Gontai kakiku melangkah masuk ke dalam mobil. Sialan, umpatku kesal. Bisa-bisanya mulutku lancang mengucap nama Fina di saat situasi genting begini. Jadi tidur di luar, kan, jadinya!
Kustel sandaran jok mobil hingga 90° agar aku dapat berbaring. Memejamkan mata sesaat untuk menghilangkan penat. Harusnya malam ini aku berbahagia merayakan kesuksesan di kantor bersama Debby. Eh, perempuan itu malah mengusirku untuk tidur di luar. Debby benar-benar keterlaluan. Apa dia tidak tahu kalau aku sangat khawatir saat dia tak terlihat di kamar dan lantai satu? Capek-capek kucari malah setelah ketemu berkelahi lagi.
Saat aku telah beberapa saat dapat terpejam, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di kaca jendela. Malas sekali aku membuka mata. Apa lagi, sih? Nggak bisa lihat orang tidur, apa?
“Apa lagi, Deb?” tanyaku kesal sembari membuka kaca.
“Ayo, masuk. Jangan tidur di luar. Nanti digigit nyamuk.” Tangan gempalnya menarik tanganku dari celah kaca yang kubuka.
“Halah, aku udah terlelap baru kamu suruh masuk!” Aku bangun dengan perasaan jengkel. Kutepis tangannya pelan, lalu membuka pintu mobil.
“Ayo, ngaku dulu, kamu pulang semalam ini kenapa, Mas? Pasti selingkuh sama si Fina itu?” Debby mulai lagi.
“Nggak! Ada acara di kantor. Aku berhasil jual tiga lusin alat berat. Makanya kantor ngerayain itu.” Sambil menahan kantuk yang sangat, aku berjalan dengan langkah berat. Tak sabar lagi untuk bertemu kasur dan rebah di atasnya.
“Hebat sekali, Mas?” Debby membelalak. Matanya berbinar.
“Iya. Awalnya aku nggak pede presentasi di depan owner perusahaan itu. Tapi gara-gara ingat istriku yang gembrot, langsung percaya diri, deh!”
Debby memukul lenganku lumayan keras. Sakit rasanya. Gila, tenaga Debby makin hari makin kuat seperti pesumo Jepang.
“Kamu ngejek aku terus! Besok aku diet, lihat aja!” Debby merajuk. Mukanya cemberut.
“Oh, bagus itu! Aku tunggu kamu langsing kaya dulu lagi.” Kubuka pintu kamar perlahan. Si kembar sudah terlelap dengan posisi semrawut di atas kasur.
“Siapa takut? Awas ya, Mas, kalau aku langsing dan cantik kaya dulu lagi, kamu jangan menyesal!” Terlihat kilatan dendam di mata Debby. Aku Cuma tertawa sembari menukar pakaian. Duh, Debby, mimpi kali bisa ngurusin badan. Makan aja lima kali sehari, porsi kuli pula.
“Iya, aku nggak bakal nyesal! Buktikan makanya.” Aku semakin puas mengejeki Debby yang terlihat akan mengamuk lagi tersebut. Sebelum pertengkaran menjadi, sebaiknya aku segera tidur dan melupakan impian ketinggian Debby tersebut.
***
Kepulangan Pak Digantara dari dinas luar, membuatku kembali menduduki posisi sebagai asisten beliau. Tak lagi jadi in charge beliau dan bisa leluasa berdekatan dengan si sexy Fina lagi. Baru aja ngerasa sehari dua hari berjaya sebagai manager sementara, eh tampuk kekuasaan itu kukembalikan lagi pada si empunya.
“Gimana, Daf, enak kan jadi manager?” seloroh Pak Bos padaku.
“Hehe, enak-enak susah, Pak.” Sambil tertawa kecil aku menjawab pertanyaan beliau.
“Kau macam-macam sama Fina, nggak, selama aku pergi?” Mata beliau mendelik curiga. Lelaki tua yang masih terlihat tampan dengan kulit kuning langsat dan rambut hitam tersemir sempurna itu seakan bisa membaca kehidung-belanganku.
“Ah, Bapak. Tujuh tahun saya ikut Bapak kan nggak pernah macam-macam.”
“Oh, begitu, ya? Aku kira kau udah berubah, Daf, sejak istrimu udah besar badannya. Hahaha bercanda ya, Daf.” Pak Dirgantara ngakak seolah candaannya itu lucu. Eh, tapi beliau benar, sih. Gara-gara Debby gendutnya nggak ketulungan, aku jadi lebih suka melirik wanita cantik lain. Terutama yang ada di kantor ini. Siapa lagi kalau bukan Fina indehoy melehoy-lehoy.
“Iya, Pak. Santai aja. Istri saya emang gembrot banget sekarang. Bingung saya.”
“Nggak usah kau bingung, Daf. Namanya juga ibu-ibu. Kalau mau cantik, modali lah. Jangan protes aja!” Pak Dirgantara melempar kertas yang sudah dipuluknya padaku. Beliau memang senang bercanda layaknya bocah SMP tersebut.
“Iya, Pak. Makanya segera promosiin saya, Pak. Supaya banyak duit untuk modali istri.”
“Tunggu aku pensiun dulu!”
Aku garuk-garuk kepala. “Yah, Bapak, keburu istri saya bobotnya 130 kilo, dong!”
Kami berdua ngakak bersama. Suasana ruangan pemasaran yang isinya saat itu Cuma ada aku dan Pak Dirgantara jadi riuh rendah. Selain Fina, keberadaan Pak Dirgantara inilah yang membuatku betah bekerja selama tujuh tahun meski karierku segitu-gitu aja. Gaji pun tak naik sudah dua tahun lamanya. Tapi suasana santuy seperti ini susah banget ditemukan di tempat lain. Belum tentu kalau kerjaan gajinya tinggi, bosnya enak begini. Apalagi cari yang sekretarisnya geboy dan mau digodain, susah kan?
***
Seperti biasanya, aku sibuk menghadapi komputer dan membalas email masuk. Pekerjaanku lumayan banyak hari ini, membuatku tak sempat untuk sekadar bertegur sapa dengan si Fina yang duduk di seberang sana.
Mataku tertuju pada satu email yang berasal dari manager HRD. Surat eletkronik itu baru saja masuk sekita lima belas menit yang lalu. Subjek surat tertulis undangan family gathering dalam rangka ulang tahun perusahaan yang ke-25 tahun.
Kubaca dengan seksama. Seluruh karyawan diwajibkan untuk datang bersama anggota keluarganya bagi yang telah menikah. Acara akan diselenggarakan pada hari Minggu jam delapan pagi hingga selesai bertempat di pantai Gelora Indah—pantai kebanggaan warga kota ini. Aku menghela napas masygul. Family gathering? Bawa anggota keluarga? Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Bawa Debby urusan bisa runyam. Belum makannya banyak, terus mata orang-orang bakal tertuju pada perubahan fisiknya yang begitu drastis setelah melahirkan si kembar. Astaga, bakal malu diriku ini. Apa lagi mulut istri-istri atasanku itu bukan main lamisnya. Debby bisa ngamuk di tempat nanti kalau mendengar dirinya dikatai gendut, sumo, gajah, dan sebagainya.
“Jadi pengen membujang lagi kalau sudah begini,” ujarku putus asa sembari menutup kabar buruk tersebut.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Yang Tak Lagi Diinginkan
RomantikSaat istri tak cantik lagi, haruskah aku mencari tambatan hati lain? Update setiap Rabu dan Sabtu