3

1.5K 459 15
                                    

21 Juni 2020

A Year Before He Was Nowhere

---

Gedung les piano dipenuhi dengan banyak sekali kertas-kertas serupa yang di tempel berhimpitan antara satu sama lainnya. Jake hanya berdiri menatap selebaran itu dengan jiwa yang tidak memiliki semangat sama sekali. Kemarin, ia terlibat adu mulut dengan kedua orangtuanya. Karena hal sepele seperti keinginan mereka yang berharap Jake berhenti bermain piano dan melanjutkan perusahaan sang ayah. Padahal awalnya mereka baik-baik saja akan hobi Jake tersebut. Tapi melihat Jake yang tak ada perkembangan, mungkin mereka pikir lebih baik dihentikan saja.

Jelas itu hal yang bodoh. Jake sudah bersumpah untuk memilih jalan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil berdecak resah beberapa kali.

"Sedang lihat apa?" Tanya Sunghoon yang datang dari arah belakang sambil menyandang tas hanya di satu pundaknya. "Kau mau ikut?"

Selebaran berisi lomba itu mengundang jiwa Jake untuk menuliskan namanya pada kartu pendaftaran. Mungkin itu salah satu cara untuk membuat ayahnya mengerti bahwa apa yang ia lakukan selama bertahun-tahun tak akan menjadi sia-sia. Tapi, Jake cukup tau diri. Dia tak ada apa-apanya dibanding bocah-bocah lainnya. Apalagi jika dibandingkan dengan Sunghoon.

Melihat Jake yang terlihat ragu, Sunghoon tersenyum dan mulai merangkul pemuda itu. "Ayo ikut. Aku juga akan ikut."

Jake mendecih mendengar penuturan itu. "Maka kita sudah tau siapa yang akan menjadi juaranya."

Dari segi pengalaman saja semua akan tau siapa yang lebih unggul. Sunghoon sudah memenangkan banyak sekali perlombaan bahkan di tingkat internasional. Sementara Jake belum sama sekali memberanikan diri untuk mengikuti salah satunya. Sebenarnya, Jake hanya tidak minat. Dia bermain piano karena ia suka, bukan untuk mendapatkan piala.

"Apa aku boleh kerumahmu? Aku sedang malas pulang," tanya Jake pada Sunghoon dengan wajah memelas. Mereka berjalan bersisihan dan kemudian mendudukkan diri di tangga gedung.

Ntah kenapa, Jake merasakan perubahan emosi Sunghoon yang amat ketara. Ia mengintip kegelisahan pemuda itu dari sudut matanya. Jake tak pernah ambil pusing apa hakekat sebenarnya dari keanehan-keanehan gelagat Sunghoon.

"Sepertinya tidak bisa," ujar Sunhoon pada akhirnya. Ia menatap Jake tak enak hati. "Rumahku sedang dipakai untuk acara ibuku dan teman-temannya."

Mungkin kala itu, Jake yang terlalu naïf sampai tak mengindahkan alasan tersebut. Ia hanya mengangguk mengerti. Dia tidak curiga sedikitpun. Padahal, selama bertahun-tahun mereka menjadi teman dekat-Jake tak pernah punya kesempatan untuk berkunjung ke rumah Sunghoon atau menyapa ibunya.

"Kenapa kau tidak ingin pulang?" Tanya Sunghoon mengalihkan keheningan.

Sejujurnya Jake malas untuk menjawab pertanyaan tersebut. Menceritakan semuanya sama saja mempertontonkan betapa pecundangnya dia. Akhirnya pemuda itu hanya mengedikkan bahu karena enggan mengatakan apapun. Tampaknya, Sunghoon cepat mengerti dan kemudian mencoba untuk tak membahasnya lagi.

Ntah bagaimana, cuaca yang tadinya cerah mendadak menjadi lindap. Angin menerbangkan kertas-kertas selebaran dan bahkan spanduk yang tadinya berdiri tegak. Hujan perlahan-lahan menyapa bumi. Mungkin, awan sudah terlalu lama menampung embun. Mencari lapisan atmosfer tebal untuk menemui suhu yang tepat di atas titik leleh es. Bau petrikor merebak bersamaan titik-titik air yang semakin brutal menghujam bumi.

Sunghoon menengadah tangannya di perbatasan udara dan beton gedung. Tak ia pedulikan wajahnya terkena percikan yang menyegarkan. Pesona hujan tak pernah berubah. Dingin, namun juga membukam kebas perih di saat bersamaan.

"Ayo masuk. Nanti masuk angin," ucap Jake, sambil menyeret tas ransel Sunghoon.

Pemuda Park itu hanya tersenyum jenaka. Kemudian dia tiba-tiba menarik kemeja Jake sampai tubuh pemuda itu terlempar keluar dari jangkauan perlindungan atap. Jake tidak bisa percaya dengan situasi ini. Dia menatap Sunghoon yang sibuk tertawa puas.

"Aku jadi basah!" Jake kesal bukan main.

"Justru aneh kalau kering," balas Sunghoon dan kemudian melanjutkan sesi tertawanya.

Jake tak bisa tinggal diam. Saat Sunghoon masih sibuk terkikik, ia segera menarik baju pemuda itu agar ikut basah terkena hujan. Awalnya Sunghoon mau marah, tapi bagaimana pun dia duluan yang mencari gara-gara. Akhirnya mereka menikmati jatuhan air tersebut. Ternyata tidak seburuk perkiraan.

"Seru kan?" Tanya Sunghoon.

Jake tak bisa mengelak. Dia dari kecil tidak suka mandi hujan. Ia pikir nanti tubuhnya akan sakit atau dia tak akan tahan dengan dinginnya. Jake tipe orang yang tak ingin mencoba hal baru. Tapi Sunghoon, adalah orang yang mencoba semua hal.

"Lumayan," jawab Jake.

Sunghoon menarik garis bibirnya. "Kalau dicoba baru akan tau rasanya."

Jake tau bahwa kalimat satu itu penuh dengan irama sarkas. Terlihat dari upaya Sunghoon yang mengutip selebaran hang sudah sedikit luntur dan bacah kuyup.

"Kau harus coba." Sunghoon mengangkat selebaran itu. "Baru kau akan tau rasanya."

Jake hanya terdiam sebentar untuk berpikir matang-matang. Ia perlu alasan kenapa ia harus mengikuti lomba itu. Dia adalah orang yang berdiri di atas alasan yang jelas.

"Aku akan menontonmu," ujar Sunghoon.

Dan Jake sudah menemukan alasannya sekarang.

---

Pengetahuan Sunghoon soal musik klasik jauh sekali melampaui Jake. Dia punya cara-cara tersendiri untuk memberikan hiburan. Tipikal pribadi melankolis yang suka sekali menganalisa dan menggabung-gabungkan realita dan ilmu pengetahuan. Karena itu, Jake masih tak percaya setiap kali Sunghoon berkata bahwa sebenarnya ia tak suka bermain piano.

Ketika Jake merasa tertekan akan amarah pelatihnya, Sunghoon tak menenangkan Jake. Dia justru berkata bahwa emosi ada untuk di tunjukkan. Tak perlu menahan diri atau menjaga tingkah laku, karena sejatinya manusia dikuasai oleh pikiran mereka. Jika terbiasa untuk ditindas, maka pemikiran mereka selamanya adalah bahwa mereka adalah seorang yang lemah dan pecundang.

"Kau harus mengatakan padanya kalau kau sudah berlatih keras? Kenapa diam saja?" Tanya Sunghoon tak habis pikir pada pola pikir Jake.

"Aku hanya ingin jaga sikap," jawab Jake seadanya. "Bagaimanapun aku ini mungkin calon musisi."

Mendengar tutur kata tersebut, Sunghoon langsung mendecih. "Ludwig Van Bethoven dirundung kemurungan dan dikenal tempramen. Wolfgang Amedeus Mozart mengalami krisis ekonomi karena gaya hidupnya yang selebor."

Jake tak bisa mencerna hal tersebut. Ia menoleh pada Sunghoon mempertanyakan makna di balik penjelasaanya.

"Mereka tetap disebut sebagai musisi. Terlepas dari kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat," sambung Sunghoon lagi.

"Kau menyuruhku bersikap jahat?" Tanya Jake polos.

"Bukan itu maksudku, bodoh!" Sunghoon tak tahan untuk tak menjitak kepala Jake. "Kau hanya perlu jadi dirimu sendiri. Kita tak pernah tau alasan mengapa Bethoven menjadi tempramental atau ada apa di balik gaya hidup selebornya Mozart. Bagaimanapun buruknya mereka, setidaknya sampai sekarang mereka di sebut sebagai musisi. Karena yang di kenal oleh orang lain itu adalah musiknya."

Jake suka setiap kali Sunghoon memberikan banyak gagasan-gagasan baru. Sesuatu yang mungkin bisa ia pikirkan sejam sebelum tidur malam. Setiap frasa yang ia susun begitu mempersuasi. Rasanya Jake akan selalu percaya pada perkataan pemuda itu apapun yang akan terjadi. Mungkin Sunghoon adalah bocah ajaib yang memiliki kekuatan di balik kalimat-kalimatnya.

Dunia ini begitu rancu. Tak ada yang tau bahwa seseorang sedang memasang peledak ketika tengah memeluk. Kau hanya bisa percaya pada dirimu sendiri.

TBC

de capo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang