Sudah aku beri tahu di awal, namaku adalah Aksara Gemintang. Rupanya nama ku menjelma menjadi sebuah doa yang termaktub menjadi pekerjaanku sekarang ini, Aksara, dan memang sekarang ini pekerjaan ku sangat berdekatan dengan hal-hal yang berkaitan dengan aksara, tulisan, tulis-menulis. Iya, namaku menjadi doa yang mengantarkan ku menjadi seorang redaktur saat ini.
"Gimana liputan buat berita yang harus kita isi di web minggu ini? Sudah minta litbang untuk menyiapkan isu yang akan kita angkat?" aku membuka percakapan pada rapat divisi redaksi kali ini, udara di sekelilingku rasanya terasa sangat penuh dan sumpek. Salah memang diriku, memaksakan rapat di siang hari ketika udara sedang panas-panasnya membakar, bahkan pendingin udara yang bekerja secara full pun tidak sanggup menghalau amukan panas matahari yang dihantarkan angin ke dalam ruangan ini.
Ku lihat di ujung meja, temanku, Wira, mengangkatkan tangannya, "kemarin gue udah tanya bang Rizki buat minta isu, dia bilang paling lambat nanti malam baru bisa dikasih ke redaksi" jelasnya, Wira, lelaki berperawakan jangkung itu tidak hanya temanku yang paling dekat tapi ia juga seorang reporter kawakan yang sering jadi tulang punggung redaksi di media pers ini.
Aku mengangguk mendengar jawabannya, "oke, berarti, Arini, sehabis litbang konfirm isu bisa bagiin anak-anak yang bakal turun buat liputan. Terus, jadwalkan juga untuk timeline nya. Sebisa mungkin di dua minggu udah selesai, terus, chris, udah cek berita yang udah diedit sama tim editor?" kini pandanganku jatuh pada Chris, tim kami yang bertanggung jawab untuk menghandle tim editor yang mana merupakan meja terakhir di redaksi sebelum berita yang kami produksi bisa dimuat.
"Aman, Assa, terakhir berita yang kamu edit udah aku cek, dan tinggal nunggu jadwal tim media untuk upload di web dan juga media sosial.." Ku lihat lelaki itu mengacungkan tangannya, aku menghela nafas lega, sepertinya kegiatan tim ku di minggu ini cukup lancar. Punggungku kini mencium sandaran kursi, mengistirahatkannya yang sedari tegang, menjadi redaktur sering kali membuatku merasa punya tanggung jawab lebih besar daripada bos yang menjadi pimpinan di media tempatku bekerja ini, karena seluruh kegiatan produksi berita berada di tanganku.
"Oke kalau gitu keseluruhan aman, ya, minggu ini. Kita berarti tinggal nunggu tugas besar di minggu depan untuk kembali menggarap majalah dan liputan khusus. Jangan lupa untuk terus kabarin di grup mengenai perkembangan liputan..." Ucapku menutup rapat kali ini, aku merenggangkan kedua tanganku sebelum bangkit dari kursi. Berjalan gontai keluar dari ruangan untuk beristirahat dan mengisi tenaga dengan makan siang.
Di dekat pintu keluar, ku rasai seseorang mengalungkan lengan ke bahuku dan semerbak wewangian tubuhnya menabrak diriku, dan tanpa menoleh pun aku dapat mengetahui jika itu adalah Wira sahabatku. "Lesu banget dah rapat kali ini, kenapa?" Tanya nya kepadaku.
"Sedikit lelah aja.." Jawabku singkat, "makan siang apa ya enaknya?" Tanyaku kemudian kepada sahabatku itu. "Ke bawah dulu aja, nyari di kantin wes dah lama kita ga makan di kantin.." Dan begitu lah kami berdua melangkah berdua ke kantin di gedung kantor media kami ini, iya, memang media tempatku bernaung merupakan media besar. Di sini semua orang mungkin tahu mengenai Alinea Media, sebuah media progresif yang sering mengangkat isu-isu tajam mengenai permasalahan yang ada di negeri ini.
Sesampainya di kantin ku lihat beberapa meja dan kursi sudah sesak dipenuhi dan sejauh mata memandang ada saja mata-mata usil yang memperhatikan kami berdua, memang begitu, dari mulut-mulut tim redaksi aku sudah tahu jika banyak manusia yang santer menggosipkan aku berpacaran dengan Wira, ah, andai mereka tahu jika aku menyukai perempuan bukan sahabat karibku ini. "Bareng sama Arini tuh.." Wira menunjukan posisi anggota tim ku yang tengah makan dengan khidmat di pojok ruangan, mungkin karena merasa ada yang mengamati, dirinya menolehkan pandangannya kepadaku dan melambaikan tangannya seolah mengisyaratkan agar aku bergabung dengannya. "Pesen ayam geprek aja lah, ya, yang gampang" ucap wira kepadaku dan aku mengangguk mengiyakan, "jangan pedes amat punyaku, sama minumnya es teh.." Jawabku Kali ini wira menganggukkan kepalanya dan tanpa berlama-lama langsung berlari ke arah stand ayam geprek. Sedang aku berjalan ke arah meja di mana Rini berada.
"Halo kak Askara.." Ucapnya ketika aku mendekat ke arahnya, aku mendudukkan diri di sampingnya "Assa aja Arini sama seperti yang lain manggilnya.." Jawabku. Arini memang masih staf baru di tim ku dirinya baru masuk di awal tahun ini sedang aku sudah mengemban tanggung jawab sebagai redaktur dari tahun lalu. "Aku sama Wira gabung di sini, ya" ucapku dan Arini hanya tersenyum membalas ucapanku. "Kak Assa, tadi aku sudah di kabarin litbang soal isunya, total ada 10 isu yang di kasih ke redaksi, mungkin nanti sore aku update ke kakak mengenai pembagian reporter.." Ucap dirinya di sela jeda meminum es jeruk.
Alih-alih mengamati ucapannya diriku malah tertumbuk pada es jeruk yang sedang dia minum, bagaimana lelehan-lelehan es bergilir pada dinding kaca gelas. Diriku kembali mengenangkan seseorang, rupanya kali ini es jeruk yang bertindak sebagai mesin waktu di mana kepalaku memutar kembali sepotong kenangan.
"Ini es jeruk..." kani memberikan segelas air yang berwarna sedikit kuning berhiaskan potongan-potongan jeruk di dalamnya. Aku mengulurkan tanganku, menerima pemberiannya. "Terimakasih Kani.."
"Aku suka banget sama es jeruk" perempuan cantik di depanku ini tiba-tiba berucap, aku menatapnya sekilas dan rupanya dirinya sedang lekat menatapku. Sering aku merasa jika ketika mata kami beradu satuan waktu berhenti berputar di antara kami, seolah aku tertarik pada gravitasi yang dibuat oleh tangan-tangan ajaib yang sengaja memusatkan kami berdua. "Setiap kamu minum es jeruk kamu harus inget sama aku.." lanjutnya. Dulu aku tak mengerti dengan apa yang diucapkannya karena aku terlalu sibuk tenggelam pada paras cantiknya itu.
Seseorang menepuk pelan bahuku, "bumi memanggil" aku mengerjapkan mata pelan, kini tak hanya Arini namun juga ku dapati Wira berada semeja dengan ku. "Iya Arini, nanti kabarin di grup aja, ya.." ucapku menjawab perkataan Arini yang sempat ter jeda oleh kilasan masa lalu ku.
"Maaf, ya, Arini, ini redaktur kita memang hobinya melamun.." kali ini Wira yang berucap dan aku mendelik-an mata malas mendengar ucapannya itu. Memang aku mempunyai tabiat buruk karena tiba tiba memikirkan hal lain, hal-hal dari masa lalu, tapi bukan salah ku kan ketika ada banyak hal yang kembali mengingatkan ku tentang seseorang yang masih memenjarakan diriku hingga saat ini?
Ku lihat arini hanya tersenyum kikuk untuk menimpali ucapan Wira dan aku pun hanya diam tidak menimpali lagi, berusaha khidmat menikmati ayam geprek yang kelewat pedas. Aku membatin, ya, memang hidup ku penuh dengan kelibatan bayang-bayang masa lalu yang sesekali menjadi perantara di mana aku berkelana pada masa masa silam di mana aku dan kani berada. Dan terkadang hal itu membuatku tidak membumi, tidak hadir pada saat ini, yang beberapa kali dikeluhkan oleh temanku, terlebih oleh Wira. Salahku memang karena menyimpan Kani pada semua hal, pada lagu-lagu, lembar halaman buku-buku, pada hujan pertama di bulan Juni, pada malam-malam dingin yang dihangatkan sekoteng, pada daun-daun yang terbawa angin, pada debu yang mengisi meja, pada setiap hal aku mengguratkan kenangan akan perempuan bernama Kani itu. Mungkin jua aku sengaja, karena dengan demikian segala kenangan tentang Kani semakin mengental, menguat, dan tidak akan mudah mengelupas dalam ingatan. Supaya takutku akan samar bayang perempuan yang ku kasihi akan tergerus dari ingatan tidak akan pernah mencapai titik puncak kenyataan.
Glosarium :
Isu : Permasalahan yang biasa diangkat menjadi berita.
Litbang : Penelitian dan Pengembangan (biasa di sebuah pers ada divisi litbang yang bertugas mencari isu untuk diangkat menjadi sebuah berita)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memintamu kepada Tuhan.
Romance"Manusia mulai melupakan Tuhan..." ucapku. Hening memenuhi udara sebelum Wira membuka mulut "Ilmu pengetahuan membuat manusia menggantungkan harapan kepadanya ketimbang sama Tuhan.." "Menurut filsuf Feurbach Tuhan adalah wujud keputusasaan manusia...