2 - B E R H A S I L

216 51 7
                                    


Malamnya, sekitar pukul sembilan, gue udah berdiri di depan pintu rumah dengan muka yang kelihatan bego banget, bego yang hampir mendekati orang teler.

Teler yang bukan karena habis minum-minum, ya. Justru disaat anak-anak anasikul ngajak ke HURA pub sebagai reward diri mereka atas kelancarannya pameran tadi, gue lebih memilih untuk bohong —karena sumpah gue ngantuk banget sampai rasanya pengen mati— dengan berpura-pura bilang ada yang ngedatangin gue.

"Ada pacar gue nih di depan, lagi nunggu." Padahal gue sadar diri kalau gue jomblo sejak embrio.

Tapi entah kenapa temen-temen pada percaya aja gue kibulin.

"Ya udah sana cepet samperin, berabe kalau sampe marah."

Gue mengangguk cepat-cepat saking antusiasnya. "Lo ke sana aja duluan, ntar gue nyusul."

"Iya, santai ajalah."

Gue cengengesan sambil berlalu pergi, meninggalkan beberapa orang yang lagi ngumpul-ngumpul buat berangkat bareng, gue mah cukup mengambil langkah lebar-lebar berlawanan arah sama mereka. Jalan menuju rumah tercinta yang sempat gue tinggalin selama sehari semalam. Pasti dia kangen gue, banget.

Di sepanjang jalan yang gue lalui, gue melompat kecil yang kemudian berangsur dengan menendang udara oleh kedua tangan gue yang terkepal.

Kalau dilihat orang lain, pasti dikira orang gila gue. Tapi beruntungnya di depan selalu sepi, cuma ada angin, rumput, nyamuk dan gue. Semua itu nggak akan membuat gue dicap orang gila dadakan.

"Halo..."

Ada seseorang yang menelepon gue disaat gue sedang memasukkan kunci ke lubang pintu. Gue menyelipkan hape di antara telinga dan bahu yang saling berdekatan, seseorang di seberang membalas. Yang ternyata telepon itu berasal dari Bang Yasa, ketua anasikul.

"Gue udah pulang Bang daritadi. Sori ya, pacar gue bawel banget pengen dianter pulang soalnya."

"Santai aja kali bang, masih ada lain waktu kok. Udah sana nikmatin hidup lo, gue bakalan nikmatin hidup gue sendiri. Hehehe."

"Siap, bang, siap."

Panggilan berakhir bersamaan dengan gue yang memutar hendel pintu ke bawah dan mendorongnya sedikit ke depan.

Gue lalu berjalan lunglai menuju meja makan, kemudian duduk dengan kepala yang gue sandarkan secara miring, telinga yang menempel pada kayu dingin memberikan sensasi menenangkan untuk gue, yang membuat gue langsung memejamkan mata. Rasanya itu nyesssss, mantep banget nggak bohong.

Sial. Ngantuk gue kalau begini terus sampai nanti.

Seluruh badan gue lemes berasa jadi jeli dadakan. Ini sih gara-gara gue yang sok-sokan nggak mau tidur kemarin karena nggak mau lupa sama acara ini lagi.

Oh iya, kok gue malah keinget sama cewek itu sih... si tetangga sinting. Apa kabar dia sekarang?

Tapi tiba-tiba, gue juga teringat dengan buku catatan yang telah menjadi teman selama gue yang jadi seperti ini, disitu tertulis hal apa aja yang akan gue lupakan hanya dengan tidur dalam satu malam;

1. Lupa dengan seseorang yang menurut lo penting.
2. Lupa dengan seseorang yang bakalan ngabisin waktunya seharian penuh sama lo.
3. Orang yang selalu lo ingat
5. Kerabat terdekat, temen akrab, orang-orang penting
5. Tapi lo nggak akan lupa siapa diri lo

Gue nggak akan lupa siapa gue. Tetapi gue akan lupa dengan orang-orang di sekitar gue.

Karena setiap kali terbangun dari tidur, gue berasa menjadi bayi yang nggak tahu siapa-siapa.

𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang