7

1K 370 30
                                    

Setahun berikutnya, Jake tak pernah dengar kabar soal Sunghoon. Baik lewat akun sosial medianya maupun dari mulut orang-orang. Park Sunghoon seperti hilang di telan bumi. Foto profile akun sosial medianya masihlah bunga Asphodel Putih menandakan penyesalannya yang belum kunjung usai. Tak ada unggahan apapun lagi di akun tersebut. Hanya bio yang kosong dan nama. Seperti tidak pernah disentuh oleh kemampuan indera manusia.

Jake sudah berusaha untuk tak penasaran, tapi kadang ia mencuri kesempatan untuk mengecek akun itu kembali. Meski wujudnya masih sama saja. Se-akan-akan Sunghoon memutuskan untuk pindah ke tempat terpencil yang tidak ada sinyal dan listrik. Kemudian menghapus seluruh memori membahagiakan kota besar seraya hidup dengan bercocok tanam serta beternak. Sungguh, Jake mencoba meyakini bahwa itulah yang sedang Sunghoon lakukan alih-alih mengurung diri di kamar tanpa penerangan karena merasa bersalah. Membayangkannya saja Jake tidak ingin.

Jay memasuki cafe tempat mereka biasa bertemu. Jika ditanya kapan Jay kenal dengan Jake, jawabannya sangat amat klasik. Jay tak sengaja melihat Jake yang menatap kosong piano tua di terowongan bawah jembatan. Karena Jay lumayan tertarik dengan musik jadi ia mengajak Jake berbicara. Dan akhirnya, Jake memuntahkan semua hal pahit yang ia alami. Dari mulai Sunghoon, sampai ibunya yang sekarang punya keluarga baru setelah ayahnya meninggal. Setidaknya, Jake punya teman baru—walau tidak bisa sama dengan Sunghoon. Tentu karena pertemuannya dengan Jay masih berjalan satu tahun lebih.

"Ada apa? Apa kau mau menawariku pekerjaan lagi?" Tanya Jake sambil menyedot americano miliknya dengan sedotan.

Entah perasaan Jake saja atau memang sorot mata Jay sedikit berbeda. Ia bahkan mengaitkan jari-jarinya pada setiap tangan. Menghela napas berulang kali seperti orang yang susah berbicara. Padahal Jay adalah orang yang super cerewet. Suasana cafe cukup lengang. Hanya ada seorang pemuda dengan laptop abu-abu di ujung ruangan dan wanita tua yang sedang bicara dengan anak laki-lakinya. Tak lupa ada seorang penjaga kasir yang sedikit mengantuk. Suasana seperti ini meningkatkan keingintahuan Jake mengenai maksud kedatangan Jay.

"Aku kemarin memposting foto kita berdua yang sedang berada di cafe ini," ujar Jay sebagai awalan.

Jake mengerutkan kening. "Kenapa? Ada perempuan yang tertarik denganku setelah melihat postinganmu?"

Jay tersedak. Jake tipe orang yang tidak pernah mengunggah foto wajahnya di akun sendiri. Katanya dia takut mengguncang dunia dengan wajahnya, dan demi tuhan Jay nyaris muntah setelah mendengarnya. Kepercayaan dirinya lumayan bisa dijadikan bahan referensi untuk penelitian sifat menjijikkan manusia. Tapi syukurlah, Jake masih punya sisi yang seperti itu setelah apa yang terjadi padanya.

"Bukan begitu," jawab Jay pada akhirnya. "Seseorang mengirimiku pesan terkait dirimu."

"Pesan apa? Lowongan pekerjaan?"

Jay kesal kan main. "Bisa tidak kau dengarkan aku dulu?"

"Baiklah. Teruskan."

Daritadi, Jake memperhatikan bahwa Jay amat sulit memilah kata-kata. Rongga dadanya seperti naik turun dan perlu menetralkan diri berulang kali. Mungkin kali ini Jay ingin mengatakan sesuatu yang serius. Karena itu, Jake menegakkan punggungnya dan bersiap menerima kejutan yang mungkin saja akan Jay utarakan.

"Apa kau tidak penasaran, kemana perginya Park Sunghoon?" Jay perlu berhati-hati untuk mengucapkan dua baris kata di akhir. Ia bahkan takut melihat ekspresi wajah Jake. "Kemana perginya seseorang yang tidak bisa ditemukan di manapun?"

Jantung Jake tiba-tiba berdetak lebih cepat. Sekelebat bayangan Sunghoon yang mulai kabur kembali menjadi sedikit jelas. Kabut yang menutupi jejak pertemanan mereka menimbun pertahanan agar tak begitu saja terlupakan. Sebersit gejolak sesak membuat sirkulasi udara di sekitar terasa menipis. Nama Sunghoon barangkali sama dengan segepuk kejadian traumatis yang tak akan pernah bisa diterima Jake dengan perasaan damai.

de capo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang