003: Guilty Pleasure

426 36 1
                                    


Sepanjang perjalanan, aku enggak habis pikir mengapa punya nenek yang menulis tulisan alay untuk cucunya yang baru datang dari Amerika. (Dan fakta bahwa Granny menyukai boyband adalah salah satu hal yang janggal.)

Aku sekarang duduk di sebuah minibus silver yang melaju melewati jalanan Kota Bandung. Bang Dicky, si manis berkaus ungu, duduk di sampingku mengemudikan mobil. Sementara, semua bagasiku ada di jok belakang, nyaris menutupi langit-langit, membuat kaca spion di dalam mobil serasa useless.

"Dicky kirain, Agas muncul dari pintu internasional. Makanya Dicky nunggu di situ," ujar Bang Dicky ragu. Orang ini langsung mengajariku kata "Bang" instead of "Pak" ketika kami bersama-sama memasukkan bagasiku ke dalam mobil tadi. Yang bikin awkward hanyalah saat dia menyebut namanya sendiri untuk kata ganti dirinya.

Dilihat dari wajahnya, mungkin umurnya akhir 20-an. Namun dia kelihatan muda sekali. Kulit wajahnya mulus, seolah-olah enggak pernah kenal jerawat sepanjang hidupnya. Dan, mungkin enggak pernah berjemur di pinggir pantai. Rambutnya pendek dan aku suka matanya yang sayu, menyipit ke bawah di ujungnya.

"Dari Amerika mendaratnya di Jakarta, Bang Dicky. Jadi kedatangan internasionalnya pas di sini. Barusan sih penerbangan lokal Jakarta – Bandung aja.."

"Oooh," ujarnya sambil manggut-manggut (dan entah mengapa kelihatannya cute). "Gimana perjalanannya?"

Mulai basa-basi, nih. Tadi juga begitu waktu Adam menjemputku di Cengkareng, dia langsung menanyakan, "Gimana perjalanannya?" Aku tak masalah dengan basa-basi. Hanya saja aku bingung harus menjawab apa. Mengingat tak ada pembajakan atau pengeboman di dalam penerbangan, dan aku bisa duduk di sini dengan damai sentosa, harusnya orang-orang tahu bahwa penerbanganku biasa-biasa saja.

Misal aku sepesawat dengan Oprah Winfrey sekalipun, pasti sudah kuceritakan sedari tadi.

"It was nice. Banyak turbulensi tapi aku juga banyak tidur. Jadinya enggak kerasa banget, lah," kataku akhirnya, standar jawaban basa-basi juga.

Lama-lama, setelah kuperhatikan, Bang Dicky ini kelihatan lugu, ya? Mukanya seperti kekanak-kanakan. Kalau dia menoleh dan bertanya sesuatu, ekspresinya lucu dan polos. Seperti anak kecil yang sedang penasaran akan sesuatu.

Padahal, lihat itu, lengan-lengannya besar! Harusnya dia menjadi cowok dewasa yang bikin pemujanya meleleh.

"Agas udah makan belum?" tanya Bang Dicky.

"Udah," jawabku jujur. "Waktu di Jakarta tadi makan dulu ama teman. Sempat keliling ke sana kemari juga buat beli oleh-oleh titipan Granny."

Kemudian, aku menatap dadanya yang bidang. Yang entah mengapa tampak seksi sekali di balik kaus ungunya itu.

Ya Tuhan, aku bukan sedang naksir, kan? Please, jadikan ini hanya horny ringan semata. Sudah berhari-hari aku tidak "memuaskan diriku" karena sedang masa berkabung. Setelah tiba di negara baru, aku merasa baru. Dan dengan menjadi baru, aku mulai bisa kembali ke diriku biasanya.

Termasuk memuja cowok-cowok imut semacam Bang Dicky secara seksual.

"Yaaah ..., padahal Dicky udah nyiapin makanan di rumah Nenek," ujarnya. "Ada lotek, lho! Kata Nenek, Agas suka lotek, ya?"

"Ya. Suka. Sebab di Amerika jarang makan lotek. Nyari kencurnya susah."

Tiba-tiba saja, menoleh ke arahnya adalah sebuah guilty pleasure. Seolah-olah itu sebuah kesalahan. Padahal meski jantungku berdebar-debar tanpa alasan saat menatap Bang Dicky, harusnya itu hal yang umum terjadi. Sama seperti aku deg-degan melihat Ryan Reynolds enggak pakai atasan. Bukan berarti aku melecehkan Ryan Reynolds secara seksual, kan?

Namun di jok penumpang mobil ini, aku tak bisa menahan diri untuk tidak melirik ke bahu lebar dan lengan-lengan kokoh itu. Atau fakta bahwa tubuhnya cukup besar untuk memelukku sepenuhnya. Kurasa aku kekurangan vitamin "D" sehingga pikiranku liar ke mana-mana.

Termasuk pandanganku. Berkali-kali aku pura-pura menoleh ke kanan, ke arah Bang Dicky, seolah-olah sedang melihat atraksi di seberang sana. Padahal aku sedang mengagumi sosok cowok di sampingku secara fisik. Aku mulai cemas Bang Dicky memergokiku lalu berseru, "Kenapa lihat-lihat? Naksir, yaaa ...?"

"Bentar lagi nyampe, Gas," ujar Bang Dicky. "Rumahnya Nenek di ujung belokan itu."

Naksir-naksir selewat? Mungkin iya. Saat di bandara tadi aku naksir kepada Bang Dicky karena aku belum tahu dia adalah orang yang berkorelasi dengan keluargaku. Namun setelah teringat ucapan Granny di Amerika sana bahwa, "Nanti di Bandung Agas bakal punya kakak, lho. Namanya Dicky," rasanya jadi lain.

Rasanya enggak pantas kalau aku tetap "naksir".

Waktu Granny mengatakan itu, aku langsung melupakannya. I mean, saat itu aku masih berkabung dan belum memikirkan soal kepindahan ke Indonesia. Diberi hadiah Jaguar pun mungkin aku akan melupakannya langsung. Aku baru teringat lagi nama itu barusan saat kurasakan perasaan berbeda tentang sosoknya. Aku tak mengira Dicky akan semenarik ini.

Tidak ketika aku adalah remaja gay dengan gairah yang sedang membuncah. Aku harus belajar mengendalikan diriku sendiri.

Tapi di cute! Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak memikirkannya lagi.

Wajah Dicky keturunan ras austronesia asli dengan kulit agak terang. Salah satu yang kusuka adalah matanya, sayu dan mengundang. Dia memainkan alis tebalnya untuk menunjukkan ekspresi polos dan menggemaskan. Bahkan mungkin, alisnya adalah satu-satunya daya tarik dari ekspresi muka Bang Dicky.

"Bang Dicky punya pacar?" Tiba-tiba saja aku mendengar diriku bertanya seperti itu. Maksudku, hanya ngecek, kok. Orang setampan ini pacarnya kayak gimana?

Bang Dicky tidak menoleh ke arahku untuk pertanyaan kali ini. Dia malah menengok ke kanan, memalingkan muka. Aku bisa melihat raut wajahnya berubah drastis. Alisnya bertaut negatif dan rahangnya mengeras. Sorot matanya juga tidak semenggemaskan tadi.

"Nah, udah nyampe di rumah Nenek," katanya kemudian, kembali berubah riang, seolah pertanyaanku barusan enggak pernah terlontarkan.

Hmmm ....

Kenapa dia enggak menjawab, ya?

To be continued ....

Kadang Cupid Tuh Tolol "The Beginning" #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang