Jengkel

2.7K 125 7
                                    

Rasanya aku geram setengah mati. Mau ngamuk, malu sama tetangga. Akhirnya, kuputuskan saja untuk pergi mencari makan di luar.

“Mas, kami ikut, dong.” Debby merengek sambil menggendong si kembar. Wajahnya penuh pengharapan. Enak aja, sudah bikin jengkel, eh masih mau ngintilin juga.

“Nggak!” bentakku sembari bertukar pakaian dengan kaos dan celana pendek.

“Titip bakso, deh. Laper. Aku juga belom sempat makan dari pagi.” Debby terus merengek. Tangannya berusaha menarik ujung kaosku sembari masih menggendong Syakir-Syafa. Dengan kasar kutepis. Siapa suruh bikin bete?

“Beli sendiri! Makanya, masak! Atau pesen delivery, kek.” Aku ngeloyor. Eh, Debby dan kedua krucilnya malah ngebuntuti terus.

“Kan saldo Opo-ku kosong. Uang juga kamu bawa semua, Mas. Ayolah, kami ikut.”

Dengan malas aku mengajak mereka. Huh, kapan sih aku bisa hidup tenang dan sentosa?

“Ya sudah, ayo!” Mataku membelalak. Debby malah tersenyum happy sembari memberikan kedua anaknya padaku.

“Lah?” Mataku membulat. Apa-apaan ini?

“Pegangin sebentar. Aku ganti baju.”

Rasanya aku begitu emosi. Perut kosong yang sudah sangat lapar ini membuat kepalaku semakin panas. Benar-benar keterlaluan si Debby! Lama-lama bisa naik pitam aku dibuatnya.

“Cepat! Lewat dari dua menit aku tinggal.”

Debby berlari cepat ke kamar. Tak lama, dia langsung kembali menemuiku yang sudah bersiap di dalam mobil bersama duo kembar. Aku ternganga. Serius, Debby ingin pergi bersamaku dengan penampilan seperti itu? Daster selututnya hanya ditutupi dengan cardigan hitam yang sudah kekecilan ditubuh jumbonya, sementara bawahannya menggunakan celana kain dongker yang super tidak nyambung. Rambut masainya tak tersisir dengan rapi, Cuma dicepol asal dengan karet gelang untuk bungkus nasi. Alamak! Bisa-bisa dikira lagi jalan sama pembantu aku ini.

“Deb, kamu mau ikut aku? Dengan penampilan yang kaya orang mau ke sawah gitu?” Aku mendelik malas padanya. Perempuan itu Cuma mengangguk sembari menggendong tas isi perlengkapan si kembar. Sementara Syakir-Syafa duduk di carseat belakang, Debby duduk di kursi depan bersamaku. Berada di sebelahnya, membuatku dapat mencium aroma tak sedap dari tubuhnya. Antara bau apek, asam, dan pesing.

Dengan menahan rasa sebal setengah mati, aku menyetir mobil untuk menuju rumah makan. Kuputuskan untuk makan di tempat yang dekat saja. Tak usah jauh-jauh. Yang penting makan dan tempatnya menyediakan baby chair untuk duduk si kembar.

Sepuluh menit mengemudi, akhirnya kami sampai. Syakir langsung kugendong, sementara Syafa dengan mamanya. Saat aku memasuki rumah makan yang menyediakan berbagai macam menu itu, beberapa orang yang sedang makan di sana menoleh ke arah kami. Beberapa orang senyum-senyum, mungkin karena melihat bayi kembar beda kelamin ini. Sebagian lagi menoleh dengan tatapan heran. Mungkin takjub melihat Debby yang tampilannya kurang manusiawi itu. Sangat kontras denganku yang berpenampilan oke meski Cuma pakai kaos putih polos dan celana pendek kotak-kotak. Setidaknya aku menyemprotkan parfum mahal di sekujur tubuhku, tak seperti Debby yang sangat asal dan memelihara aroma aneh pada badannya tersebut.

“Deb, kamu nggak lihat, orang-orang pada aneh mandang ke kamu?” Aku setengah berbisik padanya saat perempuan itu mendudukkan Syafa di kursi khusus bayi. Untunglah bayi tersebut sudah dapat didudukkan.

“Masa, sih? Ah, nggak, tuh. Perasaan Mas Daffa aja.” Debby tersenyum santai. Mengeluarkan dua botol susu dari dalam tasnya. Syakir yang masih berada di gendonganku itu pun langsung kuserahkan pada Debby.

“Nih, jagain anak-anak. Aku mau makan duluan.” Aku langsung ngeloyor pergi untuk pesan menu di kasir.

“Mas, aku baksonya dua mangkok, ya. Es teh sama es jeruk.” Debby berteriak agak nyaring, membuat orang-orang jadi memberikan perhatiannya sejenak pada kami. Aku menahan napas. Ah, sialan si Debby. Orang-orang pasti berpikir, pantesan badannya kaya kudanil air, makannya aja segitu banyaknya.

Setelah memesan makanan, tak lama menu kami datang. Sepiring kwetiau goreng dengan topping seafood dan sesendok acar ketimun, dua mangkok bakso bersama komplotan lainnya, serta tak lupa dua gelas es teh dan segelas es jeruk.

Tanpa basa-basi pada Debby, aku langsung makan dengan lahapnya. Sementara istriku itu sedang sibuk menenangkan Syafa yang tiba-tiba tak mau duduk di kursi. Dia minta gendong. Dalam hati aku tertawa. Rasakan itu.

“Mas, cepetan, dong. Aku laper, nih.” Muka Debby terlihat sedih. Dia tampak sudah tak sabar ingin menikmati bakso-baksonya.

“Berisik, ah. Baru juga makan.” Aku acuh tak acuh. Kulanjutkan saja aktifitasku, namun agak kuperlambat. Enak aja nyuruh cepat. Baru aja nyuap makanan udah disuruh jaga anak.

Tangis Syafa tak kunjung surut. Akhirnya Debby menggendong bayi perempuan itu. Melihat hal tersebut, alarm kedengkian Syakir menyala. Dia pun giliran mengeluarkan tangis dramanya.

“Aduh, Syakir kok malah ikut nangis, sih?” Debby mengeluh sambil terus menimang Syafa.

“Gendong, sana. Masa dibiarin?” kataku sembari menyuap kewetiau yang tinggal beberapa suap lagi itu.

“Aih! Cepetan, Mas. Aku udah laper!” Debby semakin merajuk. Dengan wajah masam, dia mengambil Syakir dan menggendong keduanya sekaligus.

Karena tak tega, aku pun akhirnya menyelesaikan makan dan minumku dengan cepat. Susah sekali hidupku. Sudahlah capek kerja banting tulang, mau makan aja harus cepat-cepat kaya diburu harimau. Eh, bukan harimau, ding. Tapi gajah. Ibu gajah tepatnya.

“Sini!” Kuambil Syakir dan Syafa sekaligus. Baru aja selesai makan, makanan belum turun semua ke lambung, eh disuruh gendong bayi-bayi semok ini.

“Makasih, ya, Mas.”

“Iya, gajah. Makan sana.” Ujarku agak keras karena jengkel luar biasa. Tak terduga, wajah Debby malah berubah. Senyumnya yang tadi mengembang, berganti jadi bersungut. Seperti orang tersinggung.

“Dih, dibilang gajah, marah?” Yang kutanya hanya diam membisu. Mengempaskan tubuhnya ke atas kursi, untung kursinya kuat menahan bobot 90 kg itu, lalu menghadap bakso dengan lahapnya.

“Makannya yang cepat. Kalau lama aku tinggal.” Aku segera berlalu dari Debby. Sembari menggendong duo Sya-Sya, cepat kubayar makanan kami di kasir. Setelah itu, kami bertiga masuk mobil.

“Males kalau harus di sana sama Debby. Dilihatin orang terus. Aneh deh, apa mereka nggak pernah lihat cowok ganteng punya istri gajah?” Dengusku sebal pada diri sendiri.

Saat berada di dalam mobil, telepon genggamku tiba-tiba berbunyi. Setelah memastikan duo Sya-Sya aman dikursi mereka dan sudah terpasang sabuk, aku duduk di kursi kemudi dan mengangkat telepon.

“Halo, Fin. Ada apa?” Telepon dari Fina, sekretaris baru di kantorku. Cantik, molek, sexy, dan wangi. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat akan kaki jenjang nan mulusnya.

“Pak, setelah makan siang, jangan lupa untuk menghadiri meeting dengan klien kita. Pak manajer memesankan pada saya untuk mengingatkan Bapak.” Aku menepuk jidat. Oh, ya, untuk seminggu ke depankan aku menjadi in charge atau pengganti sementara pak manajer yang sedang dinas ke luar negeri. Kutatap jam di speedo meter mobil. Pukul satu lewat seperempat. Tak sampai sejam lagi aku harus sudah berada di kantor.

“Oke, Fin. Makasih sudah diingatin,” aku menjawab dengan lembut padanya. Entah mengapa, otomatis senyumku mengembang. Padahal wajah Fina yang manis dan cantik itu tak terlihat sama sekali di hadapanku.

“Iya, Pak. Jangan lupa berpakaian rapi dan gunakan jas, ya, Pak.” Suara Fina terdengar begitu anggun, membuatku jadi tak berhenti untuk tersenyum.

“Baik, Fin. Ada lagi? Disuruh jangan lupa makan dan minum vitamin nggak, nih?” Sedikit godaan untuk seorang perempuan cantik, tak apa-apa kan?

“Hihi, iya, Pak. Jangan lupa makan ya, Pak. Setelah makan, minumnya jangan sampai nggak dihabiskan. Supaya ginjalnya sehat.” Renyah sekali suara di seberang sana, udah kaya keripik kentang dengan bumbu balado yang bikin ketagihan.

Lagi asyik ngobrol, eh kudanil air datang. Pintu dibanting dengan kasar sehingga mengejutkan duo Sya-Sya yang langsung menangis kencang.

“Oke, Fin. Saya pulang ke rumah dulu, ya. Sebentar lagi saya ke kantor.” Cepat kumatikan telepon dan memasukannya ke dalam saku celana.

“Fin, eh, Deb, kamu kenapa? Kesurupan? Itu anak-anak pada kaget gara-gara kamu!” Aku kesal setengah mati pada Debby. Yang dimarahi malah diam memandang lurus ke depan dengan muka masam.

“Seneng ya, teleponan sama perempuan lain! Pantesan kamu ngata-ngatain aku gajah di depan orang-orang. Rupanya kamu punya simpanan, ya?!” Debby ngamuk dengan volume suara nyaring, membuat tangisan duo Sya-Sya semakin berlomba untuk jadi yang paling heboh.

“Itu sekretaris kantor! Kamu ini nuduh yang bukan-bukan!” Aku tak terima, suaraku kini lebih nyaring darinya.

“Jahat kamu, Mas! Capek-capek aku ngurus anak di rumah, balasan kamu malah kaya gini!” Debby terus nyerocos membuatku kupingku rasanya penuh. Segera kuinjak gas dan kuputar stir untuk keluar dari parkiran. Dengan kecepatan tinggi, aku memandu untuk cepat sampai rumah.

“Mas, jawab, Mas! Kamu udah berapa lama berhubungan dengan si Fina itu?”

Aku hanya diam konsentrasi menyetir dan ingin segera sampai.

“Mas Daffa!” Debby memekik kuat di dekat telingaku. Untung ingat dosa, kalau tidak perempuan ini rasanya ingin kulempar ke benua Afrika sana. Biar jadi santapan harimau atau singa kelaparan. Lumayan, kan, daripada mereka harus capek-capek berburu byson atau gajah hutan.

“Deb, kalau kamu pengen aku selingkuh, oke aku realisasikan aja.” Kujawab Debby dengan dingin. Perempuan itu malah tersedu hingga sesegukan.

Tiba di rumah aku langsung berganti pakaian dan menyambar tas kerjaku. Debby masih menangis sembari mengurus kedua kembarnya. Aku tak peduli. Tanpa berpamitan padanya, aku langsung cepat keluar rumah.

“Aku bakal bunuh diri kalau kamu selingkuh!” Debby berteriak kencang dari dalam rumah saat aku hendak masuk ke dalam mobil.

“Bodo amat, Deb. Terserah kamu,” aku menajawab pelan sembari mengempaskan diri di kursi kemudi. Waktu yang kupunya untuk sampai ke kantor tinggal lima belas menit lagi. Semoga jalanan tidak macet agar aku dapat tiba ke sana sebelum klien menunggu.

Ah, sialan si Debby. Gara-gara dia, semuanya jadi kacau. Lama-lama, aku selingkuh dan nikah lagi aja. Bosan lama-lama kalau punya istri seperti dia!

(Bersambung)

Istri Yang Tak Lagi DiinginkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang