09. Mulai Bergerak

128 28 13
                                    

Kereta kembali melambat, dan Winarso bersaudara dengan enggan melihat si penumpang ketiga kembali dari gerbongnya sambil membawa sebuah tas ransel yang terlihat lumayan berat. Penumpang bernama Hadrian itu awalnya memesan tiket dengan tujuan Stasiun Tugu, satu pemberhentian lebih awal dibanding Dewantoro dan Johanna. Hanya saja, setelah ia mengetahui kalau apa yang ia tumpangi ternyata kereta gaib dan bisa berhenti di stasiun mana pun, Hadrian yang tinggal di daerah Minggir memutuskan untuk turun di Stasiun Rewulu karena lebih dekat dengan rumahnya.

Itu berarti hanya Hanna dan Dewan saja yang akan mengetahui apa penyebab kereta gaib itu tidak pernah tiba di tempat tujuan puluhan tahun lamanya.

"Kalian beneran mau nyoba ke lokomotifnya?" tanya Hadrian sekali lagi, yang dibalas dengan anggukan kepala Johanna. "Maaf, ya, nggak bisa nemenin kalian sampai Jogja."

"Nggak apa-apa, Mas. Wajar kalau njenengan milih turun di Rewulu, 'kan bisa hemat di ongkos juga." Dewantoro tersenyum.

Saat kereta benar-benar berhenti, Hadrian bergegas turun sembari melambaikan tangan, tak lupa berpesan kepada dua orang yang lebih muda darinya itu untuk menjaga diri; apabila terjadi sesuatu, Hadrian sangat menyarankan keduanya untuk turun dari kereta secepat mungkin.

──●◎●──

Dan betapa terkejutnya Kustinah ketika melihat kakak-beradik itu kembali ke gerbong empat. Ia kira, keduanya sudah kabur entah di stasiun mana dan meninggalkan barang-barang mereka. Surya duduk di sebelah neneknya, mengabaikan kehadiran Winarso bersaudara karena sedang fokus mengunyah sesuatu.

Dari sudut matanya, Dewantoro menangkap Heri yang terlelap di kursinya sendiri.

"Saya kira sampeyan udah turun dari tadi," celetuk Kustinah.

"Mboten kok, Bu. Tadi saya sama adik di gerbong restorasi, kebetulan ketemu sama penumpang yang kaya kita berdua."

Kustinah menaikkan sebelah alisnya, merasa terkejut sekaligus tertarik.

"O, ya?"

"Iya, tapi dia udah turun di Stasiun Rewulu tadi."

Menganggukkan kepalanya, Kustinah kemudian mengalihkan atensinya pada sang cucu. Dewan buru-buru menarik lengan kakaknya, dan mereka berdua kembali berjalan menyusuri gerbong untuk sampai ke lokomotif.

"Wan."

"Hm?"

"Kok perasaanku nggak enak, ya?" Hanna menggenggam tangan Dewan erat, tidak peduli dengan telapak tangan adiknya yang sedikit berkeringat. "Kaya bakal ada sesuatu."

"Nggak bakal ada apa-apa, Mbak. Yah, paling cuma ada hantu masinisnya, secara ini 'kan kereta—"

Dewantoro tidak mampu menyelesaikan kalimat yang hendak ia utarakan, karena sebuah suara mengalihkan atensi mereka berdua. Suara tembakan yang berasal dari gerbong belakang membuat Winarso bersaudara saling bertukar pandang.

"Wan? Tadi Mas Hadrian nggak cerita apa-apa soal tembakan, to?"

"Enggak, Mbak. Kalau ada, dia pasti cerita 'kan? Nggak mungkin informasi sepenting itu nggak dia ceritain."

Johanna masih memandang ke arah gerbong belakang dengan cemas. Dia tidak mungkin salah dengar, itu sudah pasti suara tembakan. Firasat buruk sudah mulai menghampiri, dan Hanna ingin segera menepis firasat itu seolah-olah mengusir serangga yang tengah merayap di kakinya.

Sama halnya dengan Johanna, Dewan juga tidak habis pikir dengan suara yang baru saja ia dengar. Bagaimana mungkin suara tembakan terdengar dari dalam kereta? Apakah ada penjahat? Apakah seseorang membajak kereta ini?

The Last DutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang