Terkadang kesedihan tidak terkatakan tetapi terlihat dari mata.
Stefan tidak bisa tidur. Ia menatap dirinya di depan cermin. Matanya sembab setelah menangis semalaman, rambutnya berantakan tak beraturan. Tangannya terluka karena ia tak sadarkan diri memecahkan figura potret dirinya dengan Molly, ia benar-benar minum terlalu banyak. Hingga Mamanya khawatir, kenapa ia berubah seperti itu.
"Kenapa sih gue harus kuliah di aussie," gumamnya masih sambil menatap dirinya ke cermin. Stefan membayangkan dirinya jika ia tidak memutuskan pergi kuliah ke luar negeri, mungkin hubungannya dengan Molly akan baik-baik saja.
"Emang gue gak bisa jadi yang lo pingin, Mol." Ia kecewa dengan dirinya, tidak bisa membuat pacarnya itu senang ketika berada di dekatnya.
Stefan menunduk menangis lagi, ia memegang dadanya. "Molly maunya apa sih! Gue bingung deh! ARGH!" Ia menghentakkan kakinya, menendang-nendang kasurnya hingga tak sengaja menendang kaki kasur tersebut yang terbuat dari. "Awh! Sialan!! AH TAU AH!"
✈✈✈
Setelah menyiapkan dirinya untuk bergegas pergi, Stefan turun ke bawah untuk berkata jujur pada kedua orang tuanya, "Mom, Dad, Stefan dah putus sama Molly." Stefan merasa ia harus mengatakannya karena menurutnya harus terdapat transparansi antara anak dan orang tua. Sulit memang mengatakan kebenaran ini, tapi kedua orangtuanya berhak tahu.
Mamanya terkejut, "Mom kira kemarin Cuma berantem." Wanita paruh baya itu masih terlihat cantik dengan rambut panjang terurai dan wajah yang masih terlihat 20 tahun lebih muda dari usianya.
"Tuhkan Daddy bener," ujar Papa Stefan sambil menoleh ke istrinya yang bernama Stefani.
"Kok bisa sih?" Tanya Stefani terkejut.
"Stefan yang putusin, Mom. Udahlah, Stefan males bahas-bahas Molly lagi." Stefan mencoba memasang wajah biasa saja, dan tidak ingin lagi mengingat-ngingat kejadi semalam.
Stefani dan suaminya—Ryan mengerti dengan jelas ketika anak tunggalnya itu benar-benar sedang tak ingin disinggung hal-hal yang berkaitan Molly lagi.
"Yaudah, Mom, Dad, Stefan pergi yaa hari ini. Semester ini tinggal thesis sama beberapa matkul, nanti setelah itu Stefan bakal sama Mom Dad terus di indo," ujarnya sambil tersenyum sekilas. Sebagai anak tunggal tentu Stefan sebenarnya sedih harus kuliah di luar negeri, tidak dapat menemani mama papa. Tetapi kuliah di Melbourne mengambil jurusan arsitektur adalah impiannya. Rasanya ia ingin dekat dengan kelurganya saja disini.
"Take care, Son," ujar Ryan yang juga merupakan arsitek ternama yang menjadi inspirasi Stefan untuk mengikuti jejak papanya.
Tak ingin berlama-lama disini supaya ia tidak meneteskan air mata lagi, Stefan melambaikan tangan kepada kedua orang tuanya itu dan masuk ke dalam mobil untuk segera menuju ke bandara.
"Stefan sayang papa mama," bisiknya kecil sekali kemudian meghela nafasnya.
✈✈✈
Bandara internasional Soekarno-Hatta seperti biasa selalu ramai, apalagi terminal 3 baru saja resmi beroperasi pada hari ini. Lorong panjang tersebut dipenuhi dengan cahaya matahari yang menerobos melalui kaca jendela. Biasanya Stefan sangat tertarik untuk melihat detail dari setiap bangunan yang ia kunjungi, tapi hari ini ia sedang tak bersemangat.
Stefan mengenakan kaca mata hitam untuk menutupi matanya yang dapat dibilang bengkak dan ia tak sempat merapikan rambutnya sehingga terlihat berantakan, serta kaos putih dan jaket jeans denim serta mengenakan celana panjang jeans hitam dengan sneakers hitamnya ia berjalan melewati lorong tersebut sambil mendorong trolley nya.
Melewati lorong di bandara ini selalu mengingatkannya pada kenangan manis yang pernah terjadi disini. Sepertinya selama ia kuliah bolak-balik ke benua kangguru tersebut, Molly selalu mengantar dan menjemputnya di bandara. Hari ini, pertama kali ia pergi tanpa ditemani Molly.
Rasanya mata Stefan mulai berkaca-kaca lagi, apalagi mengingat pertama kali Stefan harus pergi meninggalkan Jakarta.
Molly memasang wajah cemberut, "Babe.......,"
Stefan merangkulnya erat di sampingnya, "Kenapa sih? Jangan cemberut dong." Ia memegang kedua pipi Molly dengan satu tangan.
"Se-diiiiiiiiiiih." Molly menatap Stefan dengan wajah memelas. Ia sedih harus berada jauh dari Stefan. Mereka biasanya bertemu setiap hari dan sekarang Stefan akan pergi.
Stefan terkekeh kemudian menggucangkan rangkulannya hingga tubuh Molly terguncang, "Heh! Gak boleh sedih, kamu harus dukung aku dari sini, okay?" Stefan tersenyum lebar dengan mata yang berbinar sebenarnya ia sangat gemas melihat Molly seperti itu. Meskipun jujur dalam hatinya ia tentu sedih harus berjauhan dan akan menjalani hubungan jarak jauh.
"Nanti siapa yang nemenin aku nonton film horror kalo kamu pergi?" Molly memelas.
"Yaa gak usah nonton atuh." Stefan menjulurkan lidahnya. Molly melipatkan tangannya di dada, "Ih kamu mah jahat!" Stefan tertawa. "Iyaa bener kan gausah nonton kalo gada temennya." Molly malah memicingkan matanya.
Stefan menghela nafasnya, kemudian ia berhadapan dengan Molly dan menatap gadis itu dengan tatapan lembut sambil tersenyum. "Molly, kita harus lewatin ini. Kita pasti bisa. Kamu jangan bete kaya gitu, aku nantinya jadi kepikiran kalo kamu sedih gada yang nemenin. Tapi temen kamu juga banyak kan?" Molly menatap Stefan sambil mendangak karena memang laki-laki itu tinggi atau mungkin Molly yang terlalu pendek.
"Dengerin aku ya. Aku mau kita saling percaya, saling support, saling sayang, dan tentu saling setia. Kita harus bisa buktiin kalo kita bisa yaaa," Stefan mengelus-elus kepala Molly.
Molly terharu mendengar kalimat tersebut sambil mengangguk ia menangis perlahan. "Aduu, jangan nangis dong," Stefan terkekeh jadi ikut terharu. Molly menyahut menangis dan tersengga-senggal, "Moll-Molly-Sa-Yang-Ste-Stefan." Stefan pun memeluk Molly, "Iya, Stefan juga sayang Molly."
Dan Stefan selalu mengingat kejadian tersebut, tanpa disadari air matanya sudah mengalir dari matanya.
"Jangan nangis lagi ah!" Ujar Stefan untuk dirinya.
YOU ARE READING
Me Far from You
Roman pour AdolescentsPernah gak sih Jatuh Cinta tapi belum pernah ketemu? :)