Keningnya mengernyit, rasa pening langsung menghantam kepala, menusuk sampai ke mata hingga ringisan kesakitan menguar, berbaur dengan suara tangisan Daisuke yang mulai mengusik indera pendengarannya.
Melirik jam dinding tepat di atas televisi, ia berdecak saat mengetahui waktu sudah menunjukkan pukul 7.30. Demi Tuhan, kenapa ia bisa bangun terlambat? Biasanya, ia akan selalu bangun tepat waktu. Oh, ayolah. Uang tidak bisa menunggu dan ia meruntuk pada satu alkohol yang sempat ia minum tadi malam. Gara-gara ucapan ibunya tempo hari, ia harus menyendiri untuk menyusun segala puzzle yang sempat ia acak tak beraturan, mencoba mencari solusi untuk menyusunnya menjadi kepingan utuh.
Memijit keningnya sembari mendudukkan diri, ia raih ponselnya yang berada di atas nakas lantas menyimpannya ke dalam saku celana. Tangis Daisuke membuat hatinya diliputi kepanikan. Sakit yang mendera, ia coba tahan dengan pijatan-pijatan lembut.
Menyibak selimut dengan sedikit kasar serta desisan yang menemani sepanjang perjalanannya, ia masuk ke kamar Daisuke sekaligus kamar Sakura. Hal pertama yang langsung tertangkap maniknya adalah wajah merah Daisuke dengan basah di kedua pipinya. Pun aroma roses lembut menyerbu penciumannya tanpa henti. Onyxnya mengitari ruangan yang tampak rapi dengan kekosongan yang nyata. Sakura tak berada di sana. Ke mana wanita itu?
"Hei, jagoan. Are you ok?" ucapnya sembari meraih Daisuke ke dalam pelukan, menimangnya. Tepukan serta elusan yang ia berikan, tak serta merta membuat pria kecil itu berhenti menangis. Oh, ayolah. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
"Mama mana?"
Tentu saja hal itu hanyalah angin lalu. Tangisan Daisuke tak kunjung reda dan ia bertambah gusar. Padahal, sebentar lagi ia ada rapat penting dengan beberapa kolega. Tapi toh, keadaan Daisuke lebih penting saat ini, terlebih Sakura tak ia temukan di manapun.
Ini di luar dari kebiasaannya. Tak biasanya wanita itu meninggalkan Daisuke sepagi ini. Apalagi pria kecil di pelukannya itu tengah menangis histeris seperti sekarang. Ke mana dirinya?
Meraih ponsel, tak membutuhkan waktu lama ia menemukan nomor Sakura lalu menghubunginya. Alisnya mengernyit saat beep pertama terdengar, suara dering ponsel wanita itu juga terdengar keras di atas tempat tidur. Alisnya mengernyit, tubuhnya tercenung sesaat.
Ia pandangi ponsel berwarna putih itu beserta satu lembar kertas berwarna biru laut yang terlipat rapi di bawahnya. Secepat yang ia bisa, ia buka lembaran itu dengan manik yang serius membaca deretan kalimatnya. Menarik nafas panjang dengan pejaman mata kuat, ia mencoba mengeluarkannya dengan sangat pelan guna menahan emosi yang sempat menggelegak.
Sakura aman bersama Ibu. Selamat bersenang-senang mengurus Daisuke sayang. Ngomong-ngomong, sekalian belajar menjadi Papa yang baik jika nantinya kamu memilih opsi yang kedua. Silakan telpon Ibu jika tak tahu apa yang harus dilakukan.
U. M
Selembar kertas itu remuk. Ia tak menyangka jika Nyonya Mikotolah pelaku yang menyebabkan ketiadaan Sakura di sini. Ya Tuhan, ia pandangi tangis Daisuke lantas keluar mencari Bibi Chiyo yang sama sekali tak ia temukan. Sungguh, ia membutuhkan bantuan seseorang untuk menenangkan anaknya sekarang.
Mengacak surai rambutnya, ia hubungi ponsel ibunya. Tak sampai beep kedua, telepon yang diangkat itu membuatnya lega tanpa sadar.
"Halo?"
"Hn. Di mana Sakura, Bu?" ucapnya to the point sembari mengusap peluh serta air mata di wajah pria kecilnya.
"Dia sedang pergi ke luar sebentar. Ada apa?"
Sasuke mendengus. Apakah ibunya benar-benar tak mendengar suara tangisan Daisuke?
"Jangan bercanda, Bu," lantunnya lirih, mengabaikan decakan yang sangat ingin ia tumpahkan sekarang.
"Ibu tidak bercanda, Sasuke. Sakura memang sedang ke luar. Ada yang ingin disampaikan?"
Sasuke menggertakkan giginya. Pelajaran yang diberikan Mikoto memang tak main-main. Sungguh, ia membutuhkan kehadiran Sakura sekarang. Salam dari suara lembut yang terdengar seakan memberikannya basah di dahaganya. Tanpa sadar, bibirnya tertarik tipis dengan hembusan nafas lega. Terimakasih, Tuhan.
Krasak-krusuk sempat terdengar lantas terjeda. Setelah mengecheck jika telpon masih tersambung, ia kembali merespon. Hampir lima detik tak ada suara yang akhirnya, Sakura menyapanya lirih.
"Halo, maaf."
Sasuke menarik nafas panjang. Ia membiarkan detak jantungnya yang sempat menggila menormalkan kinerjanya.
"Dimana dirimu?"
Ada jeda dan Sasuke tahu, pasti ibunya tengah menginterupsi Sakura. Ck, menyebalkan!
"Aku bersama Ibu."
"Daisuke rewel dan kau tak ada. Apa yang harus ku lakukan?"
Ada tawa di seberang yang tak perlu ia sebut namanya. Wanita itu memang tahu bagaimana cara membuatnya mengambil sebuah pelajaran.
"Biasanya, ia pup di pagi hari. Tolong cek pampersnya." Suara lirihnya membuat Sasuke menggeram, sedikit menjauhkan ponselnya agar tak terdengar. Ya Tuhan, ibunya benar-benar tega menghukumnya seperti ini. Ia benar-benar buta akan mengasuh bayi secara keseluruhan dan ibunya memanfaatkan moment ini untuk menjadi bahan perenungannya. Ia tahu.
"Kau mengacaukan liburan kami, Sasuke?"
Sasuke menghela nafas, tak ada kata yang bisa ia perdebatkan saat ibunya telah menunjukkan taringnya.
"Bisa bicara dengan Sakura, Bu."
Sasuke tahu dan ia kesal saat ibunya menutup telponnya secara sepihak. Menghela nafas sekali lagi, ia lebih baik menenangkan Daisuke terlebih dahulu.
Selamat datang hot Daddy, untuk hari ini. Apakah benar begitu?
©©©
"Ibu, bukankah ini keterlaluan?"
Sakura menatap beberapa makanan yang tersaji di hadapannya. Jujur saja, mendengar tangisan Daisuke membuat hatinya tergugah. Ia ingin mendekap serta memberikan bisikan sayang pada putranya itu agar berhenti. Entah, apakah Sasuke bisa menghandle pria kecilnya itu atau tidak. Mengingat, beberapa waktu ada dirinya dan Bibi Chiyo tatkala suaminya itu kewalahan. Dan sekarang, suaminya itu sendirian. Sendirian.
"Tenang saja Sakura, anak itu harus dihantam terlebih dahulu agar bisa sadar bagaimana memperlakukan dirimu dan Daisuke.
Sakura menunduk. Kedua tangannya terkemas dan saling terpilih dengan gerakan acak. Apakah ini sudah benar?
©©©
Sasuke mendudukkan dirinya di sofa putih tepat di sebelah kotak box milik Daisuke. Mengusap wajahnya dengan satu tangan, hembusan nafas berat seringkali mengalun. Tak dipungkiri, ia sangat kewalahan dengan peran yang dijalaninya hari ini.
Ia pandangi wajah yang mirip dengannya itu sedikit lebih lama. Daisuke benar-benar membutuhkan Sakura.
Dengan langkah gontai, ia hampiri kotak box Daisuke. Menatap wajah putranya itu semakin intens, ada sengatan tipis saat ingatannya mengulas balik pengabaian yang pernah ia lakukan. Istri pertamanya juga pasti sedih melihatnya menjadi pecundang seperti sekarang, pun dengan wanita yang melahirkannya.
Menarik ujung kelambu, ia lantas keluar menuju dapur untuk sekedar membuat kerongkongannya basah. Perutnya yang sempat memberontak dan sempat ia abaikan, tampaknya memang harus segera diisi. Hampir 1/2 jam Daisuke menangis, membuat kepalanya hampir pecah karena bingung sekaligus khawatir. Sarapan paginya terlewatkan.
Membuka tudung saji yang berada di atas meja, onyxnya terpaku saat beberapa lauk terhidang di sana. Sebuah lipatan kertas tergeletak manis di bawah sendok. Meraihnya sedikit terburu, onyxnya sedikit berbinar dengan seulas bibirnya yang melengkung turun.
Maaf harus menyusahkanmu untuk mengurus Daisuke hari ini. Ini bisa dihangatkan di microwave. Jangan banyak minum kopi.
Sakura
Senyum getirnya semakin melengkung bersamaan dengan perasaan sesak yang mendulang nyata. Kenapa wanita itu terlalu baik padanya?
Tbc
Edit? Not yet.
Ngawur? yes
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua
ChickLitBukan ini yang aku harapkan. SasuSakuHina ALUR LAMBAT POLL Warning: Beberapa Chapter mengandung adegan dewasa yang tak patut dibaca anak kecil. Maka dari itu, menjauhlah.