Hampir Mati Sebab Diet

2.8K 139 14
                                    

Dengan perasaan syok, aku berlari cepat ke arah Debby dan membangunkan onggokan tubuh ekstra besar tersebut. Badannya yang semula terlungkup, susah payah kugulingkan agar terlentang.

“Deb, bangun! Kamu kenapa? Debby, Debby!” Kupukul-pukul pipi perempuan beranak dua itu. Tak ada respon sama sekali. Hanya suara tangisan si kembar yang memenuhi ruangan.

Kucek nadi di leher Debby, masih berdenyut tetapi cenderung cepat. Napas di hidungnya pun masih berembus. Otakku berpikir keras, bagaimana cara membangunkan perempuan gemuk ini. Di tengah kepanikan, mataku tiba-tiba tertumbuk pada segelas air minum yang berada di atas nakas. Cepat kusambar, lalu memercikkan ke wajah Debby. Berhasil. Matanya mulai membuka.

“M-mas....” Suara Debby lemah. Matanya terbuka sedikit. Kuperhatikan bibirnya tampak pucat.

“Kamu kenapa, Deb? Ayo, kita ke rumah sakit.” Debby hanya terdiam sembari sedikit mengeluh.

Kucoba untuk menggotong tubuhnya, tetapi percuma saja. Dia terlalu berat untuk kuangkat. Rasanya hampir putus asa untuk mengangkut wanita itu ke mobil. Sedang Syakir dan Syafa masih menangis sembari berusaha membalikkan tubuh di atas matras. Kasihan mereka. Tak dapat kugendong karena tengah fokus akan keselamatan Debby.

“Kamu kenapa? Apanya yang sakit? Apa minum obat dulu abis itu ke rumah sakit? Deb, jawab aku!” Aku betul-betul panik melihat Debby yang terbarik lemah sembari kedua tangannya memegang perut.

“S-sa-kit p-pe-rut....” Debby mengerang lemah. Wajahnya meringis sembari mengeluarkan keringat di pelipis.

Cepat aku berlari mencari obat magh yang biasanya Debby simpan di kotak P3K. Kubuka kotak plastik warna putih yang tergantung di dinding dekat ruang makan tersebut. Sebotol obat magh yang biasa dikonsumsi Debby saat penyakit lamanya itu kambuh segera kuraih bersama sebuah sendok makan, lalu kemudian membawanya kembali ke kamar.

“Ayo, minum ini, Deb.” Pelan kusuapkan sesendok cairan putih rasa mint pada mulut Debby yang membuka kecil. Dia tampak kepayahan. Cepat kuangkat sedikit kepalanya agar dia mudah untuk menelan.

Setelah minum obat, aku melumuri minyak kayu putih ke perut, telapak kaki, dan memijat kepalanya lembut. Kasihan Debby, dia telihat begitu lemah.

“M-mas, gendong anak-anak dulu.” Debby berkata dengan lirih sembari menujuk pada kedua anak kami yang mulai senyap bermain di lantai sana.

Kuturuti perintah Debby. Dengan penuh rasa sedih, Syakir dan Syafa kugendong lalu membawa mereka naik ke atas kasur dekat sang mama.

“Deb, kamu udah makan belum? Mau makan apa? Aku belikan, ya?” Ternyata aku masih sangat khawatir akan keadaan Debby.

Debby menggeleng lemah. Matanya membuka kecil sembari berucap, “Diet.”

Aku menepuk jidat. Alamak, pasti magh Debby kambuh gara-gara kusurh diet tadi pagi. Rasa sesal tiba-tiba mencekik dada ini. Sesak. Kusadari betapa jahatnya diriku sebagai seorang suami. Lihatlah sekarang, Debby tengah terbaring lemah menahan rasa nyeri di perut akibat perbuatanku.

“Maafkan aku, Deb. Semua salahku yang sudah menyuruhmh diet segala. Sekarang makan, ya? Aku pesankan bubur ayam sama sop lewat ojol. Kamu harus makan supaya kuat ngurusin anak-anak.” Kuelus kepala Debby yang rambutnya lengket itu. Pasti dia sampai tidak mandi gara-gara menahan sakit yang entah muncul sejak kapan itu.

Debby akhirnya mengangguk juga. Dia mau untuk menuruti permintaanku agar makan. Tak lama, pesanan bubur ayam dan sop langganan kami pun tiba. Aku sengaja pesan tiga porsi sekaligus. Bonus untuk Debby yang sudah merelakan diri tidak makan seharian. Kasihan dia. Apa kataku, mana mungkin Debby bisa kurus. Sehari menahan lapar saja dia hampir meregang nyawa. Jangan berharap lebih jika tubuhnya bisa singset bak Shandy Aulia. Mimpi!

Dengan penuh sabar, sembari menggendong Syafa yang sedang rewel, aku menyuapkan bubur ke mulut Debby. Satu mangkok langsung tandas hanya dalam beberapa kali suap. Anak pintar, pantas badannya cepat besar. Sebesar tong air maksudnya.

“Tambah lagi, Mas.” Debby yang sudah mulai agak segar meminta porsi kedua. Cepat kusuguhkan bubur ayam dengan tambahan sop yang berisi ragam sayuran untuknya. Kali ini Debby ingin makan sendiri. Hebat, ternyata bubur ayam cepat sekali membalikkan keadaannya. Syukur tidak sempat kubawa ke rumah sakit tadi. Ternyata obatnya cukup makanan dengan porsi kuli yang tak makan tiga hari.

Debby terlihat lahap menyantap makanannya. Dia sudah kembali seperti semula. Ceria dan lapang dada saat melihat hidangan nikmat. Lenyap sudah ringisan dan wajah lemahnya barusan.

“Mas, boleh pesan otak-otak ikan sama tekwan Ayuk Rina, nggak? Bisa pesan antar, kok. Boleh, ya?” Debby memohon untuk dipesankan makanan lagi setelah selesai dengan mangkok ketiganya.

Aku hanya dapat melongo heran. Sebenarnya yang sedang kuhadapi ini apa? Manusia atau wewe gombel yang tengah kelaparan? Jangan-jangan, setelah dipesankan hidangan khas Palembang tersebut, Debby malah minta sate seribu tusuk pula? Benar-benar edun!

“Setelah itu apa lagi? Pecel lele, gudeg, nasi rames, capcay, sate trenggiling, sop buntut kadal? Sebutkan semua!” Aku kembali kesal dengan Debby yang hanya bisa nyengir kuda tersebut.

“Hihi siapa suruh aku ngurusin badan segala.” Debby meledekku sembari menjulurkan lidah. Bikin gemas saja! Gemas pengen nampol maksudnya.

Hari itu, akhirnya kuturuti juga semua permintaan Debby untuk dibelikan banyak makanan. Tekor bandar! Raib uang dua ratus ribu dalam sekali dayung. Jangan sering-sering sakit, ya, Deb. Bisa bangkrut perekonomian negara kalau tabiatmu kaya begini terus-terusan!

(Bersambung)

Istri Yang Tak Lagi DiinginkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang