1

9.2K 449 142
                                    

Emerald itu memakukan pantulan wajahnya di cermin besar yang menampilkan separuh tubuhnya. Wajahnya yang biasanya memakai make up natural, kini nampak berbeda karena riasan yang terlukis di wajahnya terpoles sedikit lebih tajam namun hal itu malah menambah aura kecantikannya. Bibirnya yang berlipstikkan nude tertarik namun kembali lagi mendatar saat mengingat tujuan pernikahannya ini.

Elusan ringan di bahunya membuatnya tersadar dari lamunan. Maniknya bergulir--- menatap pantulan ibunya yang tersenyum dari balik kaca, mau tak mau membuat bibirnya ikut tersungging.

"Kau siap?"

Manik mata berwarna hazel itu nampak khawatir. Jelas sekali dari binar matanya yang tak secerah saat ibunya mensupport dirinya dalam hal apapun selama ini. Mengelus punggung tangan renta yang berada dikedua bahunya, ia berusaha meyakinkan wanita itu bahwa ia baik-baik saja.

Sejujurnya, dirinya sedikit ragu. Apakah keputusan yang ia ambil ini sudah tepat? Namun, bayangan Hinata yang memohon, mendominasi akal dan batinnya membuatnya siap tidak siap memang harus siap.

"Aku siap, Mama."
Menolehkan kepalanya ke arah Mebuki dan menatap yakin manik hazelnya, ia kembali mengembangkan senyum.

"Kau yakin? Entah mengapa hati Mama sedikit tidak rela, Saki."

Kedua tangan renta itu menangkup pipinya seringan bulu--- takut merusak riasan sempurna putrinya. Bibirnya tertarik saat melihat bagaimana cantiknya paras ayu Sakura. Ia bangga dan bersyukur kepada Tuhan karena telah menitipkan seorang putri cantik kepadanya. Bukan hanya cantik paras namun juga cantik hati.

Menggenggam tangan kanannya dan sedikit meremasnya, Sakura membawanya ke bibir--- menciumnya. Berharap lewat ciuman itu, ibunya akan mengerti.

"Kau tak perlu khawatir, Mama. Ini adalah keputusanku. Jadi, doakan saja aku."

Kembali ia mencium punggung tangan ibunya. Jantungnya kali ini berdetak lebih cepat saat melihat ayahnya masuk dan memberitahukan bahwa acara pernikahannya akan segera dimulai. Ibunya pun pamit undur diri--- meninggalkannya berdua bersama sang ayah.

"Ayo."

Ayahnya setengah berkacak pinggang. Ia kemudian beranjak berdiri dan menelusupkan satu tangannya ke lengan sang ayah. Sebelum melangkah, ia melirik ayahnya yang juga memakukan tatapannya.

"Aku percaya, kau selalu memilih pilihan yang tepat. Kuharap kau selalu bahagia, Nak."

Tangan besar sang ayah mengelus pucuk kepalanya. Rasa keraguan yang sempat mendera hatinya seakan menguap karena support yang diberikan pria itu.

Mengeratkan pegangannya, sang ayah menuntunnya keluar ruangan yang langsung terhubung dengan pintu rumah utama yang telah didekorasi sederhana.

Sejengkal dari ambang pintu, ia menghela nafasnya dalam. Pegangannya di lengan Kizashi bertambah erat.

Kizashi yang merasakan anaknya dilanda kegugupan, menyentuh telapak tangan mungil di lengannya itu dan menggenggamnya--- berharap dengan itu, kegugupan yang dirasakan Sakura bisa sedikit teratasi.

Berpuas diri mengontrol kerja jantungnya yang berdetak tak karuan, maniknya lantas mengedar. Ia bisa melihat bagaimana berharapnya manik Hinata yang tak sengaja bertabrakan dengan manik miliknya.

Memberikannya sedikit senyum, emeraldnya sedikit berkaca-kaca saat maniknya bergulir dan bertatap muka dengan ibunya. Lagi, ia memberikan senyum terbaiknya.

Genggaman di telapak tangannya kembali menguat, membuatnya menoleh--- menatap senyum sang ayah yang kemudian mengedipkan sebelah matanya.

"Kau harus bahagia, Nak."

Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang