9

1.1K 379 26
                                    

Sesuai dugaan, Jake benar-benar diserang demam tinggi pada malam setelah ia pulang dari cafe. Ia sudah mematikan pendingin ruangan sebelum ia menjatuhkan diri ke tempat tidur. Matanya berkunang-kunang, jadi ia memilih untuk memejamkannya saja. Badannya terasa pegal bukan main, ia harus segera tidur agar besok ia sudah bugar kembali. Jake bukan tipe yang mudah terlelap, tapi ntah kenapa malam itu ia langsung menuju ke alam mimpi. Mungkin karena efek demam dan tubuhnya yang amat letih.

---

Dari awal, Jake sudah tau ini adalah alam mimpi. Ruangan tempat ia dan Sunghoon berlatih setahun lalu adalah latar tempat yang sempurna. Manik Jake sedikit memanas kala ia mendapati dirinya duduk di hadapan piano lagi setelah sekian lama. Dan Sunghoon tengah berada di kursi satunya sambil memegang botolan air mineral. Sama sekali tak ada yang berbeda. Semuanya persis sama dengan hari terakhir di mana Jake masih mempercayai Sunghoon. Hari terakhir ketika mereka masih tersenyum satu sama lain tanpa adanya rasa benci.

Jake bahkan bisa menebak, apa kalimat yang ingin Sunghoon katakan setelah ini.

"Ayo mainkan pianomu lagi."

Ucapan itu, sesuai dengan memori masa lalu Jake. Tak ada perubahan kata sedikitpun. Bahkan intonasinya pun masih sama. Namun, jika dulu Jake bertanya-tanya kenapa Sunghoon menginginkan itu, kali ini Jake langsung memutar tubuhnya menghadap piano tanpa basa basi. Ia memandang tuts-tuts tersebut dengan perasaan mencekut. Sudah lama sekali ia tak menekannya. Piano yang Jake mainkan, selalu hanya ingin berdenting ketika ada Sunghoon. Setelah mengumpulkan perasaannya yang tercerai-berai, Jake pun mulai memainkan pianonya.

Ia bisa merasakan Sunghoon tersenyum tipis di sudut matanya. Dan ketika Jake selesai memainkan piano—seperti biasanya, Sunghoon jadi satu-satunya orang yang bertepuk tangan. Sekarang Jake sudah mengerti betul, mengapa Sunghoon menyuruhnya untuk bermain. Karena keesokannya, dia tidak akan datang dan menonton.

"Kenapa kau tidak bertanya alasanmu menyuruhmu memainkan piano?" Tanya Sunghoon secara gamblang.

Jake menghela napas karena perasaannya kian memberat. "Karena aku sudah tau alasannnya."

Tampaknya, Sunghoon yang berada di hadapan Jake ini juga tau bahwa ini adalah alam mimpi. Alih-alih terkejut, ia malah terlihat sedih sambil berusaha menarik seluruh air matanya yang tertahan di pelupuk.

"Kau pasti kecewa padaku," lirih Sunghoon.

Jake bisa dengan cepat menjawab bahwa itu benar. Bahwa ia hidup dalam kekecewaan selama bertahun-tahun. Tapi tak satu suara pun keluar untuk menjawab pernyataan tersebut. Jake serta merta bungkam karena tak tau apa yang sebenarnya ia inginkan. Sayup, Jake bisa merasakan bahwa Sunghoon duduk dengan tenang memandanginya.

Sunghoon mengulum senyum. "Jake tepuk tangan yang kuberikan padamu selama ini bukan hanya karena permainan pianomu, tapi karena kau hidup dengan amat baik. Kau sudah berada pada jalan yang benar sampai aku memutuskan jalan tersebut. Tapi Jake, kau tetap berjalan dan tidak jatuh. Kau tidak berkedip ketika wajahmu ditimpa hujan yang deras. kau tidak mendekam di sudut kamar dan mengasihani diri sendiri. Terlepas dari seberapa besar frustasinya dirimu di masa lampau, kau selalu berhasil membuatku terpukau atas kemampuanmu untuk tetap berdiri di atas kakimu sendiri."

Padahal, Jake pikir caranya bertahan hidup dengan mencoba menormalisasikan rasa sakit itu terdengar seperti pecundang. Tapi mendengar seseorang mengatakan hal yang bagus tentang hidupnya, membuat sedikit perasaan gundahnya memui ke angkasa. Jake menegakkan kepala untuk bertukar tatap dengan manik hitam pekat Sunghoon. Tak ada kebohongan di sana. Tak sedikitpun.

Sunghoon bergerak pelan untuk memperbaiki posisi duduknya. "Aku memang menipumu untuk tujuan tertentu. Tapi aku benar-benar senang berteman denganmu. Tepuk tangan itu adalah hal paling jujur yang pernah kulakukan seumur hidupku."

"Aku tau," balas Jake cepat. "Maaf karena sudah meragukanmu."

Manik Sunghoon melebar mendengar jawaban itu. Sunghoon sudah melakukan kesalahan besar sampai ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia membuat Jake menjadi anak yatim yang kini hidup seorang diri. Ia juga jadi penyebab Jake berhenti melakukan apa yang ia suka. Sunghoon rasa, ia adalah kutukan untuk kehidupan Jake. Bagaimana mungkin Jake masih mau bicara begitu padanya?

"Jake, aku takut meninggalkanmu karena aku tidak akan tau apa yang akan terjadi. Aku merasa bersalah dan merasa seperti orang yang benar-benar jahat jika pergi setelah membuat hidupmu hancur," ujar Sunghoon. Air hangat mulai menetes membasahi pipinya. "Aku tidak bisa pergi, karena merasa bersalah padamu yang harus hidup menderita karena aku."

Helaan napas Jake terdengar beberapa detik setelahnya. Cahaya yang menelusup di balik jendela sekana memberikan kekuatan dan mendukungnya untuk memilah kata yang tepat agar Sunghoon bisa meyakini frasa yang ingin ia utarakan.

"Dulu kau pernah bilang, Franz Listz sempat berhenti bermain piano karena ayahnya Adam Listz meninggal dunia." Jake mengenang kembali masa-masa ketika Sunghoon hobi mengemukakan fakta-fakta menarik mengenai musik klasik. "Tapi akhirnya ia bisa bangkit kembali dan membuat konser amal untuk memanusiakan manusia lainnya."

Demi Tuhan, hati Sunghoon berdesir mengetahui bahwa Jake masih mengingat semua hal yang dulu ia katakan. Padahal Sunghoon tak mengatakannya dengan tujuan tertentu. Itu artinya, bagi Jake memorinya dan Sunghoon masih amat berharga. Sunghoon bahkan tak menyadari bahwa Jake mati-matian menahan diri untuk tidak masuk dalam taham emosional paling tinggi sampai ia ingin membanjiri diri dalam tangisan.

"Mungkin butuh waktu bagi Franz Listz untuk sembuh. Begitu juga denganku. Tapi seperti katamu tadi, aku masih punya kekuatan untuk berdiri lagi," ucap Jake dengan raut penuh keyakinan.

"Kau tidak benci aku?" Tanya Sunghoon dengan suara parau.

"Aku pernah membencimu tentu saja." Jake mencoba menetralkan napasnya sejenak. Tenggorokannya terasa kian perit. "Tapi sekarang sudah tidak. Jika kupikir lagi, banyak hal yang kau berikan padaku selain memori yang buruk."

Detik jam yang bertengger di atas meja kayu seakan mengingatkan mereka bahwa waktu untuk berbincang tinggal sebentar lagi. Setelah Jake terbangun nanti, ia harus dalam perasaan tersembuhkan. Jadi ia ingin menyelesaikannya dengan cepat.







"Aku tidak lagi membencimu Sunghoon. Kau sudah boleh pergi."








Itu adalah kalimat yang paling berat yang pernah Jake ucapkan dalam hidupnya. Tak ada yang tau kemana manusia akan pergi setelah mereka mati. Apakah alam baka itu benar ada atau sebenarnya roh itu akan hilang begitu saja seusai meninggalkan sang tubuh. Jake tak pernah penasaran mengenai itu sampai ia ingat bahwa semua yang berada di atas bumi akan menjumpai akhir. Terlepas dari semua ketakukan Jake mengenai bisa saja ini menajadi pertemuan terakhir mereka, hal yang harus Jake lakukan hanyalah melepaskan Sunghoon.

Akhirnya, Sunghoon bisa tersenyum lega untuk pertama kali setelah sekian lama. Di tatapnya Jake dengan perasaan hangat. "Aku tidak bercanda saat kubilang aku akan tetap menontonmu bermain piano sekalipun kita saling membenci. Jadi, tetap mainkan pianomu. Ada satu penonton di sini yang menunggu pementasan dimulai kembali."

Jake ikut tersenyum, meskipun air matanya mulai menetes sekalipun di usap ribuan kali. Meski ini hanya di alam mimpi, perasaannya benar-benar lega. Sama seperti melepaskan pemberat yang bertengger di tiap sisi sendinya. Seiring dengan kelegaan itu, tubuh mereka sama-sama memudar. Mereka harus segera kembali ke tempat masing-masing.





Setelah piano selesai berdenting—aku memaafkanmu. Kemudian kau akan hidup dalam keabadian bersama jiwa yang sudah bersih. Semoga kau tetap hadir di dentingan piano berikutnya. Meskipun mungkin tak lagi dengan raga.

TBC

de capo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang