[02] Unwanted Dream

62 9 0
                                    

Malam ini Prim dan keluarganya makan bersama di ruang makan. Bude mulai menyendokkan nasi di piring semua orang. Seperti biasa, makan bersama setiap pagi dan malam adalah rutinitas yang tidak pernah mereka lewatkan.

Selama makan, tak ada satu suara pun terdengar selain bunyi dentingan garpu yang bertumbukan dengan piring kaca.

"Ohiya Pak, Mak, minggu ini minggu terakhir Zara sekolah. Hari sabtu akan bagi raport dan liburan sekitar 3 minggu, setelah itu masuk ajaran baru." Zara memecah keheningan dengan menginformasikan seputar aktivitas sekolahnya.

"Hmm." Ayah Zahra a.k.a Pakdenya Prim mengangguk sambil tersenyum tipis. "Gak kerasa ya, Zara akan masuk kelas XI. Dan Prim akan masuk ke SMA. Nanti, Prim masuk di sekolahnya Zara aja, sekolah terbaik di kota ini. Zara juga-"

"Uhuk-uhukk,"

Primsa tersedak di sela-sela mengunyah makanan, membuatnya jadi terbatuk-batuk.

Bukde dengan sigap langsung memberikannya minum. "Pelan-pelan makannya, Pim." tegur Bukde.

Prim menyeka sisa air di tepi mulutnya. "I-iya bude maap hehe,"

Sementara, Zara hanya memasang wajah awkwardnya. Ia tahu apa penyebab Primsa jadi tiba-tiba tersedak.

"Pim-Pim juga minggu ini minggu terakhir sekolah Pakde, Bukde. Ujian nasional dan ujian sekolah juga udah selesai. Tapi, masih sering ada bimbingan buat ujian masuk SMA," jelas Prim dengan senyuman manisnya.

Pakde dan Bukde menganggukkan kepala tanda mengerti, membuat Prim merasa lega.

"Bagus itu, kalau ada bimbingan, nanti Pim-Pim bisa lulus ujian di sekolah favorit kaya Zara." Ujar Pakde yang diangguki oleh Bukde.

Prim menghela napasnya pelan. Jauh di dalam lubuk hatinya bukan itu yang saat ini ia angankan.

"Kalau Prim mau sekolah di tempat lain, gimana Pakde?" tanya Prim bernegosiasi.

"Hmm, ga masalah. Kamu bisa pilih SMA mana pun di kota ini. Cuman, Pakde 'kan taunya sekolah terbaik itu sekolahnya Zara, makanya Pakde bilang kamu sekolah di situ aja, begitu."

Prim mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

"Kalau di luar kota?" tanya Prim lagi.

Lalu Pakde kembali bertanya, "Di luar kota mana?"

Sementara mereka saling melempar tanya, Bukde dan Zara hanya diam menikmati makanan.

"Di luar negeri." Jawab Prim berhati-hati. Pakde berhenti menyendokkan makanan ke mulutnya lantas menatap Prim. "Negara apa?"

"Thailand,"

Prang!

Pakde seketika menjatuhkan sendok yang ia pegang, menghasilkan bunyi benturan sendok-piring yang tidak bersahabat. Matanya menatap Prim datar namun tersirat ketegasan yang jelas di sana.

"Kalau kamu mau sekolah di luar negeri, boleh. Syaratnya ada dua, pertama, lulus beasiswa, kedua bukan negara Thailand." Tegas Pakde tak terbantah.

"Tapi Pakde, Pim mau-"

"Pakde heran liat kamu, ternyata sampe sekarang ya kamu masih membicarakan tentang negara itu. Suka sama artis-artisnya dan bermimpi pergi ke negara itu. Kamu gak boleh pergi ke sana. Sampai kapan pun Pakde ga akan pernah mengizinkanmu. Ingat itu!"

Setelah menegaskan kalimat panjang nan absolut itu, Pakde pergi dan meninggalkan meja makan. Menyisakan nasi dan lauk di piringnya yang belum sepenuhnya habis.

Suasana berubah menjadi hening.

Bukde menghela napasnya dan mengusap bahu Prim pelan. "Coba kamu pikirin lagi tentang keinginanmu itu yah, Prim. Jangan sedih, Pakdemu mungkin lagi banyak pikiran."

PIM-PIM DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang