18 - Theatrical

465 49 43
                                    

Di tengah alufiru sorak pesta perayaan kelulusan, dua orang dari sana berhasil loloskan diri. Cari tempat bernaung tuk tepis anhedonia yang buat sebal. Juga mencari udara segar, sebab bau alkohol membuatnya hampir mati. Sangat menyengat. Pesta kali ini tidak dihadiri guru ataupun kepala sekolah. Ya. Para murid kelas dua belas sendiri yang mengadakannya. Katanya ini berbeda. Jelas sekali. Kali ini bebas. Tidak ada batasan.

Si pria menarik si gadis tuk keluar dari kerumunan. Menggenggam ruang tangannya yang bebas. Berlari. Membelah udara malam yang kelihatan menggigil. Rupanya dua orang itu asiknya lebih berpusat pada sebentang laut lepas yang menggiurkan di depan sana. Ketimbang ikut mabuk. Tidak tahu apa tujuannya. Sebab ada beberapa yang memilih mabuk karena ingin melupakan masalah hidup. Kendati dia harusnya tahu tak semua mabuk menyelesaikan. Bisa saja itu justru menambah masalah baru. Yang kadang-kadang tatkala kamu buka mata di pagi hari kamu akan menenggelamkan diri di bawah selimut bersama setumpuk rasa malu.

Jantungnya bertalu-talu. Sementara ainnya memandang takjub tatkala mereka sampai pada penghujung jalan. Pagar pembatas tepat di hadapannya. Gemercik air laut semakin terdengar jelas di dua rungu yang memerah lantaran dingin udara malam mulai menyapa. Secara halus, namun terasa sampai ke tulang-tulang. Riuh irama musik pesta terdengar jauh di dalam sana. Setidaknya tidak begitu mengganggu. Kemudian si gadis lempar tilik ke bawah. Tatapi ruas jemarinya yang penuh. Bagaimana ini? Dia merasa candu. Tidak ingin melepasnya kendati harus. Merasa sebuah amenitas ada di dalam dirinya sekarang. Tetapi ketimbang si lelaki yang lebih dulu sadar kemudian melepasnya, dia harusnya lebih dulu tuk cegah rasa malu. Dan dia melepasnya.

"Terima kasih sudah setuju, Jimin." Diam tatkala dapati Jimin lempar senyum padanya kemudian nikmati dersik udara malam seraya tutup dua kelopak mata nan tipis itu. Kaku. Seperti listrik menyengatnya. Bagaimana bisa Han Jimin seindah itu? Wujud presensi yang tengah berdiri di sampingnya itu seperti manekin berjalan. Rupanya Gyura menemukan hal yang bisa memanjakan matanya selain hamparan laut lepas.

"Sekarang aku tahu mengapa kau sangat suka laut." Dia memutuskan biarkan kalimatnya mengudara setelah menelurusinya. Mencari letak bagian terbaik mana yang buat itu masuk daftar kesukaan. Seperti membaca tiap-tiap bait puisi tulis. Tidak mengerti dan tidak tahu pada kata mana yang buatmu terus merapal diksi-diksinya sampai akhir. Awalnya mungkin tidak. Tapi jika kau membacanya, kau harus tahu mengapa rela buang waktumu demi baca puisi yang judulnya saja kau tidak tahu? Tetapi kau tetap melanjutkannya. Layak dengar musik bahasa asing namun iramanya berhasil membawamu untuk terus menyimpannya baik-baik di dalam gendang telingamu.

Jimin paham betul apa yang ia sukai. Namun tidak tahu mengapa suka itu. Karena itu sama dengannya? Sebab itu masuk keseleranya? Bagaimana dia bisa mengetahuinya jika rasa suka itu muncul dengan sendirinya? Lagi pula, tidak harus ada alasan untuk menyukai suatu hal.

"Kenapa?" Torehan kepala sembilan puluh derajat itu buktikan jika si gadis tertarik dengan pembicaraan.

"Karena menenangkan." Dia jawab itu tanpa keraguan.

"Itu yang kau rasakan?"

Jimin mengangguk. "Rupanya bukan karena aku tak suka laut, tapi karena tak sempat mencari letak nikmatnya. Dan sekarang aku tahu. Laut memanipulasi serebrumku. Imajinasiku melayang jauh. Aroma laut memabukkan indera penciumanku. Kau tahu? Mungkin aku terlihat berlebihan tapi, sekarang laut jadi candu bagiku, Gyu."

"Well-aku tidak akan kaget mode-mu yang seperti itu, Jimin. Kau seorang pemuja. Lebih dominan pada sesuatu yang kau sukai. Aku jadi penasaran apakah kau punya banyak kata untuk memujiku?"

"Kau sendiri bilang pujianku ini hanya tertuju pada sesuatu yang aku sukai-"

Si gadis menyahut cepat, "A-ah, kau tidak suka aku rupanya."

THEATRICAL ; PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang