https://www.youtube.com/watch?v=S7UXb5aEefE
Setiap inchi matanya. Bentuk wajahnya. Senyumnya ketika pertama kali menjumpainya. Cara ia memeluk serta lebar dadanya. Suara tawanya. Suara tegasnya. Hangatnya genggaman tangannya. Helaian rambutnya yang halus. Hembusan napasnya yang menerpa wajah. Lentik bulu matanya ketika terpejam. Ekspresinya ketika marah. Sikap manjanya. Kata-kata manis yang terlontar untuk menghibur. Aroma dari tubuhnya. Semua itu masih teringat jelas di memori Sonia. Semua itu sangat familiar di hidupnya, tak pernah terbayangkan jika semua itu harus hilang dari hidupnya.
"Aku masih sayang," gumamnya sambil memeluk gulingnya. Tak terasa matahari sudah mau terbit, hingga alarm Sonia berdering. Ia harus bersiap-siap untuk magang.
Hal yang paling menyakitkan dari perpisahan yaitu terjadi di hari kerja. Disitulah diuji kekuatan kita untuk berpura-pura baik-baik saja di depan orang-orang yang berada di sekitar kita. Dan rasanya sangat sesak di dada.
Dunia seakan tak peduli perasaan Sonia saat itu, semuanya berjalan seperti biasanya. Jalanan tetap ramai dengan kendaraan, orang-orang berlalu lalang. Tatapan Sonia kosong, pikirannya masih memikirkan Rio. Menerka-nerka apakah semua yang ia lihat benar adanya. Meyakinkan lagi apakah semua ini benar-benar terjadi. Matanya sembab dan tak sanggup meneteskan air mata lagi.
Sebelum masuk ke dalam ruang kerja, ia pastikan dirinya tampak rapi di kamar mandi. Ia mencuci tangannya dan menatap ke cermin. Ia membengkokkan lehernya, melihat dirinya sendiri yang begitu menyedihkan wajahnya datar. Kemudian ia tersenyum kecil, berlatih untuk tersenyum di depan umum.
"You can do it, Son," gumamnya pelan menyemangati dirinya sendiri meskipun sebenarnya ia ingin sekali menangis sejadi-jadinya. Tapi, ia harus menjaga sikap.
Semakin dewasa kita, tanpa kita sadari kita dituntut untuk mengikuti standar yang ada di dunia ini. Untuk terlihat bahagia di depan orang-orang, karena semua orang tak peduli apa yang kita rasakan. Menyedihkan, karena sesungguhnya tidak semua orang baik-baik saja di waktu yang bersamaan.
Sonia tersenyum menyapa orang-orang kantor seperti biasanya. Kemudian ia duduk di bilik kerjanya, menghela napasnya menguatkan dirinya untuk bekerja yang profesional untuk meraih mimpi-mimpinya kelak. Ia harus memaksakan diri untuk tidak memikirkan Rio untuk saat ini.
"Gimana kemarin ngeliput di airport, Son?" tanya Jessica teman magang Sonia yang berasal dari Universitas yang berbeda. Mereka cukup dekat karena saling menyemangati untuk diterima sebagai pegawai di perusahaan ini kelak.
Sonia menghadap ke arah Jessi yang sedang berdiri di sampingnya. "All good, seru banget Jess akhirnya turun ke lapangan." Sonia mencoba untuk tersenyum kemudian mengalihkan lagi wajahnya ke depan laptop.
Jessi langsung menyentuh pundak Sonia, membuat Sonia menghadap Jessi lagi. "Lu kenapa, Son?" Terlihat jelas dari mata Sonia yang sembab. Dan tentu Sonia membalasnya dengan jawaban andalan wanita pada umumnya, "Gue gak papa."
"Lah, Son. Serius lu kenapa dah? Keliatan banget muka lu kayak habis ditonjok tau gak."
Sonia memelas, "Emang keliatan banget ya, Jes?"
"Ih, keliatan banget! Lu harus cerita ntar jam istirahat!"
Sonia mengangguk. Jessi berdecak, "Lu kenapa si Son, kasihan gue liat lu. Gue balik ke meja gue dulu ya, semangat!" Jessi mengelus-elus pundak Sonia lalu pergi menuju ke mejanya yang berada di pojok ruangan yang sama itu. Sonia hanya mengangguk.
Melakukan aktivitas pada biasanya di kala hati sedang berantakan memang sangat berat tak dapat dipungkiri, selagi hati masih menangis tapi dipaksa untuk bekerja. Disitu pun Sonia sadar bahwa ia semakin dewasa harus semakin pintar mengatur perasaannya. Ia kadang melamun di tengah pekerjaannya, kemudian tersadar kembali untuk bekerja lalu tiba-tiba terpikir lagi mengenai Rio yang membuat hatinya terasa nyeri.
YOU ARE READING
Me Far from You
Teen FictionPernah gak sih Jatuh Cinta tapi belum pernah ketemu? :)