6 / Dorm

21 6 0
                                    

Selalu ada tempat dan seseorang yang terasa seperti di rumah.

Sonia berjalan lunglai dan pelan menuju ke parkiran mobil, tentu saja hari ini adalah hari yang melelahkan. 'Tau gitu kan gue gausah sampe begadang kemarin malam," omelnya dalam hati.

Badannya terasa lelah sekali, ingin rasanya segera merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi ia harus melalui perjalanan pulang terlebih dahulu. Sonia pun akhirnya mencoba membuka ponsel laki-laki yang ia belum ketahui namanya, ia ingin mengabari Rio jika ponselnya tertukar. Setelah mencoba untuk membuat panggilan tidak di angkat, mungkin karena nomor tak dikenal. Akhirnya, ia mencoba mengirim pesan.

To Rio: 'Sayang, hp ku ketuker sm stranger di bandara tadi, nanti aku ceritaiin pas sampe rumah. Hari ini ak juga gajadi bimbingan . Take care <3'

Rasanya tenang telah mengabari pacarnya itu, Sonia hanya takut jika pacarnya itu mungkin khawatir tak mendapat kabar darinya. Sambil menuju perjalanan pulang, Sonia mampir sebentar untuk membelinya minuman manis boba brown sugar dan juga kentang goreng di salah satu restoran cepat saji. Karena hari ini sangat melelahkan dan ia hanya membutuhkan sesuatu yang dapat menaikkan moodnya.

Sesampainya di rumah Sonia segera melahap makanan yang ia beli serta menyeruput minuman favoritnya itu. "AAAAAAHHH, enak banget." Ia mengatakannya sambil memejamkan matanya. Rasanya sangat menyegarkan, memang untuk merasa bahagia seperti ini sangat sederhana hanya dengan makan atau minum sesuatu yang kita senangi.

✈✈✈

"Kenapa lu putus sama Molly?" tanya Leo. Mereka berdua tinggal di kamar yang sama karena satu kamar memang diperuntukkan untuk dua orang. Ruangan tersebut cukup luas seperti apartemen tanpa sekat, karena semuanya lengkap terdapat dapur mini dan juga ruang tengah. Tempatnya memang sangat nyaman dan juga terdapat dua meja belajar berdekatan dengan ranjang mereka.

Leo dan Stefan memang sudah dekat dari kecil, bahkan selalu masuk ke sekolah yang sama hingga SMA bahkan hinggat saat ini kuliah di Universitas yang sama pula. Tetapi, kali ini Leo memilih jurusan bisnis karena ia memang akan melanjutkan bisnis orang tuanya. Walaupun sebenarnya itu bukan pilihan Leo, karena sebenarnya ia sangat tertarik dengan hal-hal yang berbau musik terutama gitar. Tapi apa daya kedua orang tuanya tidak merestuinya, terlebih lagi ia adalah anak pertama yang menjadi harapan bagi keluarganya.

Stefan bergeming, pertanyaan Leo tak dijawabnya. Kini mereka duduk di sofa yang berada di tengah ruangan tersebut. "Parah lu, salah apa lu sampe Molly putusin lu?" Leo pun melontarkan pertanyaan lagi, karena kesal Stefan mengacuhkannya.

Stefan melirik tajam ke arah Leo, temannya yang satu ini memang banyak berbicara. "Gue yang putusin." Stefan menjawabnya dengan nada datar.

"Yang bener aja lu. Lu gila apa?" Leo semakin tak percaya dengan jawaban temannya itu.

"Capek gue, Le." Stefan memeluk bantal yang berada di sofa tersebut.

"Lu apa-apa gak cerita gue, gue kan bisa bantu biar lu ga seenaknya sendiri gitu mutusin si Molly. Otak lo kemana woy? 5 tahun gila. Lu paling habis lulus balik Indo tuh pasti nikah ma Molly." Leo berkata-kata sangat cepat.

"Gak bisa, Le. Itu udah keputusan terbaik. Sekarang lo bayangin aja deh, Molly selalu ngeluh dalam hubungan kita. Gue jadi ngerasa kurang banget buat dia. Gue Cuma pingin dia bahagia aja. Kasihan gue sama dia, kalo harus sama gue yang gabisa bikin dia happy," ujar Stefan dengan suara yang kecil karena sedih jika memikirkannya kembali.

Leo mencoba untuk memahami perasaan sahabatnya ini, ia sebenarnya tahu Stefan tentu tidak mungkin mengambil keputusan tanpa memikirkannya panjang lebar. Leo yakin pasti sobatnya yang satu ini pasti memiliki banyak pertimbangan. Tapi, seakan tak percaya hubungan mereka yang sudah berjalan selama itu harus kandas.

Me Far from YouWhere stories live. Discover now