2

1.6K 476 43
                                    

September 2019

3 Years before he was nowhere

---

Ada banyak hal yang Jake takutkan ketika melihat panggung. Tirai yang menyeka kehampaan di kiri dan kanan, kursi yang keras, lantai kayu yang terlalu luas, serta posisi yang menghadap langsung ke arah para penonton. Mungkin itu hanyalah alasan yang Jake buat-buat sendiri karena sebenarnya yang ia takutkan adalah memainkan pianonya di depan banyak orang. Karena ia tau bahwa permainannya selalu buruk. Tidak seperti Sunghoon yang menyelesaikan panggung pertamanya saat usia lima belas tahun lalu, Jake baru mampu mendapatkan kesempatan itu di usia tujuh belas tahun. Itupun bukan karena kemampuannya membaik.

Ayah dan ibu Jake tidak bisa datang hari itu karena urusan pekerjaan. Jake pikir mungkin lebih baik begitu. Karena nantinya mereka akan kecewa pada permainan Jake yang tidak memukau sama sekali. Tapi ternyata Jake butuh seseorang di balik panggung yang barangkali bisa menenangkan kericuhan hatinya.

Sunghoon datang berlari melewati beberapa pemain lainnya dengan terburu-buru. Ia membawakan satu box kecil kue pie yang masih hangat. Jake tak menyangka Sunghoon mau menyempatkan dirinya untuk hadir. Ntah kenapa itu membuat perasaannya sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

"Makanlah sebelum naik panggung. Kau tak boleh bermain dengan perut kosong," ujar Sunghoon.

"Kau akan menontonku kan?" Tanya Jake memastikan.

Sunghoon mengangguk. "Tentu. Aku akan jadi orang yang bertepuk tangan paling pertama."

Segala rasa takut itu melebur bersamaan dengan kekehan mereka. Jake berhutang amat banyak pada Sunghoon atas kebaikannya. Suara-suara penonton di luar sana menjadi lebih kedap dari sebelumnya. Seharusnya sejak awal Jake hanya perlu beranggapan bahwa terlepas dari baik buruknya penampilannya—dia hanya perlu menikmati apa yang ia suka.

Lampu panggung yang menyorotinya hanya membuatnya panik selama beberapa detik. Sebelum kemudian Jake melihat presensi Sunghoon di bangku tengah yang tengah tersenyum padanya sambil mengangguk meyakinkan. Pada masa itu, Jake akhirnya bisa bermain tanpa merasa takut. Meski nada yang dia hasilkan tak segemilang pianis lain, setidaknya ia menyukai dirinya saat itu.

Pada saat permainan selesai, Sunghoon jadi satu-satunya orang yang bertepuk tangan. Jake tak masalah mengenai respon dari yang lain, dia hanya butuh temannya Sunghoon untuk memberinya apresiasi. Jake akan terus bermain piano meski hanya ada satu penonton. Ia akan tetap menekan tuts hanya untuk membuat Sunghoon jadi penontonnya.

Pada hari itu, dinginnya ruangan dan tatapan dari para penonton terasa lekang menjadi dua dimensi yang berbeda. Batin dan jiwa Jake jatuh pada suara tepuk tangan nyaring dari dia si rambut hitam. Tingginya menjulang dan netranya menatap penuh bangga membuatnya menjadi paling berbeda. Detik itu, Jake bersumpah dalam hati—bahwa piano yang ia mainkan, hanya akan berdenting untuk satu orang itu saja. Hanya untuk Sunghoon seorang.

---

Sunghoon dan Jake bersantai di belakang gedung usai pertunjukan itu. Duduk di atas sebuah ayunan tua yang sudah berkarat dan memiliki bau besi yang amat ketara. Bahkan suaranya juga sudah seperti meronta ingin menyudahi usia. Tapi Jake dan Sunghoon tak peduli dan tetap berayun di sana. Tidak peduli ayunan itu akan ambruk atau membuat mereka terjatuh.

"Aku payah sekali, kan?" tutur Jake sambil terkekeh membayangkan penampilannya tadi.

Sunghoon ikut terkekeh. Dia tau Jake tidak sedih karena yang ia ingat, Jake adalah tipe orang yang tidak suka mengasihani diri sendiri. Sunghoon mengagumi sifat Jake yang tak pernah mengeluh meski sepayah apapun dia atau sesibuk apapun orangtuanya yang jarang sekali menemuinya. Dia menjalani hidup apa adanya tanpa menuntut apapun.

Tirai jingga mulai terpasang. Selalu ada momen di mana Jake merasa bahwa dunia sebenarnya terbagi atas dua bagian. Cerah dan gelap, atau siang dan malam. Transisi yang hangat seperti sore atau yang dingin seperti subuh—merupakan momen-momen platonik di mana manusia hanya ingin menikmatinya tanpa memikirkan nafsu atau obsesi jenis apapun.

"Kau tau?" Kalimat Sunghoon menggantung. Ia menoleh pada Jake. "J.S Back tidak pernah kecewa dengan penerimaan khalayak yang biasa-biasa saja. Terkadang seseorang memang perlu waktu untuk membuktikan diri."

"Tapi, kurasa tak ada yang ingin kubuktikan." Dersik petang menyapa permukaan kulit. Bersamaan dengan kalimat Jake yang terasa begitu realistis. "Aku tidak butuh pembenaran Sunghoon. Aku cuma senang bermain piano. Aku tidak menginginkan seluruh bentuk apresiasi lainnya. Tapi terimakasih sudah bertepuk tangan untukku, meski permainanku payah."

Sementara Jake terkekeh, Sunghoon malah sedikit terdiam. Frasanya yang terdengar klasik, tidak bisa disandingkan dengan jiwa realistis Jake. Namun, setelah cukup memahami akhirnya Sunghoon ikut melebur dalam senyum. Setiap kali Sunghoon melihat Jake menjalani kehidupannya—ia semakin tau bahwa Jake tak butuh dirinya. Dia bisa berdiri sendiri.

Padahal, jauh di dalam lubuh hati Jake yang paling dalam—ia berterimakasih dengan sangat atas tepuk tangan yang Sunghoon berikan. Apresiasi yang ia bilang tak begitu ia butuhkan sesungguhnya hanyalah kalimat hipokrit yang sendiri pun paham bahwa sebenarnya merupakan kebohongan. Semua orang butuh satu saja orang yang bisa membuatnya sedikit lebih berharga.

"Ngomong-ngomong ayahmu kenapa tidak bisa datang?" Tanya Sunghoon mengalihkan obrolan.

Jake mengedikkan bahu. "Kerja, mungkin?"

Sunghoon hanya mangut-mangut. "Ayahmu pasti pekerja keras."

Jake menanggapi dengan seadanya. "Ayahku terkadang terlihat seperti orang yang kurang tidur. Jika sudah begitu, biasanya ayahku pergi keluar dengan teman-temannya. Tapi yang aneh adalah ayahku sering jarang tidur hanya ketika di rumah. Padahal kan rumah justru adalah tempat istirahat."

Sunghoon mendengarkan dengan serius. "Apa kau tidak pernah tanya?"

Lagi-lagi Jake mengedikkan bahu. "Aku juga tak begitu mengerti. Aku kurang dekat dengannya. Dia bahkan melarangku masuk ke kamarnya."

Pemuda dengan surai hitam di hadapan Jake hanya mengangguk-angguk mencoba untuk mengerti. Terkadang memang selalu ada jarak antara beberapa keluarga. Tak semua orangtua bisa sangat dekat dengan anaknya. Itu bisa di maklumi.

Sunghoon berdiri dari duduknya sambil mengeluarkan dompet. "Ayo beli tteokbokki, aku akan mentraktirmu."

Tanpa Sunghoon sadari, secarik foto ukuran kecil keluar dari dompet hitamnya. Jake cepat-cepat mengutipnya dan memberikannya lagi kepada Sunghoon.

"Apa itu ayahmu?" Tanya Jake sambil menunjuk foto yang sudah Sunghoon pajang lagi di dompetnya.

Pemuda Park itu mengangguk sambil tersenyum. "Kenapa?"

Jake merasa pernah melihat orang di dalam foto itu sebelumnya. Sunghoon memang tak pernah terang-terangan menunjukkan rupa orangtuanya kepada Jake selama ini. Tapi ntah kenapa foto itu terasa tak asing. Ntah mungkin perasaan Jake saja atau bagaimana dia juga tak yakin, bahkan tak terlalu memperdulikannya.

"Ayo!" Jake berdiri dari duduknya dan berjalan mendahului Sunghoon.

Sementara Sunghoon merubah ekspresi hangatnya sambil menghela napas. Ia kecewa dengan acuhnya Jake barusan.

Harusnya kau tau siapa ayahku, Jake.

TBC


de capo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang