November hadir dengan sangat basah, hujan seolah menjadi hal-hal yang tidak luput untuk membungkus hari, dan aku bersama Kani sangat menikmati saat-saat itu, di mana ketika hujan hadir mencium tanah kami akan segera bergegas untuk pergi ke perpustakaan, menghabiskan waktu di sana ketika luang menyapa. Kami berdua akan berdiam di sofa malas yang menghadap kepada jendela besar berpemandangan rindang pohon di luar, terkadang Kani saja yang membaca dan aku hanya diam menikmati rintik hujan atau sesekali juga menikmati bagaimana cantiknya Kani yang sedang asik membaca. Kegiatan yang selama empat bulan aku di asrama ini tidak pernah kami berdua absen untuk melakukannya.
Tak seperti yang ku duga, selama aku menghabiskan waktu ku di sini ternyata adalah hal yang menyenangkan, memang ada begitu jadwal ketat yang perlu aku lakukan, namun bersama Kani segalanya terasa menyenangkan. itu benar adanya, pada awal-awal sekolah aku tidak tahu jika aku harus memilih beragam kegiatan semacam kegiatan ekstra untuk menunjang skil ku dan aku yang selalu tidak tahu memilih pada akhirnya banyak diberikan saran oleh Kani, yang berujung pada aku yang mengikuti hampir seluruh kegiatan dirinya, kecuali satu kegiatan jurnalistik yang tidak Kani ikuti tapi aku ikuti. Selebihnya hampir dua puluh empat jam kami bersama dan untuk waktu-waktu yang kami habiskan berdua selalu banyak dilakukan di perpustakaan yang sekarang tidak hanya mnejadi tempat kesukaan Kani tapi juga kesukaanku, kesukaan kami berdua.
Ketika perhatiannya sedang terhisap pada buku bacaannya, Kani akan berlipat ganda cantiknya, aku selalu senang mengamati bagaimana sesekali ia membenahi anak-anak rambutnya yang tak terikat turun pada wajahnya, diriku menopang pipiku, dengan intens mengamati dengan seksama perempuan di sampingku ini. Kani sekarang sedang membaca buku 1984 karya George Orwell, kadang-kadang wajahnya tersenyum, terkadang ketika ia sedang bingung alis-alis pada wajahnya akan melekatkan diri. Barangkali merasa diperhatikan, perempuan cantik itu menutup buku yang sedang ia baca, sedetik kemudian ia menoleh kepadaku"Kenapa kamu malah merhatiin aku? ini nih bukumu baca.." Kani membawa buku yang aku bawa dan kemudian mengibaskan buku tipis berjudul Politik Kuasa Media karya Noam Chomsky itu tepat di wajahku, aku memegang tangan Kani, dengan lembut menarik tangan itu supaya kembali berada di atas meja. "Sudah selesai aku bacanya."
Perempuan itu menatapku tidak percaya, "Memang iya?" aku mengangguk dengan mantap, "Menurutmu seberapa kuat propaganda yang dilakukan media dalam melanggengkan tirani?" Kani mengerlingkan matanya malas, "Nah kan pasti ujungnya aku yang kena pertanyaan kritis kamu itu," mendengar jawabannya itu aku tersenyum, kini aku memiringkan badanku untuk sepenuhnya berhadapan dengan Kani. "Diskusi Kani, diskusi. Kisah di buku yang kamu baca itu jadi contoh gimana propaganda dibuat untuk melanggengkan kekuasaan pemerintahan tiran," aku menjelaskan, seperti biasa perempuan cantik itu selalu rendah hati untuk mendengarkan. "Memang media jika dikuasai sama elit pasti jadi alat yang mudah digunakan untuk menyetir opini atau bahkan realitas yang ada di masyarakat, tapi kehidupan 1984 sangat amat dystopian, memang ada yang bahkan separah itu mengontrol masyarakat?" Kali ini Kani berbalik bertanya kepadaku, ini adalah hal lain yang aku sukai dari sesi kami setelah membaca, "Belum, kalau misal pemerintah terus diberi gerak untuk membatasi ruang sipil dengan jalan pertamanya dengan membatasi gerak media maka hal kayak di dunia Winston bisa terjadi," aku memberikan opini kepada teman bincang ku yang cantik ini, alis-alis pada wajah cantik Kani masih melekat satu sama lain, seperti yang biasa terjadi jika dirinya masih bingung akan sesuatu, "Berarti masih aman karena pers kita masih bebas, iya kan?"
Aku mengangkat bahuku, "Setahuku beberapa media itu adalah kepunyaan parpol yang tentu ketika saat saat tertentu misal pemilu, berita berita yang mereka angkat, ya, sarat dengan kepentingan mereka, meskipun memang banyak media progresif tapi, ya, gaungnya ga sebesar media itu lah.."
"Setidaknya masih ada yang bikin balance kan, Assa?" Kani memastikan dan aku mengangguk, kami masih berpandangan satu sama lain, dan entah mengapa pula aku tidak bisa segera memalingkan wajahku pada rupa cantik temanku ini, aku terpaku pada tahi lalat yang menghiasi sepenggal tempat di bawah kiri bibirnya. Lagi, rasa yang menggelisahkan namun juga menyenangkan hadir dalam diriku, perasaan yang selalu timbul ketika aku lekat memperhatikan Kani.
Kani menutup mataku dengan jemarinya, "Kamu tuh jangan sering memperhatikan aku kayak begitu," tak nyaman karena mataku ditutup, aku memegang balik tangan Kani, tanganya aku geser sedikit menurun dan kubiarkan beristirahat di pipiku, "Kenapa memangnya?" aku bertanya, perempuan itu memalingkan wajahnya dariku, dengan sedikit tergesa menarik tangannya pada wajahku, "ga tau bikin degdegan, aku ke kamar mandi dulu.." ucapnya dan kemudian terburu bangkit berdiri, meninggalkan aku yang terpaku pada ucapannya seraya mengamati sosoknya yang semakin menjauh dari pandanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu kepada Tuhan.
Romance"Manusia mulai melupakan Tuhan..." ucapku. Hening memenuhi udara sebelum Wira membuka mulut "Ilmu pengetahuan membuat manusia menggantungkan harapan kepadanya ketimbang sama Tuhan.." "Menurut filsuf Feurbach Tuhan adalah wujud keputusasaan manusia...