005: Serasa Muda

410 31 1
                                        


Kamar yang kumiliki di rumah Granny cukup besar. Lebih besar dari kamarku dulu. Letaknya di bagian depan rumah, menghadap ke jalan. Ada kesan angker menyertainya, tetapi kurasa itu hanya perasaanku saja. Toh rumah dengan tipe seperti ini stereotipnya seram, kok.

Rumah Granny bergaya kolonial belanda, dengan tembok tebal, kusen kayu, dan teralis besi di setiap jendela. Langit-langitnya tinggi, seperti berada dalam museum. Lembap adalah salah satu ciri khas rumah Granny. Tegelnya yang berwarna abu terasa dingin dan licin. Menurutku, setiap sudut rumah ini terasa gelap. Tak peduli bahwa ada lampu pijar di dekatnya atau enggak.

Mirip rumah di film-film horor Indonesia yang pernah Adam kirimkan padaku lewat email.

Dulu, rumahku bukan di sini. Rumahku ada di kompleks perumahan elite yang desainnya modern. Hanya beberapa kali aku mengunjungi rumah Granny yang ini. Namun aku enggak begitu ingat detailnya.

"Sudah semuanya. Mau dipasang sekarang komputernya?" tawar Bang Dicky, setelah bolak-balik membantuku membawa koper ke dalam kamar. Aku kerepotan membawa satu koper, sementara Bang Dicky menggendong dua koper dengan kedua lengannya—sampai-sampai otot bisep itu muncul keluar.

Gimana aku enggak naksir, coba? Yang dia lakukan tuh seolah-olah membagikan feromon agar lawan jenisnya terpikat dan bisa diajak kawin. Aku memang bukan lawan jenisnya, tetapi aku menyukai sesama jenis. Wajar kalau keringat dingin merembes keluar setiap bersama Bang Dicky.

"Enggak usah, Bang," balasku salah tingkah. "Biar aku aja yang pasang. Entar malam."

Saat kami memindahkan koper ke kamarku, hujan deras mengguyur Kota Bandung secara tiba-tiba. Suhu ruangan berubah drastis, tetapi enggak sedingin New Jersey. Aku masih bisa bertahan dengan kaus tipisku sambil berusaha duduk di tempat-tempat berlapiskan material lembut. Bang Dicky masih bolak balik membereskan beberapa furnitur (khususnya tempat tidurku, karena aku ingin mengubahnya menjadi menghadap jendela). Sedikit demi sedikit, aku membantunya menggeser kursi atau koper-koperku yang bertumpukan.

Selesai memasukkan semua barang ke dalam kamar, aku bergegas mandi dan membersihkan diri. I mean, sudah 33 jam sejak aku meninggalkan rumahku di New Jersey. Badanku lengket total. Aku enggak tahu apakah badanku bau keringat, atau tidak. Untungnya tak ada yang mengerutkan hidung setiap berkeliaran di sekitarku.

Begitu selesai mandi, aku bergabung bersama Granny, Bang Dicky, dan semua teman Granny di ruang tengah. Aku ditanya berbagai macam hal personal. Misalnya umurku, pacarku, artis idolaku, menurut Agas cakepan mana Rafael atau Morgan, dan lain-lain. Hujan sudah reda saat itu. In fact, matahari sore langsung bersinar terang di luar sana, menyinari titik-titik air yang membasahi dedaunan di halaman depan rumah Granny.

"Oh, Agas. Kita ke pemakaman ayah bunda Agas besok, ya!" kata Granny. "Kalau habis hujan begini, biasanya tanah pemakaman suka becek."

"Okay, Granny."

"Adeuh, dipanggil Granny," goda Jeng Nunuk sambil mencolek nenekku. Sedari tadi, dia menjadi orang kedua yang paling aktif berbicara setelah Granny. Kalau kumpulan nenek-nenek ini adalah student body, Granny pasti ketuanya, Nunuk pasti wakilnya. "Serasa muda kembali, ya dipanggil Granny."

Muda?

Astaga. Jeng Nunuk ini tolol atau apa, sih?

"Aku pengin jalan-jalan Granny. Kayaknya segar, tuh!" kataku kemudian, berusaha keras keluar dari kumpulan wanita tua pengagum boyband ini.

"Oooh ..., boleh-boleh! Agas jalan-jalan aja di sekitaran kompleks ini. Dicky temenin Agas, ya?"

"Eh, enggak usah Granny!" selaku buru-buru. "Aku sendirian aja."

Kadang Cupid Tuh Tolol "The Beginning" #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang