Bisikan-bisikan para hantu itu makin lama semakin terdengar mengerikan bagi Winarso bersaudara. Siapa yang datang? Lebih tepatnya, apa yang datang? Mereka berdua tidak tahu, tidak bisa pula membayangkan apa atau siapa yang dimaksud. Mereka tidak bisa bergerak, kedua kaki mereka seakan dipaku pada lantai untuk mencegah mereka pergi.
Ya Tuhan, apa-apaan ini?
"M- Mbak Hanna."
Suara itu terdengar begitu parau, tapi Dewantoro tidak mungkin salah mengenalinya. Ia buru-buru membuka pintu gerbong yang ada di belakangnya, dan Surya berdiri di balik pintu itu.
Dengan wujud mengerikannya.
"S- Surya? Kamu ngapain?"
"Mas Dewan-" Ia menangis dengan mata berlubang, dan air mata yang normalnya berwarna bening kini sepekat darah, terus mengalir bahkan sampai ke baju yang ia kenakan.
"Surya." Johanna buru-buru berjongkok sambil meremas bahu anak kecil itu. "Kenapa? Matanya jatuh lagi, ya? Mau Mbak Hanna cariin?"
"P- Pergi."
"Pergi?"
"K- Kata Mbah Putri, Mbak Hanna sama Mas Dewan harus pergi. Keluar dari sini." Napasnya tersengal, dan Johanna terus mengusap punggung Surya supaya ia bisa mengatur napas sekaligus menenangkannya. "K- Kalau nggak pergi, nanti jadi kaya Surya."
"Surya ..."
"Tapi aku juga mau pulang." Tangisnya pun meledak. "Aku mau pulang, mau ketemu Bapak Ibu, mau main kelereng sama mbakku lagi."
"Bu Bar-" Johanna berdeham. "Mbah Putri sekarang di mana? Pak Heri?"
"D- Di gerbong." Ia masih terisak. "N- Nggak bisa gerak. Makanya a- aku yang disuruh cari M- Mbak Hanna."
Entah kenapa, Dewantoro merasa kesal saat benaknya sudah mengetahui apa maksud dari ucapan Surya barusan. Kondisi anak itu sudah menjelaskan semuanya sejak awal. Suara tembakan yang mereka dengar tadi, entah bagaimana caranya, memicu para hantu untuk menampilkan wujud asli mereka.
Atau kurang lebih, wujud mereka setelah tragedi itu terjadi.
"Surya." Dewantoro turut berlutut di hadapan Surya. "Kamu tadi denger suara tembakan, ndak?"
Takut-takut, Surya menganggukkan kepalanya.
"Terus matamu hilang?"
"I- Iya."
"Kamu tahu suaranya kira-kira dari arah mana?"
"Dari-" Surya memilin bibirnya. "D- Dari belakang. Terus aku denger Mbah Putri bilang ada yang datang. Ada yang nangis juga. Ada yang cuma diem tapi mulutnya komat-kamit."
"Terus?"
"Terus sebentar lagi bakal ada tembakan lagi, terus DOR!" Surya merentangkan kedua tangannya. "Ada yang meledak."
"Meledak?" bisik Johanna dengan mata terbelalak. "Apanya yang meledak?"
"Semuanya." Surya balas berbisik dengan wajah didekatkan pada Johanna. "Semuanya, termasuk Surya sama Mbah Putri."
Tunggu. Tunggu sebentar.
"Tembakan yang terakhir." Dewantoro mengguncang tubuh Surya lebih kuat dari yang ia inginkan. "Kamu denger dari arah mana?"
"Dari depan."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jangan ke sini!" Lolongan itu langsung menyerang indera pendengaran Dewantoro dan Johanna setelah mereka meninggalkan Surya untuk menjaga pintu gerbong dengan ponsel Johanna sebagai jaminan. "Pergi! Pergi!"
"Nggak akan," dengus Dewantoro sambil lalu. Johanna berjalan di belakangnya sambil merapatkan jaket. "Aku mau pulang, terus tidur. Kalau kalian nggak pulang, aku juga nggak bisa pulang."
"Wan, aku nggak paham kenapa Surya ditinggal sendirian di sana."
"Masa, sih? Ceritanya Surya tadi udah ngasih clue gede banget buat kita, lho, Mbak."
"Tetep aja, nggak ngerti."
Dewantoro berdecak. "Surya tadi bilang kalau ada dua tembakan sebelum semuanya meledak. Meledak yang dia maksud itu aku tangkep sebagai kecelakaan kereta yang diceritain Mas Hadrian. Tembakan pertama dari arah belakang gerbong, tembakan kedua?"
"Dari depan." Johanna mengulang jawaban Surya sebelumnya. "Depan? Maksudmu-"
"Iya, aku curiga kalau arah depan yang Surya maksud itu lokomotifnya."
"Kalau tembakan itu beneran dari sana, berarti kesimpulan dari penyelidikan kereta ..." Johanna menelan ludah. "Salah. Masinisnya berarti nggak lalai."
"Bingo." Dewantoro menjentikkan jari. "Sebenarnya ada kemungkinan kalau penembaknya ada dua orang; satu di gerbong belakang, satu di lokomotif. Tapi, penumpang-penumpang tadi bilang 'dia datang', seolah-olah cuma ada satu orang yang dateng dari arah belakang ke depan, ngelewatin penumpang-penumpang itu. Aku juga penasaran sama satu hal, kenapa hantu-hantu ini nggak ada yang bisa gerak selain Surya."
"Sebenernya ada pertanyaan yang lebih penting, Wan." Kini Dewantoro benar-benar menoleh ke arah kakaknya. "Kenapa kita malah pergi ke gerbong belakang?"
"Buat nyegah si penembak dateng ke lokomotif." Senyuman sendu itu muncul. "Kayanya emang cuma kita berdua yang bisa nganterin Surya pulang, Mbak."
Johanna terdiam, menatap manik mata adiknya selama beberapa detik sebelum menghela napas pasrah.
"Pulang, ya?" ucap Johanna lirih. "Karena kereta ini belum pernah sampai ke tujuan akhir mereka sejak kecelakaan itu, makanya mereka nggak pernah bisa sampai rumah, makanya Surya nggak bisa pulang."
"Hitung-hitung membantu sesama terus dapet pahala, Mbak. Nggak apa-apa 'kan kalau kemungkinan terburuknya nanti kita berakhir kaya mereka?"
Suasana sedih itu langsung berubah tatkala Johanna menjitak kepala adiknya.
"Membantu sesama matamu, ini sama aja kita bantuin demit! Nggak bakal dapet pahala!"