ruangan bercampur dengan suara orang orang yang saling berteriak satu sama lain, berisik bukan main. Ingin pulang tapi takut dikira tidak sopan karena meninggalkan pesta kecil kecilan yang diadakan oleh atasanku setelah kami berhasil mencapai penjualan majalah terbanyak di bulan ini. Jadi di sini lah aku, terjebak ditengah tengah kebisinginan manusia.
Perkenalkan namaku Aksara Gemintang, aku merupakan salah satu redaktur dari media massa yang cukup terkenal di negeri ini. Dan saat ini kami sedang merayakan keberhasilan kami dalam memproduksi majalah cetak mengenai pemberitaan politik yang cukup "panas" di bulan lalu. Iya, hal ini patut untuk dirayakan karena majalah kami rasanya mendapatkan antusiasme yang baik dari khalayak umum.
"Pulang aja sih kalo bosen...." seseorang berucap, kutengok dan kudapati Wira yang entah sejak kapan berdiri disampingku.
Aku menggeleng "Belum ada yang pulang, bahkan si bos sekalipun. Takut dikira gasopan kalau pulang sekarang" ucapanku mendapat delikan malas dari Wira. "Gaada yang bakal peduli juga kalau kamu diam diam menyelinap pulang sekarang. Jadi untuk apa perasaan takut dikira enggak sopan itu, Angkasa Gemintang?" Tanyanya kemudian.
Wirabhumi temanku ini tipikal manusia yang kalau bertanya tanpa tedeng aling aling, kadang kadang juga setiap pertanyaan yang keluar dari mulutnya seolah dicampur sambal. Pedas.
"Sebelumnya terima kasih sudah mengingatkan kalau eksistensiku di sini memang tak sepenting itu, selanjutnya adalah sopan santun itu bentuk nilai yang aku anut" aku berucap tepat didekat kupingnya, takut dia tidak mendengar.
ku lihat temanku itu mengangguk anggukan kepalanya setelah mendengar jawaban yang aku berikan atas ucapannya tadi, sesekali tangannya menggerakan minuman alkohol di dalam gelas kecil dalam genggamannya itu. "menurutmu kenapa waktu berjalan lambat ketika kita berada dalam situasi yang tidak menyenangkan untuk kita?" aku mengernyitkan dahiku heran, temanku itu memang selain bermulut pedas juga aneh. iya aneh karena terkadang muncul pertanyaan pertanyaan yang tidak terduga akan keluar dari dirinya.
"Karena pada saat tersebut kita cenderung lebih terkukung dan tidak menikmati suasana yang ada, akibatnya arus waktu seolah-olah berjalan tanpa mengajak kita. Berapa kali kita cek jam di hape, kek, jam tangan kek, waktu yang kita lalui tidak selama apa yang kita rasakan"
Sahabatku itu menyesap minumannya dengan seksama, kemudian tangannya menggerak geralan gelas, bunyi denting es dengan gelas terdengar samar di telingaku, "persepsi, bener. padahal waktu berjalan sama setiap waktunya tapi terkadang perhatian kita dipusatkan kepada hal lain alih-alih pada waktu itu sendiri, tidak seperti ketika kita menunggu atau terjebak pada situasi yang menganggu"
Aku menganggukan kepalaku, setuju dengan apa yang kawan ku itu ucapkan. "bicara soal waktu, terkadang aku merasa bukan diriku yang melangkahi waktu. Entahlah, mungkin ragaku memang bertumbuh bersama segala hal yang waktu berikan kepadaku tapi jauh di dalam kepalaku masih berdiam di waktu yang sama" Mataku menatap kosong ke arah manusia yang sedang asik dengan dunia nya sendiri, iya, rasanya memang seolah diriku masih terpenjara di waktu ketika seseorang meninggalkan hidupku. Waktu berjalan melalui ku begitu saja.
Kurasakan tangan kawanku merangkul bahuku dengan lembut, "Nah, kalau itu lain hal. Bukan perkara bagaimana waktu berhenti atau berjalan lagi tapi soal kamu yang terjebak dalam mata badai pusaran waktu" aku meneguk jus jeruk ku lalu dengan perlahan aku membebaskan diri dari rangkulan sahabatku, "Seseorang yang mungkin ga bakal pernah kembali dan yang akan terus memaksa aku tenggelam bersama waktu itu sendiri"
Di hadapanku rekan kerjaku yang lain semakin larut dengan segala hal, musik, minuman, dan waktu itu sendiri. Semuanya seolah menyatu padu, sedang aku di sini merasa tercerabut dari segalanya kecuali dari masa lalu. "Yang jadi pertanyaan ku kenapa sih kamu selalu merasa begitu, Aksara? kenapa engga kamu coba berjalan dengan waktu?" Wira memandangku, matanya menyiratkan bahwa dia ingin penjelasan dari diriku. Aku menghela nafasku dengan berat, tidak semudah itu aku melepaskan segala hal tentang dia. "karena dia berharga untuk aku" ucapku dengan singkat.
"aku jadi penasaran, siapa seseorang yang bisa mengikatmu sedemikian kuat di masa lalu itu.." Wira menegak habis minuman di dalam gelas yang ia genggam, mata tajamnya kembali melihatku dengan penuh selidik.
"Aku tebak, sikapmu yang kelewat dingin pada semua orang pasti akibat dari dirimu yang masih sulit beranjak dari masa lalumu itu?" Wira kembali bertanya, ini lah akibat dari mempunyai teman yang sangat pintar membaca segalanya. Meskipun analisa sahabatku itu kurang tepat sedikit, karena sejujurnya aku memang tipikal orang yang kurang senang bersosialisasi akan tetapi memang segala hal di masa lalu seringkali membuatku semakin tersedot dari hal-hal di masa kini, tak terkecuali perihal bersosialisasi dengan manusia lain. Aku terlalu sibuk memikirkan masa lalu sehingga lupa bersikap pada semua hal di masa kini.
"Bisa jadi" aku menjawab dengan singkat, "ada banyak hal yang aku lakukan sama dia dan semuanya terasa begitu berharga, aku takut semuanya akan menghilang ketika aku berhenti memikirkan nya" tambahku.
Dentuman musik semakin menjadi-jadi, rupanya semakin malam pesta ini semakin liar. Aku mengisyaratkan kepada kawanku untuk pergi keluar ruangan, menyelinap di antara lautan manusia untuk bisa terbebas dari segala kebisingan ini. Dan temanku karena mungkin tahu aku kurang nyaman dengan suasana yang semakin ramai langsung menuruti ku begitu saja tanpa perlawanan, aku mengajaknya menuju balkon. Setidaknya di balkon ini tidak terlalu banyak manusia meskipun memang alunan musik masih cukup menganggu telinga.
"Gimana perasaanmu dengan semua hal itu?" Wira kembali membuka percakapan diantara kami berdua, pertanyaan yang cukup membuatku terkejut karena sejatinya diriku jarang bertanya mengenai perasaanku dalam tahun-tahun ini di mana aku mengingat masa lalu ku.
Aku tak lantas menjawab pertanyaan itu, mataku lurus menatap kelap-kelip lampu di berbagai bangunan yang terhampar di hadapanku. "Aku ga pernah memikirkan soal itu sebelumnya, agaknya itu luput dari diriku"
Aku melirik ke arah kawanku, dia mengangguk dengan mafhum "karena kamu sibuk memikirkan masa lalu mu doang tanpa memikirkan perasaanmu. Setampan apa orangnya?" Tiba-tiba wira menanyakan hal lain yang tidak kuduga.
Aku menghela nafasku dengan berat, "bukan tampan. cantik, terlebih matanya, dengan warna coklat susu yang selalu bersinar-sinar. Itu lah, semuanya menjadi pelik waktu itu dan sekarang menyisakan aku yang begini" aku tidak pernah menutup nutupi mengenai "jati diri" ku kepada kawan karibku itu, pun demikian dengan hal ini di mana aku menyukai seorang perempuan yang sampai saat ini memaku diriku di masa lalu bersama dengan segumpulan kenangannya.
Wira memandangku dengan lembut, tanpa penuh penghakiman dia merangkul bahuku dengan lembut, meremasnya seperti memberikan dukungan moril kepadaku. Kawanku itu memang sosok yang pengertian, "aku yakin semesta selalu punya cara untuk mempersatukan hal-hal yang belum menemukan ujung ceritanya, nah, begitupun dengan mu"
Aku menggangguk, mengamikan dalam diam apa yang diucapkan oleh kawan baikku itu. Semoga memang semesta memberikan jalan kembali untuk aku bisa bertemu dengan seseorang di masa laluku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu kepada Tuhan.
Romance"Manusia mulai melupakan Tuhan..." ucapku. Hening memenuhi udara sebelum Wira membuka mulut "Ilmu pengetahuan membuat manusia menggantungkan harapan kepadanya ketimbang sama Tuhan.." "Menurut filsuf Feurbach Tuhan adalah wujud keputusasaan manusia...