- Ekspektasi & Kamu

162 30 0
                                    

2018

"Dek, umur duapuluh nanti kamu udah harus lulus kuliah juga, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dek, umur duapuluh nanti kamu udah harus lulus kuliah juga, ya..."

Buset.

Baru juga mau masukin nasi ke mulut, masa harus keluar lagi gara-gara perkataan Mama yang mendadak bikin gue keselek dengan nggak manusiawi padahal mulut masih dalam keadaan bersih.

"Mah, jangan mulai deh." Beruntung Mas Adhi selalu jadi sayap pelindung gue yang dengan sigap menebas semua perkataan nyelekit Mama. "Ini kita makan malam bareng-bareng bukan untuk mojokkin Keira loh, kan janji nggak akan bahas apa pun yang berhubungan sama kita berdua."

Gue mengangguk setuju sembari meneguk segelas air, kemudian kembali memasukkan nasi ke dalam mulut dan mengunyahnya secara perlahan.

"Keira baru mulai semester dua, Mah. Biarin dia buat santai-santai dulu nikmatin masa SMA-nya." Ayah menimpali.

Kalau kayak gini, Mama nggak akan lagi bersuara. Beliau hanya akan mendengus atau membuang napas berat yang sejurus kemudian pergi meninggalkan ruang makan dengan kemarahan.

Namun, detik itu, Mama hanya diam di tempat duduknya, menunduk dengan memegangi garpu dan juga sendok di kedua sisi tangannya tanpa sedikitpun menurunkannya ke piring, merenung cukup singkat.

"Lagian ya, Mah. Keira juga nggak tahu harus ambil jurusan apa sekiranya Keira memang harus lulus di usia Mas Adhi yang sekarang." Gue menjawab sekenanya.

Dan jawaban barusan itu berhasil membuat kepala Mama mendongak, menatap gue dengan sorot mata tajam yang sangat mengintimidasi.

"Harusnya kamu udah mulai mikir itu dari sekarang, mumpung masih kelas satu kan seperti kata Ayah? Kamu bisa mikir jurusan yang kamu mau itu matang-matang, Kei. Jangan sampai kamu gagal seperti orang-orang yang biasa Mama lihat di jalanan itu."

"Mah-"

Mama nggak sedikitpun membiarkan Mas Adhi kembali membela gue. "Mamah bersikap kayak gini ada maksudnya, Adhi. Jadi kamu berhenti menyela Mamah setiap kali Mamah menasehati adik kamu."

Nggak ada lagi yang berani untuk menyela. Bahkan Ayah sekalipun, meski Ayah duduk di kursi utama di antara kita, pangkat Ayah sebenarnya turun satu tingkat jika berada di meja makan.

"Jadi Keira, pikir dari sekarang. Hal yang kamu suka atau hal yang pengen kamu lakuin untuk ke depannya nanti. Mama sama Ayah nggak akan nuntut kamu seperti halnya Mas Adhi, jadi kamu bisa bebas buat milih apa aja. Iya, kan, Yah?"

Ayah cuma menganggukkan kepalanya singkat di kursi utama yang berhadapan dengan Mas Adhi, terlihat seperti ingin cepat-cepat mengakhiri Mama yang terus saja memberikan semprotan rohani pada dua anaknya yang sedikitpun nggak bisa membela diri.

Dan disaat yang sama, gue melirik ke samping, pada eksistensi Mas Adhi yang tampak kalem dengan segala hal yang terjadi saat ini. Dia makan dalam diam, bertingkah seolah-olah nggak ada hal menyakitkan atau hal apa pun yang berhubungan dengannya.

𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang