5

1.3K 408 33
                                    

The day he lost.

---

Kening Jake mengkerut, ketika mendapati sekuntum bunga asphodel di dalam lokernya saat ia sampai di gedung kelas musik. Hari ini, adalah hari yang meriah. Semua peserta berkumpul untuk meraih kejuaraan. Mereka datang dengan tangan penuh bunga dan kartu-kartu ucapan penyemangat. Awalnya, Jake pikir tak akan ada orang yang memberinya bunga atau semacamnya. Tapi, melihat asphodel putih yang hanya setangkai ini membuat Jake tersenyum senang. Pasti Sunghoon pelakunya. Dia memang suka melakukan hal-hal yang berbeda dari kebanyakan orang.

Setidaknya, hari ini dimulai dengan baik. Meski Jake tak yakin kedepannya akan bagaimana. Atau bisa dibilang, Jake tak begitu peduli. Ia hanya mengikuti perlombaan ini untuk merasakan pengalaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dengan kata lain, ia tak di sini untuk menjadi pemenang.

Lorong itu diserobot oleh banyak muda-mudi yang bergegas ke sana kemari. Semuanya sibuk merapikan diri serta menyiapkan mental mereka masing-masing. Sepatu-sepatu pentofel, flat, bahkan sepatu dengan hak tinggi berbunyi bersahutan. Bersatu dengan teriakan dari para panitia acara yang berusaha menyusun peserta. Jake suka suasana ricuh ini. Rasanya seperti kini ia telah berdiri di atas awan yang bergerak bersama riuh angkasa dan angin. Ia bahkan bisa mencium aroma panggung dan membayangkan kedua orangtuanya, serta Sunghoon di bangku penonton.

Ini bahkan bukan resital piano yang besar dan megah. Ini hanyalah perlombaan untuk para musisi-musisi amatir. Namun perasaan Jake bergemuruh layaknya pementasan musik klasik. Lengkap dengan dada yang riuh akan api-api penuh semangat yang mendiktekan kebanggaan kepada diri sendiri.

Jake menghela napas. "Ayo, lakukan yang terbaik hari ini."

Harusnya, hari itu memang jadi yang terbaik dalam hidup Jake.

---

Namun, hari yang indah dan hangat itu berubah menjadi hari paling mengecewakan yang pernah Jake rasakan. Kedua orang-tuanya tak datang, begitupun dengan Sunghoon. Panggung terasa dingin dan kaku. Orang-orang terus berwajah datar sampai permainannya berakhir. Juri-juri yang bertanggung jawab untuk menilai memperlihatkan sorot mata penuh penghakiman. Dan tentu saja, kekecewaan itu membawa ritme lagu yang Jake mainkan jadi terasa kosong dan sumbang.

Perasaan Jake semakin tak enak, ketika salah satu orang suruhan ayahnya menunggu di depan pintu kaca yang bisa di lihat dari dalam gedung. Raut pemuda itu sangat tidak mengenakkan untuk dilihat. Perasaan Jake yang sudah kacau mencoba untuk mempersiapkan diri atas kekacauan yang barangkali akan semakin parah lagi.

"Jake," pria dengan setelan kemeja dongker itu berjalan cepat kea rah Jake. Ia membawa serta sebuah ponsel yang layarnya masih menyala. Kemudian dia menunjukkan apa yang tertera di layar itu tanpa basa-basi. "Ayahmu."

Manik Jake mulai memanas membaca headline berita online yang begitu besar di sana. Pelupuk matanya semakin digenangi air tatkala ia menyadari bahwa beberapa pasang mata terngah memandangnya sambil berbisik di sekitar gedung musik tersebut. Dada Jake rasanya berderu dengan irama yang tak biasa. Ia marah dan juga takut.

"Apa yang kalian lihat?!" Teriak Jake pada orang-orang di sana. Kemudian, ia berlari begitu saja meninggalkan orang suruhan ayahnya tersebut.

Kepala Jake rasanya sakit, namun ia memaksakan dirinya untuk terus berlari. Ia harus mengkonfirmasi bahwa semua ini tak benar. Jake sebenarnya sudah curiga, sang Ayah tak menampakkan diri di pagi hari tadi ketika ia sarapan. Ibunya berkata ia akan mencari pemuda itu sebelum giliran Jake untuk menunjukkan kemampuannya di atas panggung. Karena mereka juga sudah berjanji akan menonton anaknya memainkan piano.

Sepanjang larinya, Jake terus menepis air matanya. Kemudian hujan luruh, seakan tau bahwa salah satu makhluk bumi itu tak ingin menangis sendiri. Jika dunia masih senantiasa cerah, maka Jake akan menganggap semesta benar-benar mengkhianatinya. Ia biarkan tubuhnya basah. Sepatu yang kian lembab itu tetap ia pakai untuk berlari menuju rumahnya.

Saat sudah sampai, Jake masuk ke rumah setelah menyerobot seluruh wartawan yang berdiri di sana. Jake melihat ibunya yang berlutut di atas lantai sambil menangis tersedu-sedu. Keadaan rumah begitu gelap. Semua jendela di tutup agar media massa tak bisa melihat kesedihan di dalamnya. Lampu-lampu di matikan, dan penghangat udara pun tak sempat melakukan tugas. Hanya tersisa sang ibu yang masih menangis dan Jake yang berdiri dengan tubuh basah kuyup beberapa meter dari posisi wanita paruh baya tersebut.

Jake mendekat pada ibunya. "Katakan padaku apa yang terjadi! Katakan semuanya!"

Sang ibu meredakan tangisnya. Ia memandang Jake dengan tatapan sendu. "Data-data soal ayahmu yang melakukan penggelapan dana terbongkar ke media. Dia di kejar polisi dini hari kemarin. Kau tau ayahmu memiliki penglihatan yang buruk di malam hari. Dia menabrak pembatas jalan dan kemudian..."

Wanita itu tak sanggup untuk melanjutkan kalimat-kalimatnya. Tangisan lebih dulu menguasainya. Ia bahkan berteriak frustasi mengatakan bahwa kehidupan mereka sudah berakhir sekarang. Ia melempar sepatu mahal yang ia kenakan sampai menghancurkan vas kaca berisi bunga kering tak jauh dari situ. Benda tersebut pecah dan hancur beralaskan lantai yang dingin. Persis seperti kondisi mereka saat ini.

Jake memejamkan mata sejenak untuk meredam emosinya. Padahal ia sudah berharap ibunya memberikan penjelasan bahwa berita yang ia baca itu tidak benar. Ia berpikir bahwa semua hal gila yang terjadi hari ini merupakan kesalahpahaman. Tapi jika dilihat dilihat dari bukti yang tadi Jake lihat di berita—sepertinya, ayahnya memang orang yang seperti itu.

"Jadi benar ayah melakukan korupsi?" air mata Jake menetes satu demi satu. Ia tak bisa menerima fakta itu. "Ayah yang selalu menyebut dirinya sebagai sosok yang akan mengayomiku—adalah orang yang seperti itu?!"

Namun, Jake pikir situasi tak bisa lebih buruk lagi daripada kabar bahwa ayahnya melakukan penggelapan dana. Tapi sepertinya realita ingin sekali meremukkan kehidupan dan kepercayaan Jake sampai tak bersisa. Seluruh sendi Jake mengalami sakit yang luar biasa karena tertimpa dinginnya hujan. Kaki-kakinya penuh goresan karena berlari ke rumah tanpa pertimbangan. Dan yang ia temukan di sini adalah kenyataan yang pahit.

"Maafkan ayahmu. Seseorang masuk malam kemarin diam-diam. Dia membobol brankas ayahmu dan membawanya pergi. Ibu baru akan memberitahumu soal ayah, tapi orang itu—ntah siapa dia—lebih dulu mengambil langkah," ujar sang ibu sambil masih menetralkan tenggorokannya yang sakit akibat terus menangis. "Demi Tuhan Jake, ayahmu berencana akan menyerahkan diri. Tapi ia ingin melihat penampilanmu sekali saja sebagai seorang ayah—bukan sebagai seorang narapidana. Karena itu ayahmu kabur."

Kala itu, jantung Jake semakin berdegup. Darah yang mengaliri tubuh menggigilnya semakin berdesir hebat. Hanya ada satu nama yang terlintas di kepalanya. Seseorang yang paling Jake percayai lebih dari pada keluarganya sendiri. Sosok yang meletakkan setangkai bunga asphodel di lokernya tadi pagi. Jake tak terpikir, bahwa arti dari bunga asphodel adalah—'penyesalanku padamu, sampai akhir.'

Hari itu, hari yang Jake pikir akan jadi hari paling berkesan—terbanting hingga ke dasar palung dunia paling keras dan gelap. Bayang-bayang mengani dirinya yang tersenyum di atas panggung, sambil merasakan kebanggaan dari orang-orang tersayang, musnah disambar oleh kilat petir.

Untuk pertama kalinya dalam hidup Jake, ia tak begitu menginginkan hidupnya.

TBC

de capo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang