Kenapa hatiku cenat cenut setiap ada kamu ....
Selalu peluhku menetes tiap dekat kamu ....
Aku sudah jutaan kali bertemu orang dengan sindrom Down. Aku melihatnya di TV dan bahkan adik salah satu temanku di US juga memiliki sindrom Down. Dari pengamatanku, mereka memiliki struktur wajah yang sama. Berapa pun usia mereka, cara berpikirnya tetap kekanak-kanakan. Enggak pernah dewasa. Persis banget dengan cowok yang menyambutku di Indonesia ini.
Namun, aku ragu jika harus memasukkan Bang Dicky ke dalam kategori ini.
Pertama, sindrom Down enggak bisa masak seenak itu dan enggak akan bisa menyetir mobil. Misal ada, itu pasti kasus yang istimewa. Kedua, wajahnya enggak menunjukkan tanda-tanda perbedaan kromosom dengan manusia pada umumnya.
"Naaah ...! Itu yang namanya Morgan, Agas! Itu!" jerit Granny kegirangan. Dia melompat dari sofanya, menyeberangi meja rendah di hadapan kami dan berhenti tepat di depan TV. "Ganteng, kan? Yang ini!"
Granny tetap menunjuk artis idolanya ke mana pun gambar sang Morgan bergerak. Aku kagum pada boyband ini. Bukan karena kegantengan atau suaranya, melainkan karena berhasil membuat nenek-nenek tetap segar, bugar, dan rela melompat dari sofa demi melihatnya lebih dekat.
"Yes, Granny, ganteng!" sahutku, pura-pura antusias.
Kalau bukan sindrom Down, lalu apa dong? Autis?
Aku sudah cek di Wikipedia, tak ada satu pun tanda-tanda autisme yang cocok diterapkan kepada Bang Dicky. Cowok itu sama sekali enggak punya masalah komunikasi. Dia bisa mengutarakan pendapatnya dengan jelas dan dapat mengerti semua maksud orang-orang di sekitarnya.
You know me so well ....
Girl I need you ....
Girl I love you ....
"Girl I heart yooouuu!" turut Granny, ikut bernyanyi. Suaranya melengking dan enggak peduli nada. Aku bersyukur Granny tidak ikut menari seperti cowok-cowok itu. "Oh, nenek punya liriknya! Kamu mau lihat, Agas?"
Aku tidak sempat menjawab karena Granny sudah menghilang ke kamarnya. Dengan jelas dapat kudengar suara laci terbuka, suara Granny mengaduk-aduk laci, suara keluhan, "Di mana sih bukunya?" lalu suara pintu lemari baju dibuka.
Oke, balik lagi ke Bang Dicky. Mungkinkah dia punya masalah kepribadian?
Sampai detik ini, tiga jam setelah dia rela bertelanjang dada di depan umum, aku masih penasaran akan sosoknya. Pertama, di kehidupanku sebelumnya, maksudku sebelum aku pindah ke Amerika, aku belum pernah melihat Bang Dicky di rumah Granny. Jadi, aku penasaran mengenai sejarahnya bergabung di keluarga ini. Apakah tetangga baru? Tetangga lama tapi kebetulan aku tak pernah bertemu?
Kedua, dia enggak menunjukkan tanda-tanda "uneducated". Dengan mudahnya dia membaca tulisan dan paham newsticker salah satu stasiun TV Indonesia sewaktu kami membahasnya sore tadi. Malah, dia up to date dengan berita politik terkini. Sesuatu yang menurutku ajaib total. Satu-satunya hal tentang politik Amerika Serikat yang kuketahui adalah ...
... adalah presiden Amerika sekarang Barack Obama.
That's it. Sisanya aku enggak paham perdebatan soal Republican dan Democrats ini. Dan aku tetap bisa berpikir dewasa padahal umurku masih 16 tahun.
Lalu kenapa Bang Dicky memanggil namanya sendiri saat berbicara seolah-olah dia anak umur sepuluh tahun yang sedang mencari perhatian?
"Pasti Jeng Nunuk yang ngambil!" seru Granny sambil keluar dari kamar dengan wajah kesal. Dia lalu melanjutkan pencariannya di buffet ruang tengah. "Kadang-kadang Jeng Nunuk itu suka ngutil, lho, Gas. Kamu harus hati-hati. Dia pernah pinjem talenan Nenek dan sampe sekarang belum balik-balik juga."
![](https://img.wattpad.com/cover/264231355-288-k138849.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kadang Cupid Tuh Tolol "The Beginning" #1
Teen FictionSetelah kematian orangtuanya di California, Agas harus kembali ke Bandung untuk tinggal bersama neneknya. Semua berjalan lancar. Bahkan, Agas bertemu tiga cowok baru setelah kepindahannya. Namun karakter berbeda para cowok ini membuat hari-hari Aga...