Bunuh Diri

2.2K 135 8
                                    

Setelah mengemudi dengan kecepatan lumayan tinggi dan menerobos beberapa jalan pintas, akhirnya tiba juga aku di kantor. Bangunan berlantai empat itu, segera kumasuki dengan tergesa. Ruang meeting ada di lantai dua. Cepat kunaiki tangga dengan berlari karena lift sedang naik ke lantai empat yang berfungsi sebagai foodcourt tersebut.

Saat aku tiba di depan pintu, syukurlah klien belum tiba. Hanya ada Fina di dalam sana. Tampak gadis sexy dengan setelan blazer dan rok selutut berwarna cokelat tua itu sedang menyiapkan proyektor.

“Halo, Fin. Klien belum sampai?” tanyaku padanya sembari duduk dan membuka laptop yang kubawa.

Fina yang terlihat begitu cantik dengan rambut digulung bak pramugari itu menggeleng. Bibir merahnya mengulaskan sebuah senyuman.

“Katanya telat lima belas menit. Ada kendala di jalan.”

Aku menghela napas lega. Syukurlah. Aku jadi memiliki waktu untuk mempelajari kembali presentasi. Klien kami kali ini adalah sebuah perusahaan konstruksi milik swasta yang biasa menangani pembangunan gedung pencakar langit maupun jalan tol. Mereka berencana memesan puluhan alat berat kepada perusahaan kami dan berniat untuk melihat dahulu harga dan spesifikasi barang yang kami tawarkan. Perusahaan konstruksi tersebut dahulu berlangganan kepada perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama dengan milik kami. Namun, mereka bilang harganya terlalu mahal dan barang sampai lebih lama. Jadi, mereka mencoba beralih pada perusahaan lain yakni perusahaan tempatku bekerja ini.

Sebagai asisten manager pemasaran, aku memang seringkali presentasi kepada klien. Namun, untuk klien kelas kakap seperti mereka ini, pak bos yang biasa menghadapi. Lobi si bos alias Pak Dirgantara memang terbukti jos gandos. Orang yang awalnya tak mau melirik barang kami, sedetik kemudian langsung mau dan minta hari itu juga untuk membelinya. Pengalaman puluhan tahun dalam bidang pemasaran membuatnya menjelma bak ‘dewa’ cuan. Ahli di bidang cari untung untuk perusahaan.

“Pak Daffa, tadi gimana? Udah makan?” Fina mendekat ke arahku. Dia kemudian menarik sebuah kursi putar, lalu duduk di sampingku. Wangi parfumnya yang lembut sekaligus segar itu menyapu hidung hingga masuk ke dalam tenggorokanku. Ah, indah sekali ciptaanMu, Tuhan. Sudah cantik, sexy, wangi pula. Nggak kaya Debby yang tampilannya sudah seperti kain lap untuk gosokin kerak di kompor itu. Sudah dekil, bau bacin, bolong pula. Duh, mengenaskan.

“Sudah, Fin. Tapi tadi ke sini buru-buru. Gara-gara istriku mau ikutan makan siang di luar segala.” Dengan sebal, aku mengingat kejadian tadi. Debby memang biang kerok.

“Lho, istri Bapak nggak masak?” Fina mendelik. Matanya melotot seolah apa yang didengarnya tadi sebuah hal yang bikin kaget setengah mati.

“Iya,” jawabku dengan malas.

“Padahal kan istri Bapak nganggur, nggak keja. Masa sih, masak aja nggak sempat?”

Dadaku terasa sempit mendengarkan ucapan Fina. Betul juga katanya. Masa ibu rumah tangga yang nggak kerja kantoran, nggak sempat masak, sih? Memang ya, istriku itu nggak ada gunanya sama sekali.

“Iya, istriku nggak kerja. Alasannya repot jaga anak.” Aku geleng-geleng kepala. Seketika moodku hilang kalau ingat kelakuan si kudanil air itu.

“Kasihan, Pak Daffa. Sabar ya, Pak. Tapi, kalau sekadar masak makan siang sih, saya juga bisa, Pak.” Fina menulis-nulis meja dengan telunjuknya. Senyumnya mengembang sembari menunduk malu-malu.

“Jadi, saya boleh ke kost kamu kalau jam makan siang, Fin?” Semangatku bergelora, bak bensin dimantiki api. Menyala penuh gembira.

Fina mengangguk manja. Matanya yang lentik itu mengerjap bak kerlip bintang di langit. Astaga, coba si Debby kelakuannya manis begini. Mau apa aja pasti kuberi!

Istri Yang Tak Lagi DiinginkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang