4

1.2K 406 21
                                    

14 January 2021

The day before he was nowhere

---

Jika hidup merupakan buku, maka ada tiga bab yang tersusun sehingga buku itu menjadi sempurna. Yang pertama adalah masa lalu, yang kedua adalah masa sekarang, dan yang ketiga adalah masa depan. Masa sekarang begitu singkat, tergantikan oleh masa depan. Bagaimanapun hari esok juga merupakan masa depan. Namun masa depan pula penuh akan ketidakpastian. Masa lalu adalah satu-satunya bagian yang paling konkret.

Yang Jake tau, masa lalunya tak begitu bagus untuk dijadikan bab pembuka. Namun juga tidak terlalu buruk. Berkat Sunghoon, bagian buruk dari masa lalu naik tingkatannya menjadi sedikit lumayan. Meski Jake tak pernah bisa terhindar dari hal-hal buruk sekalipun Sunghoon ada di sana.

Di bulan pertama pada tahun ini, Jake akhirnya mengikuti kompetisi pertamanya selama ia bermain piano. Sehari sebelum perlombaan, Sunghoon membantu Jake menyesuaikan ritme dan tempo, serta melakukan split dengan benar. Kertas-kertas partitur sudah sedikit kerimuk karena berulang kali dibalikkan.

"Demi Tuhan, apa aku menyerah saja?" Tanya Jake yang kepalang frustasi karena ia masih terus gagal dalam beberapa aspek permainannya.

Sunghoon terkekeh sambil duduk di salah satu bangku kayu. Ia menegak air mineral botol yang memang tersedia di ruang latihan. "Kau sudah berusaha sejauh ini, masa mau menyerah?"

Jake memandangi tangannya yang bertengger di depan tuts. Ia kemudian mengangkat tangan itu perlahan.Jari-jarinya sampai bergetar dan juga sangat pegal sampai ada rasa kebas. Artinya dia memang sudah bekerja keras hanya untuk satu kali penampilan di esok hari. Lagipula, ada satu hal lagi yang membuat Jake tak akan lagi menyerah kali ini.

"Kau tau? Besok orang tuaku akan datang menontonku," ujar Jake sambil tersenyum lebar. Seperti anak kecil yang baru tau bahwa rasa gulali itu manis dan membuatnya senang.

Sunghoon menoleh cepat. "Benar? Serius?"

Selama ini, orangtua Jake tak pernah ikut andil dalam mendukung kesukaan Jake. Meski mereka tak lagi melarang, tapi mereka juga tidak menyukai hal itu. Jadi, kabar tersebut termasuk kabar yang bagus. Dan itu artinya Jake punya kesempatan untuk membuktikan dirinya. Dan hal itu, menjadi alasan bagi Jake untuk memberikan secuil penghargaan kepada orangtuanya, sebagai ayah dan ibu yang ia sayangi. Bagaimanapun bagi Jake, orangtuanya adalah yang terbaik.

"Ngomong-ngomong, aku sudah coba kemarin," tutur Jake sambil memutar tubuhnya menghadap ke arah sang karib. "Aku sudah coba membuka brankas ayahku—seperti yang kau suruh."

Beberapa hari lalu, Jake berkeluh kesah soal sikap ayahnya yang terkesan terlalu posesif terhadap salah satu bilik pada lemari kamarnya. Dia bahkan tak mengijinkan bibi pembersih rumah untuk masuk, dan lebih memilih membersihkan ruangan itu sendiri. Jake tak suka, ayahnya yang penuh obsesi dan terus melakukan pekerjaan bahkan ketika berada di rumah. Lantas, ia pun jadi penasaran, apa isi sebuah kotak besi di dalam bilik lemari ayahnya.

Dan tentu, Sunghoon sangat antusias mendengar cerita tersebut. Jake juga heran kenapa bisa begitu. Sunghoon bahkan jauh lebih antusias daripada Jake selaku anaknya sendiri. Ia bahkan tak segan untuk menyuruh Jake diam-diam mencari tau apa yang disembunyikan oleh sang ayah.

"Benarkah? Kau berhasil membobolnya?" Tanya Sunghoon dengan irama yang sedikit lebih bersemangat dari sebelumnya.

Jake mengangguk. "Tidak ada hal yang penting di sana. Cuma kertas-kertas yang tak ku mengerti. Tapi, dari pada itu, ada hal yang membuatku senang."

"Apa?" Sunghoon yang penasaran semakin mendaratkan atensinya pada kalimat Jake yang menggantung.

"Sandi brankas itu, adalah hari ulang tahunku." Jake tersenyum lebar usai mengatakannya. Perasaan senang karena merasa berharga itu amat sederhana, namun juga penuh akan kebahagiaan.

Pemuda Park di hadapannya terdiam sejenak. Tak tau bagaimana cara untuk merespon dua buah sensasi yang bertolak belakang ini. Jake menekan-nekan tuts dihadapannya asal dengan satu jari. Senyumannya masih menggantung menghiasi dentingan. Sepatu kets abu-abu berdecit pelan menandakan bahwa ia sedang dalam mood yang bagus. Melihat pemandangan itu, Sunghoon akhirnya memutuskan untuk meleburkan tarikan bibirnya.

"Kau akan menontonku besok, kan?" Jake hanya ingin memastikan. Karena sebenarnya ia yakin Sunghoon akan datang tanpa perlu ia tanyai.

Tapi, respon Sunghoon berada di luar ekspektasi Jake sampai membuat perasaannya sedikit tak enak. Alih-alih langsung menjawab, pemuda itu justru menghabiskan beberapa detik untuk diam. Ekspresinya terkesan hampa. Ia bahkan menghindari kontak mata dengan Jake. Tentu, hal itu membuat kening Jake berkerut.

"Sunghoon?" Irama panggilan Jake tersebut, membuat hati Sunghoon seperti diiris oleh mata pisau yang baru di asah.

"Ayo mainkan pianomu lagi," ucap Sunghoon dengan senyuman yang terlihat seperti dipaksakan.

Tentunya, hal tersebut membuat Jake heran. "Kau mau aku main lagi? Kenapa?"

"Aku ingin dengar," jawab Sunghoon. "Anggap ini adalah pentas, dan aku adalah penontonnya."

Meski Jake merasa ada yang aneh, dia tetap menuruti pinta Sunghoon. Ia menghela napas dan mulai membayangkan berada di atas panggung. Mengenakan kemeja putih, jas hitam, serta sepatu pentofel berwarna cokelat mengkilap. Barisan kursi-kursi yang tertata rapi berada sedikit di bawah pentas. Tirai menyingkap sebelum lampu sorot yang hadir, bersamaan dengan datangnya seorang wanita yang bertugas untuk membalikkan kertas. Jake juga membayangkan, ada Sunghoon di salah satu bangku penonton. Ralat, bukan salah satu. Tapi satu-satunya.

Jake mulai menekan sisi putih dan hitam sambil merasakan kepekaannya terhadap nada. Alunan ritme lagu bertumpuk menjadi serangkaian keindahan—yang barangkali hanya bisa dirasakan dan dinikmati oleh Jake seorang diri. Ia selalu suka, dirinya yang tengah memainkan piano. Sekalipun semua orang menganggap bahwa ia tak punya bakat.

Usai permainan tersebut, Jake menoleh kepada Sunghoon yang masih terdiam. Jake bisa merasakan ada getaran yang berbeda dari pemuda tinggi itu. Matanya sedikit memerah dan ekspresinya seperti seseorang yang merasa bersalah. Setelah sadar, Sunghoon cepat-cepat mengumbar kembali senyum kapitalismenya sambil bertepuk tangan. Tapi, Jake yang sejak tadi merasa ada yang berbeda—untuk pertama kalinya, tak merasa senang sedikitpun.

Jake menyesal, kala itu ia tak bertanya. Apalagi, tatkala Sunghoon mengutarakan satu kalimat yang penuh kode mengenai kesalahan yang akan ia perbuat di masa mendatang.

"Jake, jika suatu hari nanti kita saling membenci—aku akan tetap duduk di kursi penonton dan melihatmu memainkan piano."

Harusnya, Jake tau—bahwa itu bukan sekedar kalimat perandaian. Tapi prediksi Sunghoon sendiri. Karena hanya dia yang tau, apa yang akan terjadi.

TBC

de capo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang