18

2.4K 354 58
                                    

Denting mug yang beradu dengan alas meja membuat Sasuke menfokuskan kelerengnya pada wajah sang ibu yang masih menyusuri objek merah jambu lewat jendela bening besar yang memisahkannya dengan ruang santai, ruangan di mana mereka berada sekarang. Gurat lelah serta kecewa, jelas tercetak di wajahnya yang masih tetap ayu walaupun sudah memasuki kepala empat. Hembusan nafas panjang menjadi pembuka percakapan pertama pagi ini.

"Sudah berapa lama?"

Sasuke menaikkan alisnya saat kelereng hitam yang sama dengan miliknya itu menghunusnya, tajam. Ia mendengus yang kemudian memijit ujung pelipisnya yang berdenyut sakit. Ia tak menyangka jika ibunya akan bertandang dan melihat istri keduanya secara langsung. Semuanya, hampir tak terpikirkan. Biasanya, wanita itu akan menghubunginya terlebih dahulu sebelum datang. Tapi, ini? Tak ada kabar apapun.

"Hampir 6 bulan."

Kelereng lembut itu tertutup. Helaan nafas panjang yang dilakukan Mikoto sebagai bentuk penstabilan emosi, berangsur mereda. Sesaat sebelumnya, ia sempat kehilangan kendali saat mengetahui ternyata ia mempunyai dua menantu yang sayangnya baru ia ketahui kebenarannya.

"Jika ibu tak kesini, apa kau akan terus menyembunyikannya?"

Sasuke terdiam. Sejujurnya, ia belum memikirkan akan membongkar statusnya. Terlebih, sang sahabat telah mengagumi atau bahkan menaruh hati pada istrinya. Itu adalah pilihan yang sulit untuknya. Ditambah, ia masih dalam masa berkabung. Jujur saja, kadang pikirannya masih terfokus dengan kepergian Hinata yang begitu cepat hingga sempat melupakan keberadaan Daisuke dan Sakura. Dirinya sejahat itu, bukan?

"Bagaimana pendapatmu jika ibu yang berada di posisi Sakura, Sasuke? Tidak diakui oleh orang sekitar bahkan lebih tepatnya suaminya sendiri. Bagaimana, Sasu?"

Sasuke menggeram. Hati serta akalnya seakan tertampar dengan perkataan sang ibu. Ia tak bisa membayangkan ibunya terabaikan karena diabaikan itu rasanya sangat sakit. Tidak dianggap itu benar-benar membawa luka. Ya, dirinya pernah merasakannya. Selalu di nomorduakan oleh sang ayah, nyatanya mampu menggores luka lama yang telah ia simpan jauh di sudut terdalam memorinya.

"Ini benar-benar keputusan yang egois. Bagaimana bisa---"

Amarah itu muncul. Wajah pias wanita itu berubah merah padam. Seperti yang dilakukan Sasuke sebelumnya, ia memijat kepalanya yang juga berdenyut.

"Bu, jangan menyalahkan Hinata."
Kelereng itu mendelik--- menatap Sasuke tak percaya.

"Memang benar, bukan? Ini adalah bentuk keegoisan mendiang istrimu dan entah kenapa kamu mengikutinya semudah itu. Mengorbankan satu perasaan lain yang harusnya juga mendapatkan kebahagiaan yang lebih baik dari ini, Sasu? Kau tak memikirkannya, bukan?"

Sasuke terdiam. Kepalanya menunduk dengan berbagai pikiran yang bercabang. Sakura. Selama ini, wanita itu tak banyak menuntut. Ia menuruti kemauannya tanpa meminta balasan atas kesukarelaannya menjadi istri keduanya. Tapi, apa yang ia berikan?

"Kamu pikir dia tidak menderita? Fisiknya mungkin baik-baik saja, tapi batinnya? Apa kamu tidak memikirkannya sejauh itu?"

Lagi. Bibirnya hanya mampu terkatup tanpa bisa melakukan perlawanan dan terus membiarkan sang ibu memuntahkan segala bentuk kekecewaannya sebagai ibu sekaligus wanita.

"Apa dia perawan?"

Sasuke menggendikkan bahunya yang sontak saja mendapatkan desisan sebagai respon dari pernyataan Mikoto barusan.

"Kamu punya dua istri tapi tidak bisa menyeimbangkan keduanya? Terbuat dari apa hatimu, Sasuke?"

Sasuke mengusap wajahnya frustasi. Ini bukan keinginannya. Semuanya permintaan Hinata. Ia hanya--- ck!

"Ibu, semuanya terlalu mendadak dan membuatku tertekan. Aku---"

Ucapan itu tertelan di tenggorokan. Suara ibunya yang naik satu oktaf bisa membungkamnya untuk membela diri.

"Kamu bodoh tapi jangan menambahinya dengan kebodohan lain yang akan merusak hati seseorang. Apa gunanya aku sebagai ibumu selama ini?"

Sasuke terdiam dengan pukulan telak yang dilemparkan oleh wanita yang melahirkannya itu. Wajah ibunya benar-benar memerah sempurna. Terakhir kali, ia melihat ekspresi itu adalah saat ia mabuk yang mengakibatkan kecelakaan dan hampir saja menghilangkan satu tangannya, namun untungnya itu semua tak terjadi. Bedanya, jika dahulu wajah ayu itu dipenuhi dengan basah namun sekarang kemarahannyalah yang paling mendominasi.

"Kamu tidak membicarakan hal sepenting ini pada keluargamu, Sasu? Kamu anggap apa ibumu ini?"

Sasuke mengacak rambutnya frustasi. Beberapa kali, tubuhnya terus bergeser untuk mencari titik kenyamanan namun hal itu tak kunjung ia temukan.

"Aku minta maaf, Bu."

Dengusan serta helaan nafas panjang menjadi melodi kutukan untuk tubuh Sasuke yang meremang. Sorot mata tajam itu menghunusnya seakan ingin meremukkan segala persendiannya, mematahkannya tak bersisa.

"Jika ibu tahu kalian akan menikah, mungkin ibu akan menggagalkan pernikahan keduamu saat itu. Ibu masih bisa merawat Daisuke."

Bunyi mug yang beradu kembali terdengar, keras.

"Ibu, ini tidak semudah yang ibu bayangkan. Hinata saat itu sedang hamil dan aku takut psikisnya akan terganggu jika aku tak menurutinya."

Dengusan kasar berganti lirih. Kepala hitam itu menggeleng pelan.

"Ibu tidak mau tahu. Kau ku berikan dua opsi. Umumkan pernikahan atau bercerai dengan wanita itu?"

Gioknya kembali melirik Sakura yang sempat melihat dirinya. Sungguh, malang nasibmu, gadis muda.

"Ibu tak ingin mempunyai anak yang egois karena mementingkan kepentingannya sendiri."

Langkah wanita yang menjauhinya itu terdengar menggema, meninggalkan Sasuke yang mengamati kepergian serta senyum tulusnya pada Sakura. Sejak kapan ibunya tersenyum setulus itu pada orang lain? Seingatnya, dengan Hinata pun hanya segaris senyum datar tak bermakna yang wanita itu lukiskan. Lantas, sekarang?

Sasuke mengacak rambutnya lantas pergi ke kamarnya untuk mendinginkan otaknya yang terlanjur ruwet.

Ia butuh sendiri.

©©©

Keheningan di ruang makan terasa semakin hening. Satu kursi yang sebelumnya kosong telah terisi, menjadi momok tersendiri bagi sang pemilik rumah. Kecanggungan itu terasa mencekik bagi keduanya.

"Sakura, bisa kita bicara?"

Kelereng berbeda warna itu saling menatap ke arah yang sama. Satu dengan rasa canggung sedangkan satunya dengan rasa penasaran.

"Apa yang ingin ibu bicarakan?"

Sasuke menyela. Berhadapan dengan Mikoto tak serta merta membuatnya harus waspada. Wanita yang melahirkannya itu memang lembut namun adakalanya, ia akan berubah menjadi singa betina. Dan dari percakapan pagi tadi, Sasuke sudah masuk ke dalam jeratan musuh bagi wanita itu.

"Tidak boleh, ibu mengenal menantu ibu sendiri, Sasuke?"

Nyonya tetaplah nyonya. Itu adalah prinsip seorang Mikoto Uchiha, wanita utama dalam keluarga Uchiha yang mana hal itu membuatnya menjadi Ratu nomor satu di sana.

Sasuke yang tertampar, meneguk segelas airnya yang seakan tersendat di kerongkongan seraya melirik Sakura yang melakukan hal yang sama, meliriknya. Ia tahu, wanita itu pasti merasakan canggung.

Sebersit rasa bersalah menyambangi hatinya saat perkataan sang ibu pagi tadi terngiang di benaknya. Meneliti wajah tirus Sakura, ulu hatinya berdesir.

"Jangan terlalu---"

Sasuke menghela nafas saat ucapannya di ujung bibir terpaksa ia gigit. Lagi-lagi, ibunya menyela.

"Ibu tahu posisi, Sasuke."

Kedua tangan Sasuke mengepal yang mana, hal itu tertangkap oleh hijau hutan milik Sakura.

Tbc

Edit? Not yet.

Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang