Sebuah Kejujuran

3.5K 177 34
                                    

Pulang ke rumah perasaan hatiku rasanya kering kerontang. Layaknya desir pasir di padang tandus, aku menggumam galau sembari membuka pintu untuk menyapa sang nyonya yang entah sedang sibuk apa sore-sore begini.

“Papa pulang.” Langkahku gontai. Energi sudah hampir habis karena letih seharian bekerja. Belum lagi harus menyampaikan berita duka cita. Telah diundangnya Debby si gentong air ke acara family gathering yang dapat berujung petaka. Bukankah nasibku sangat menyedihkan?

Kedatanganku disambut bahagia oleh Debby dan si kembar yang sedang duduk di stroller mereka. Kereta dorong dengan dua tempat duduk sekaligus itu sedang didorong oleh Debby mengitari ruang tamu. Kasihan sih lihatnya. Pasti mereka ingin jalan-jalan. Tapi mohon maaf ya, Papa Daffa lagi nggak mood jalan-jalan apa lagi kalau harus dorong-dorong kereta segala. Capek!

“Halo, Papa! Selamat datang!” sambut Debby dengan gegap gempita. Seperti biasa, perempuan tersebut masih berkostum ala pembantu rumah tangga. Daster lusuh plus bolong, rambut kusut masai, dan aroma asap dapur yang bikin perut jadi mual. Benar-benar tak mau memanjakan suami. Jadi makin malas aku jadinya.

“Deb, aku mau mandi dulu. Jangan suruh jagain anak, ya. Aku capek.” Sebelum semua terlanjur, aku sudah wanti-wanti duluan.

“Yah, Mas! Padahal aku pengen nonton drakor. Ayo, dong? Kan sayang, udah pasang wifi tapi nggak dimanfaatkan dengan baik.”

Geram juga aku mendengar permintaan Debby. Enak aja. Sudah capek cari uang, masa harus jaga anak hanya biar istri bisa nonton drama korengan, eh Korea?

“Nggak, nggak! Aku mau mandi titik. Abis itu rebahan.” Cepat aku kabur ke kamar, menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Nikmatnya begitu terasa ketika air hangat memancar dari shower membasahi sekujur tubuhku. Kalau sedang mandi begini, pikiranku jadi suka travelling kemana-mana. Enak kali ya, mandi air hangat kalau ditemani yang sexy-sexy? Sama Fina contohnya. Haha gila, coba dia mau jadi istri keduaku!

Selesai mandi, Debby sudah standby di kasur bersama si kembar. Ah, dasar mereka. Nggak bisa lihat orang senang aja!

Kupasang segera baju santai kemudian rebah di tempat tidur. Baru meletakkan pantat, eh si kembar udah mulai rusuh.

“Deb, bawa ke luar, dong. Aku mau istirahat.” Aku cemberut. Lucu sih, lucu. Tapi, kalo sudah narik-narik rambut dan mukul-mukul kepalaku pakai rattle, rasanya jadi pengen gigit juga!

“Mas, kita bercengkrama berempat masa nggak boleh, sih? Apa nggak kangen sama kita?” Debby merajuk. Dalam hati aku berkata, kangen sih, tapi sama si kembar doang. Ama elu kagak!

“Aku kan mau istirahat sebentar, Deb. Masa nggak boleh?” Aku mendengus sebal. Kuletakkan Syakir di atas perutku. Menimangnya sebentar lalu menarik pipinya biar dia menangis. Rasakan, emang enak. Siapa suruh jambak rambut Papa!

“Mas, jangan dibikin nangis, dong!” Debby marah, dia langsung memgambil alih Syakir. Sekarang giliran Syafa yang naik ke perutku. Dia heboh dan malah ketawa-ketawa. Nggak jadi deh, Papa cubit kamu, abisnya lucu sih, kaya Tante Fina. Eh, hehe.

“Deb, hari Minggu ada Family Gathering. Sebenarnya aku malas ikut, tapi wajib, sih. Jadi terpaksa.”

Debby menoleh ke arahku dengan mata berbinar. Seolah kesenangan, dia langsung menjawab, “Asyik! Akhirnya piknik juga. Di mana, Mas?”

Aku menghela napas panjang. Kok si gendut bersemangat banget? Dia pikir aku senang apa kalau pergi bersamanya?

“Pantai Gelora Indah. Aduh, malas banget. Kamu aja pergi sama si kembar gimana, Deb? Aku tidur aja di rumah.”

Debby yang tengah berdiri sembari menggendong Syakir agar bocah itu tenang, melempar rattle yang terbuat dari kain ke arahku. Untung kena kepala si Syafa. Hahaha.

“Tuh, Deb! Kena Syafa! Tanggung jawab!” kataku sembari menggoyang-goyang Syafa yang malah ketawa di atas perutku.

“Maaf, Sayang. Harusnya kena Papa yang nakal. Bukan kena kamu.” Debby buru-bur melangkah ke arah kami dan naik ke atas kasur. Nyit! Spring bed langsung berbunyi pegasnya. Gila nih, body-nya si Debby. Bisa bikin hancur kasur lama-lama!

“Deb, aku mau bawa kamu. Tapi, bisa nggak kamu mulai diet? Badanmu itu lho, Deb. Bikin aku sakit mata sama sakit kepala.” Akhirnya aku harus mengutarakan kegelisahan hati yang terus mengganjal selama ini. Ya, Debby harus diet gimana pun ceritanya. Itu pun, kalau dia nggak mau ditinggal olehku yang tampan lagi mapan.

“Hah? Diet? Mas, aku kan masih menyusui, walaupun nggak ASI eksklusif dan anak-anak diselingi minum sufor, tapi tetap aja aku nggak bisa kelaparan karena habis neteki pasti energiku rasanya terkuras.” Wajah Debby murung. Ada kegundahan yang tersirat jelas dari pancar cahaya matanya.

“Ah, anak-anak udah gede begini. Toh, mereka lebih sering kamu kasih dodot ketimbang ASI. Mending stop aja ASI-nya, terus kamu kurangi porsi makan dan olahraga. Jujur ya, Deb, aku mau pergi ke acar kaya gitu bawa kamu, rasanya nggak pede! Mana ada istri staf lain yang obesitas kaya kamu? Ingat lho, Deb, jabatan aku di kantor lumayan berpengaruh. Apa kata orang-orang kalau lihat penampilan istriku sekarang? Bisa hancur reputasiku!” Panjang lebar aku membeberkan betapa malunya aku punya Debby setelah dia melahirkan ini. Dia harus tahu, bahwa aku memang nggak baik-baik aja saat melihat tubuhnya yang makin hari makin membadak tersebut.

Debby terdiam. Matanya berkaca seketika. Diambilnya Syafa dari tanganku. Dia menggendong si kembar dengan dua tangan sekaligus. Debby lalu bangkit dengan kasar dari tempat tidur, sehingga aku merasakan gelombang tsunami akibat getaran tubuhnya yang sebesar ibu gajah.

“Deb, jangan merajuk, lah! Harusnya kamu bersyukur punya suami yang omongannya jujur. Coba bayangin kalau yang bilang ke kamu itu tetangga kompleks? Gimana perasaanmu? Pasti sakit kan?” Aku setengah berteriak pada Debby yang buru-buru ke luar dari kamar. Dia pasti ngambek. Ah, tapi syukurlah. Dengan begitu aku kan bisa tidur dengan nyenyak selama setengah jam sebelum azan Magrib berkumandang. Selama bobo, urusan Debby marah, masa bodo lah.

(Bersambung)

Istri Yang Tak Lagi DiinginkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang