Prolog

29 0 0
                                    

*Vote and comment please*

Happy Reading ..

Bukannya aku mengeluh atau tidak mau menerima kenyataan akan kehidupan yang menimpaku sekarang. Siap atau tidak, aku harus menjalani sebuah tanggung jawab besar yang bahkan aku sendiri tidak yakin, apakah aku bisa melakukannya ?

Aku sadar bahwa aku tidak sendiri. Ada Ibu yang selalu membantuku. Ibu hanya sekedar membantu namun selebihnya tetap aku yang melakukannya. Namun di satu sisi, aku bersyukur, aku telah menyelesaikan kuliahku. Dan aku juga sudah punya pekerjaan sebagai pelayan caffe yang jam kerjanya menggunakan sistem shifting. Apakah aku harus mengeluh ? Tidak. Aku selalu memotivasi diriku sendiri bahwa aku pasti bisa menjalankan tugas dan tanggungjawabku sebagai pelayan caffe dan juga seorang ..... Mama.

"Mom, I'm finished !!" seru Candy dari dalam kamar mandi. Aku memang sengaja membuka sedikit pintu kamar mandi agar aku bisa melihat Candy yang sedang melakukan ritual panggilan alam. Untungnya saja, aku belum ganti baju kerja. "Tunggu sebentar, honey." jawabku yang berjalan menghampiri Candy di kamar mandi.

Beberapa menit kemudian setelah membersihkan Candy ...

"Honey, Mama sudah masak makanan enak buat kamu. Jangan lupa dimakan ya." ucapku sambil duduk di lantai menyeka kaki Candy yang basah dengan handuk. Lalu, aku membantu dia memakai celana.

"Mama."

"Ya ?"

"Mama, celana Candy sempit."

Benar kata Candy. Celananya sudah sempit dan aku bisa merasakannya ketika membantu Candy memakai celananya. Mataku bergerak ke arah perut buncit Candy yang terlihat di balik bajunya. Lucu banget. Ya, memang ku akui kalo akhir-akhir ini nafsu makan Candy meningkat. Maklumlah, Candy dalam masa pertumbuhan. Wajar kalo perutnya buncit. Apakah celananya sempit karena perut buncit Candy ? Kalo iya, berarti Candy sudah besar.

"Yaudah, Candy pake celana yang lain saja ya." ucapku. Aku berdiri dari lantai dan berjalan ke arah lemari kayu. Lemari pakaian Candy. Aku baru ingat kalau aku sebenarnya sudah janji sama Candy kalau aku akan membelikan celana yang baru. Tapi aku beneran lupa karena beberapa hari ini aku sibuk kerja. Dan lagi, aku juga sibuk membantu persiapan pernikahan sahabatku, Windy.

"Astaga, ibu macam apa aku ini ? Lupa janji sama anak sendiri." rutukku dalam hati.

Setelah mengambil celana dari dalam lemari, aku segera memakaikan celana ke Candy. Aku memasang senyuman semanis mungkin tanpa ada embel-embel 'oke, nanti Mama belikan celana yang baru buat Candy.'

"Sekarang, Candy main sama Nenek ya. Mama mau siap-siap dulu." ucapku sambil mencolek hidungnya yang mancung. Aku meyakini kalo hidungnya sangat mirip dengan ... sudahlah, untuk apa aku mengingatnya ?

Senyuman Candy yang menampilkan dimple yang imut terpancar di depan wajahku yang sebenarnya enggan untuk pergi kerja. "Oke, Ma." seru Candy senang yang membuat hatiku kembali bersemangat untuk pergi kerja. Begitu Candy sudah menghilang di balik pintu, aku kembali terngiang dengan pertanyaanku sendiri. 'Apakah aku bisa membahagiakan Candy ? Apakah Candy hidup bahagia bersamaku dan neneknya ?'

..
..
..

Rasanya terlalu cepat sekali. Wajah bahagia yang baru saja Tristan pancarkan setelah dia dan Farah resmi bertunangan, kini berubah drastis ketika dia mendengar pembicaraan cukup serius sang ayah dengan seseorang di seberang sana.

Memang, Tristan tidak tahu isi pembicaraan ayahnya secara menyeluruh. Namun, ia bisa melihat gelagat sang ayah yang terduduk lemas di kursi sambil memijitkan keningnya. Seolah-olah ada masalah besar yang menimpanya.

Apa yang sebenarnya terjadi ?

Ayah tampak lelah setelah berbicara dengan seseorang disana. Tristan yang pada dasarnya sangat menyayangi ayah, menghampirinya dengan hati-hati. Dia duduk di samping ayah. Tangannya bergerak pelan menyentuh lembut pundak ayahnya.

"Ayah, ada apa ?" tanya Tristan sedikit cemas. Dia takut sesuatu terjadi pada ayahnya setelah bicara dengan orang lain.

"Ayah sakit ?" tanya Tristan lagi.

Sang ayah menggeleng lemah. "Ayah tidak sakit. Cuma ..."

"Cuma apa, Yah ? Ayah bisa cerita sama Tristan. Apapun. Aku siap dengar cerita Ayah. Kalaupun Ayah juga ada masalah, katakan padaku. Aku siap bantu buat Ayah."

Hans melirik ke Tristan. Wajah anak bungsunya itu terlihat bahagia setelah dia resmi menjadi tunangan dari calon menantunya, Farah. Hans juga melihat sebersit rasa lelah di balik wajah Tristan yang begitu kuat dan tegar menjaga kedua orangtuanya, lalu dia juga sibuk bekerja dan sekarang dia juga harus mempersiapkan pernikahannya dengan Farah beberapa minggu lagi.

Lalu, apakah setelah menikah nanti, anak satu-satunya itu juga akan pergi meninggalkan dia seperti kakaknya ? Bahkan Hans belum siap jika Tristan harus pergi demi kehidupan barunya bersama Farah nanti. Bukan berarti Hans tidak merestui. Hanya saja, Hans masih trauma dan merasa kehilangan setelah Arjuna, anak sulungnya meninggal dalam kecelakaan empat tahun lalu bersama dengan istrinya yang tengah mengandung anak pertama mereka.

"Tristan." suara Hans terdengar serak memanggil Tristan yang ada di sampingnya.

"Iya, Ayah. Katakan padaku apa yag ingin Ayah katakan. Apapun." jawab Tristan mantap. Seolah-olah dia siap melaksanakan apa yang Hans minta. Karena Tristan tahu bahwa sekarang tanggung jawab keluarga ada di pundak Tristan. Dan sebagai anak yang baik, Tristan juga berusaha untuk tidak mengecewakan Ayah (Hans) dan Ibu (Daisy)

"Candeline ..."

Dahi Tristan mengkerut. Sebuah nama yang tidak ia kenal disebut dalam pembicaraan ini. "Maksud ayah ?"

"Keponakanmu ... ma-masih hidup."

"Apa ?"


Tristan Zefano


Gimana ceritaku ini ?
Jelekkah ??
Baguskah ??
Berikan kritik dan saran yg positif ...

TRULY MADLY DEEPLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang