8

1K 356 22
                                    

Entah bobot tubuh Jake yang semakin memberat, entah gravitasi yang begitu menekan, atau entah beratnya hujan yang membuat Jake akhirnya menyatukan lutut dengan aspal basah. Jika setahun lalu Jake melalui jalan ini ke arah berlawanan—dengan langkah paling laju yang pernah ia ciptakan—hari ini, Jake bahkan tak punya tenaga untuk berdiri. Titik-titik air terus membasahinya. Setahun lalu, Jake demam tiga hari setelah dia menemui Sunghoon. Mungkin dia harus melalui itu sekali lagi setelah hari ini.

Pilar-pilar megah berbentuk kepercayaan diri bahwa Jake tidak merindukan Sunghoon seketika runtuh. Dalam hanya beberapa menit percakapan, ia bisa merasakan perasaan lama yang ingin ia kembalikan pada posisi semua.

De capo. Nada yang kembali ke awal. Permulaan kembali. Jake ingin memulai semuanya kembali meski tau akan dihujani kekecewaan berkali-kali. Ia tau itu terdengar bodoh. Namun juga sangat jujur di waktu bersamaan.

Kalimat-kalimat dari ibu Sunghoon berdengung di telinga Jake. Mengalahkan deru hujan dan petir kilat.

"Sepulangnya dari bertemu denganmu, Sunghoon mengalami kecelakaan. Dia... tidak bangun lagi sejak hari itu. Tapi dia juga tidak mati."

Air mata Jake mulai luruh bercampur dengan air hujan. Lalu lintas tak begitu ribut karena ini bukan jalan yang biasa di lalui banyak orang berkendara. Hanya ada beberapa pejalan kaki yang menatap Jake heran. Siapa yang tidak bingung melihat seorang pemuda bersimpuh lutut di tengah hujan dan membiarkan dirinya basah.

"Sebelum aku menerima kabar kecelakaannya, dia mengirimi pesan padaku. Dia berkata, bahwa dia lega bahwa mungkin ada hari di mana kau tidak lagi membencinya."

Selama setahun, Jake berharap semuanya berjalan baik. Untuknya dan untuk Sunghoon. Meskipun mereka masih belum menyelesaikan kesalahpahaman, Jake selalu berdoa agar Sunghoon tidak begitu terpuruk. Setidaknya, ia harap Sunghoon bisa tidur dengan nyenyak setiap hari.

Tapi nyatanya, Sunghoon tidur terlalu nyenyak selama setahun. Di bawah penyesalan dan juga pertanyaan menggantung mengenai kapan sang karib akan memaafkannya.

"Seminggu lalu, aku sudah berencana untuk melepaskannya. Aku ingin dia berhenti kesakitan. Jadi aku meminta pada dokter untuk mencabut semua alat-alat yang terpasang di tubuhnya. Tapi... dia tetap tidak pergi. Dia memilih untuk tetap merasakan sakit demi menunggumu memaafkannya."

Dan Sunghoon menjaga janjinya pada Jake. Dia benar-benar masih berusaha untuk hidup sampai detik dimana ia seharusnya sudah menyelesaikan cerita. Sunghoon menunggu selama setahun tanpa Jake ketahui. Dia menunggu dalam lelapnya.

"Aku tau Sunghoon melakukan hal yang salah. Jadi aku mohon agar kau bisa memaafkan Sunghoon. Dia juga begitu karena aku dan ayahnya. Kumohon, katakan kau tak lagi membencinya. Kumohon, biarkan Sunghoon pergi."

Jake masih ingat bagaimana wanita itu memohon pada Jake sambil meraung-raung. Air matanya luruh tanpa jeda sedetikpun. Tangannya ia usap-usapkan di depan wajah. Dia bahkan bersedia untuk bersujud jika tak ditahan oleh Jake. Melihat seorang ibu sampai seperti itu demi melepaskan anaknya dari sakit—Jake merasa hatinya seperti ditusuk oleh pisau yang baru di asah. Tidak mudah untuk melepaskan seseorang menuju keabadian. Terutama oleh seorang ibu. Artinya, ibu Sunghoon tak punya pilihan lain untuk membuat anaknya sembuh—meski dalam artian yang berbeda.

Jake kembali mengingat sehari sebelum pentas. Ketika Sunghoon memintanya untuk bermain piano sekali lagi. Sepertinya saat itu, Sunghoon tau bahwa ia tak bisa menonton penampilan Jake keesokannya. Karena itu, Jake rasa panggung yang sebenarnya adalah ketika ia bermain di depan Sunghoon.

Angkasa tau mana yang salah. Dia lantas menurunkan hujan untuk membayar perih yang teramat sangat. Genangan air menjadi metafora dan cermin untuk melihat dirinya sendiri yang ternyata tengah merindukan sosok yang dulu tersenyum untuknya. Jake tak tau, bahwa selama ini tipu muslihat itu tak berada di angka seratus persen. Semua tawa itu, senyum lebar, bualan serta tepuk tangan—semuanya Sunghoon lakukan dengan tulus. Jake seharusnya lebih dari tau soal itu. Jake seharusnya memaafkannya lebih cepat.

Rintik hujan perlahan reda. Jake menengadah kepalanya ke atas. Seorang pemuda yang tadi ia lihat dengan laptop di sudut cafe sedang memayunginya. Wajahnya amat datar, sambil menyuruh Jake mengambil payung itu. Jake bahkan tak kenal dia, tapi di antara semua yang lewat hanya pemuda itu yang memberinya payung.

"Aku tidak tau apa yang terjadi—aku bahkan tak mengenalmu. Tapi, semoga kesedihanmu selesai setelah hujan ini."

Setelah mengatakan itu, dia pergi begitu saja setelah Jake menerima payungnya. Pemuda asing itu mengenakan penutup hoodinya dan berlari kecil. Jake sedikit terenyuh. Kalimat sederhana itu berhasil membuat lututnya kembali tegak. Setidaknya untuk membuatnya berjalan sampai menuju rumah. Dalam hati, Jake membatin—Benar. Hujan akan segara berakhir. Semua akan berlalu. Sunghoon juga harus segera beranjak. Jake satu-satunya payung yang bisa membuat pemuda itu berhenti terpuruk dalam basah kuyup.

TBC



de capo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang