6

1.1K 374 18
                                    

Several hours before he disappeared; a last conversation.

---

Meskipun tangan Jake bergetar terus menerus—ntah akibat cuaca dingin atau degup jantung yang tak karuan—dia tetap mengusahakan dirinya untuk berada pada titik terakhir harapannya. Ibu Jake bahkan tak melarang anaknya untuk berlari kembali keluar dari rumah sambil mengaitkan ponsel pada daun telinga. Siapa peduli soal terserang demam atau mati kedinginan karena hujan berlangsung pada penghujung musim dingin. Dalam posisi sekacau ini, tubuh terbelah menjadi dua pun tak akan mampu disadari. Rasanya seperti orang mati rasa.

Jake tau, seharusnya ia sudah memiliki jawaban. Tapi untuk terakhir kalinya, sebelum fakta itu benar-benar menikam relungnya—untuk terakhir kalinya, Jake ingin berharap bahwa semua ini adalah bohong. Maka ia memutuskan menelepon Sunghoon. Untungnya, Sunghoon menjawab panggilan tersebut dan menyuruh Jake datang ke gedung tempatnya melakukan pementasan piano tadi. Dan Jake merasakan, bahwa suara Sunghoon begitu dingin serta mengintimidasi. Jake bertanya-tanya dalam hati, apakah memang dari dulu intonasi Sunghoon berbicara se-kaku itu? Atau Jake baru menyadarinya sekarang?

Jake mendobrak pintu pada sudut ruang. Pintu besi yang berbunyi derit nyaring dan berdebum ketika dibuka terlalu kuat akibat menghantam dinding. Kehampaan diisi oleh kursi-kursi yang diselubungi kain berwarna merah gelap. Deretannya selalu simetris dan cenderung menyorot ke arah panggung. Karena tak ada kegiatan apapun lagi di sini, hanya ada suara langkah kaki Jake yang menuruni tiap tangga kecil menuju sosok yang telah menungguhnya. Orang itu mengenakan bucket hat hitam dengan coat musim dingin cokelat gelap yang melapisi sweater tebal dengan warna sedikit lebih terang. Dia duduk di ujung pentas kayu sembari menunggu Jake memangkas jarak. Sepatu kets bercorak garis itu ia ketuk-ketukkan pada lantai yang dilapisi kain keras berwarna merah sehingga tak menimbulkan suara.

Jake tak suka, karena Sunghoon menampilkan ekspresi bersalah. Padahal yang ia harapkan ketika berlari kemari adalah wajah bingung Sunghoon yang tak mengerti apapun. Karena Jake memang berharap bahwa Sunghoon tak tau menahu mengenai apa yang menimpa ayah Jake.

"Sial. Wajah itu, semakin memperjelas bahwa kau memang melakukannya." Manik Jake bergulir ke atas untuk menahan air mata dan kekecewaannya.

Pemuda Park itu segera berdiri dan mendekat. "Jake aku—"

"Kenapa kau melakukannya?" Jake berusaha untuk menekan emosi dengan cara mengepalkan tangannya kuat-kuat sampai buku-buku jarinya memutih. "Beri aku jawaban yang masuk akal. Kumohon. Terlepas dari kejahatan ayahku—apakah kau berteman denganku selama ini hanya karena ingin balas dendam?"

Bibir Sunghoon sebenarnya amat kelu. Cuaca dingin membuat kulitnya kering. Mungkin air mata yang sebentar lagi luruh bisa sedikit mampu mengatasinya. "Bukannya sudah jelas? Aku mendekatimu karena ingin balas dendam. Ayahku dan ayahmu dulunya bekerja sama untuk melakukan penggelapan dana. Tapi hanya ayahku yang di tangkap."

Jake memalingkan wajahnya untuk mengusir aura kecewa yang amat ketara dari raut wajahnya. Sunghoon nyaris tak berkedip menatap presensi Jake yang berdiri menahan emosi. Pria Jangkung itu meluruskan lutut dan berdiri. Ia mendekat dan mencoba menelusupkan seluruh kata maaf tanpa frasa. Saat seseorang tau bahwa ia memang bersalah, amat bersalah sampai merasa tidak pantas dimaafkan—ia bahkan tak bisa lagi mengudarakan kalimat 'maafkan aku' dengan suara sepelan apapun. Dan itulah yang menjadi gemuruh paling kuat di batin Sunghoon saat ini.

"Jake, aku tidak tau jadinya akan seperti ini. Aku hanya ingin ayahmu menerima hukuman penja—"

"Aku juga tidak tau. Sejak awal aku tidak tau kalau kau ternyata punya maksud lain berteman denganku. Sunghoon, it's been almost five years! Lima tahun dengan bodohnya aku pikir kau memang teman baikku!" Jake memotong ucapan Sunghoon dengan air mata yang sudah berlabuh di pipinya. Matanya merah dan urat-urat di sekitar lehernya terlihat menonjol. "Lima tahun aku selalu menyelipkan namamu untuk membuat tenang. Ketika ayah dan ibu memarahiku, ketika guru les piano menyuruhku menyerah, ketika tak ada satupun manusia yang kagum dengan permainan pianoku, aku selalu berkata pada diri sendiri—'tidak apa-apa Jake. Kan masih ada Sunghoon'. Aku mengatakannya terus menerus dan kupikir itu membantuku."

Tanpa sadar, air mata Sunghoon pun ikut jatuh. Ia mengusapnya cepat dengan ujung baju pergelangan tangannya. Sunghoon merasa tidak pantas untuk menangis setelah menghantarkan Jake pada perasaan kacau balau yang mungkin saja tak akan kembali utuh. Sunghoon membuat ayah Jake mati. Meski tujuannya adalah membuat pria tua itu menerima hukuman yang sama dengan ayahnya, tapi kini yang terjadi malah hal yang di luar ekspektasi. Setidaknya ayah Sunghoon masih hidup meski dipenjara. Sementara Jake harus rela kehilangan ayahnya tanpa bisa melakukan penjengukan setiap bulan seperti Sunghoon. Tak ada yang bisa mengembalikan orang yang sudah mati.

"Jake, kau membenciku?" Ntah mengapa, Sunghoon ingin menanyakan itu. Padahal ia tau pasti jawabannya apa.

Jake menatap Sunghoon tak percaya. "Apa aku punya hak atas itu?"

Gema suara Jake yang dingin, terkesan begitu tajam. Tubuhnya yang sedikit menggigil dan aroma musim dingin yang tercetus di sekeliling presensi gelapnya mulai membuat Sunghoon berpikir bahwa harinya untuk dimaafkan telah lenyap. Jake yang ia kenal sudah mati ditelan kepercayaan yang hancur lebur. Mulai hari ini dan seterusnya, Sunghoon tak lagi bisa membayangkan Jake berdiri di atas bumi dengan senyum mengembang. Dan itu semua karena dirinya.

"Ya Sunghoon aku membencimu. Setidaknya saat ini. Aku tau ayahku memang salah, tapi kau tak harus berakting menjadi temanku jika bukan itu tujuanmu. Aku membencimu karena membuatku seperti orang bodoh." Mungkin bangku-bangku penonton ikut merasakan keterpurukan yang Jake dan Sunghoon rasakan saat ini.

Sunghoon tak bisa membuka mulut lagi. Di lain sisi, ia merasa pantas untuk di benci. Namun di sisi satunya, ia berharap Jake tetap menjadi teman baiknya lagi. Sunghoon juga tak mengerti dari mana asal harapan bodoh yang terdengar tidak tau diri itu. Ia menegakkan kembali kepalanya kala Jake menaiki tangga kembali. Berjalan pergi membebelakanginya. Seakan-akan mereka tidak akan pernah memiliki arah yang sama lagi setelah ini.

Tapi, ketika derit kayu pada pendakian menuju pintu terhenti, Sunghoon menegakkan kepalanya sembari menatap Jake yang sedikit memutar tubuh ke arahnya. Senyap memakan degup jantung Sunghoon yang menunggu Jake untuk menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan untuk terakhir kali.

"Mungkin—ntah kapan—maksudku di suatu waktu di masa depan—ada hari di mana aku tak lagi membencimu. Jadi sampai hari itu tiba, kau harus tetap hidup."

Setelah kalimat terbata itu usai, Jake kembali melanjutkan langkahnya. Sunghoon berdiam diri di tempatnya bertumpu. Bertanya-tanya apakah masa di mana ia bisa dimaafkan akan benar-benar datang. Jika benar, maka Sunghoon akan menunggu dengan sabar.

TBC

de capo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang