Meski aku telah berteriak mencari Debby, tetap hening tak ada sahutan. Untung si kembar tak menangis dan bangun serentak. Bisa pecah kepalaku jika hal itu terjadi.
Tiba-tiba aku teringat loteng atas rumah ini. Jangan-jangan Debby di sana? Tetapi, bukankah perempuan itu penakut dan tidak berani naik ke atas sendirian?
Walaupun awalnya ragu, aku akhirnya tetap naik ke lantai dua untuk mencari Debby. Siapa tahu ibu gajah tersebut ada di atas. Atau jangan-jangan... dia malah gantung d-di.... Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan, Daf! Meski jadi duda itu enak apalagi kalau kaya, tapi kehilangan Debby itu sama saja artinya menambah satu masalah berat.
Perlahan kakiku menapaki anak tangga yang terbuat dari marmer. Jantungku berdegub agak kencang, takut akan sesuatu mengerikan yang siapa tahu kutemukan di atas sana. Sampai di lantai dua, lampu ruang tengahnya menyala. Aku segera bergegas ke kamar yang biasa kami gunakan untuk menyimpan cucian setelah dijemur. Kamar itu biasanya juga digunakan Debby untuk menyeterika pakaian.
Kenop pintu kubuka perlahan, suara derit pintu yang engselnya belum diminyaki itu membuat bulu kudukku merinding. Lampu kamar gelap. Saat kuhidupkan tak kutemukan apa pun kecuali gunungan pakaian yang belum sempat dilipat.
“Di mana sih, si Debby?” Kesal setengah mati bercampur khawatir memenuhi kepalaku.
Kututup pintu kamar. Tempat terakhir yang bisa kudatangi tinggal balkon yang kami gunakan untuk menjemur pakaian. Langkahku perlahan berjalan, sembari menimbang apakah di sana ada Debby atau tidak. Gemetar tanganku membuka kenop pintu, tidak dikunci ternyata. Astaga, apakah ada maling yang sudah masuk lewat pintu ini lalu menculik Debby? Tetapi, kenapa dua anak kami masih ada di kamar? Jangan-jangan, maling tersebut menjebakku?
Pintu terbuka perlahan. Suasana gelap di balkon. Tiba-tiba terdengar suara perempuan tertawa kecil di pojokan dekat jemuran sana. Bulu kudukku berdiri tegak. Takut-takut mataku menyapu ke arah suara.
“Argggghhh!” Kurasa jantungku mau lepas saat melihat sosok yang sedang duduk di kursi plastik sana. Wajahnya putih, terpantul cahaya putih ke arahnya.
“Argggh!” Teriakan serupa dari sosok di hadapanku itu menggema nyaring.
“Debby?!” Aku berlonjak kaget saat mengetahui bahwa wajah yang seperti hantu itu adalah Debby. Semakin dekat, terlihat nyata bahwa ibu gajah tersebut mengenakan sheet mask.
“Mas! Astaga, jantungku mau copot!” Susah payah dia bangkit dari kursi plastik itu, untung kursinya tidak patah menahan bobot tubuh Debby yang aduhai tersebut.
“Kamu yang ngagetin! Ngapain di sini gelap-gelapan? Sejak kapan kamu berani ke loteng sendirian?!” Kemarahanku memuncak. Gila si Debby, pusing-pusing aku mencarinya ternyata dia malah di sini.
“Sejak Mas nggak mau masangin aku wifi! Aku kan udah bilang, dari dulu pengen pasang wifi supaya enak ngedrakor. Mas malah bilang nanti terus. Di sini sinyalnya kenceng banget, wifi punya tetangga sebelah!” Debby mengecilkan suaranya. Mungkin takut terdengar Pak Hasan sekeluarga.
“Terus anak-anak kamu tinggal? Apa nggak takut mereka kenapa-napa?” Aku membelalakan mata.
“Hehe kan Cuma sejam. Anak-anak juga udah tidur pulas. Jadwal mereka nyusu itu tiga jam sekali. Belum waktunya bangun.” Debby cengar-cengir.
“Besok kita pasang wifi kalau gitu! Aneh-aneh aja kamu itu.” Aku melonggarkan dasiku yang terasa mencekik. Ah, sialan si Debby. Ada saja alasannya supaya keinginan dia dituruti.
Bukan tak ingin pasang wifi, yang kutakutkan Debby bakal semakin lalai menjalankan tugas rumah tangganya. Lihat aja, demi drakor dia rela membiarkan dua bayinya tidur di bawah. Coba kalau Syakir dan Syafa diculik genderuwo, bisa repot, kan?
“Serius, Mas? Ye, hore! Akhirnya aku bisa nonton drakor sepuasnya tanpa harus takut kehabisan kuota lagi. Makasih ya, Mas.” Debby mencium pipiku. Aroma wangi sheet mask tersebut tercium olehku. Tumben banget dia pakai masker segala. Apa udah capek diejek gendut dan kilang minyak olehku?
“Gaya banget pakai masker? Supaya apa?” tanyaku menggodanya.
“Supaya cantik.” Debby tersenyum manis.
“Gitu, dong! Biar aku nggak liatin Fina terus di kantor.” Mulutku keceplosan. Senyum mekar Debby yang awalnya mekar berbunga, tiba-tiba berubah jadi murka. Dicabutnya masker dari wajahnya dengan kasar, lalu digosok-gosokan ke wajahku.
“Aduh, sakit!”
“Nih, rasain! Fina, Fina! Sana tidur di luar!” Debby menyeretku ke lantai bawah dengan emosi. Tenaganya super kuat sekarang, berbanding lurus dengan tubuh jumbonya.
“Deb, bercanda doang, Deb!” Aku memelas minta ampun, namun tak dihiraukan olehnya.
Debby sukses menggeretku hingga ke luar rumah dan didorongnya tubuhku dengan kuat hingga hampir tersungkur di lantai teras.
“Tidur di luar! Sana ke rumah Fina sekalian!” Debby membanting pintu hingga menyisakan suara gelegar di depan telingaku.
Kurang ajar. Tahu gitu Debby kubiarkan saja tadi nonton drakor sampai subuh! Apes, apes!
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Yang Tak Lagi Diinginkan
Roman d'amourSaat istri tak cantik lagi, haruskah aku mencari tambatan hati lain? Update setiap Rabu dan Sabtu