part 9 : tetap jadi benalu

120 28 41
                                    

Alana terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan selang infus yang menempel pada punggung tangannya. Beberapa menit yang lalu, dokter telah menangani kondisi gadis itu namun sampai sekarang dokter sama sekali belum memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Alana.

Jangan tanyakan siapa yang membawa Alana kerumah sakit sudah pasti jawabannya adalah, Fajri. Iya, cowok yang baru saja memarahi dan membentak Alana di sekolah, melihat Alana yang tiba-tiba tak sadarkan diri, Fajri langsung berlari dan menghampiri gadis itu membawanya kerumah sakit dengan rasa khawatir yang amat sangat tinggi, tanpa dimintapun Fiki dan Zweitson serta Anya ikut kerumah sakit.

Sulit di pungkiri, semarah apapun Fiki dan Zweitson mereka masih memiliki rasa khawatir untuk Alana, gadis itu sudah jadi bagian hidup mereka sejak kecil jadi tidak mungkin jika mereka tidak memiliki rasa empati sedikitpun pada gadis itu, sama halnya dengan Fajri yang selalu memerhatikan Alana.

Dan entah mengapa ia tiba-tiba seemosi itu disekolah, Fajri adalah cowok yang kalem, pendiam dan sangat dingin jika sudah marah, satu sekolah bahkan mengetahui hal itu, namun lagi-lagi cowok itu tidak mengatahui alasan mengapa dirinya semarah itu pada Alana, yang ada dipikirannya tadi hanyalah mengingat kebersamaan Alana dan.. Bara.

Lain lagi dengan Anya, gadis itu lagi-lagi memiliki dua kepribadian dalam dirinya, raganya menangis melihat Alana dengan penuh kekhawatiran tetapi hatinya bersorak senang menyumpahi Alana agar cepat-cepat bertemu Tuhan-Nya.

Fenly dan Shandy dengan cepat menghampiri Fiki, Fajri, Zweitson dan Anya di depan ruang rawat. Beberapa saat yang lalu Zweitson sempat mengabari Fenly, memberitahu jika Alana kembali di larikan kerumah sakit, tadinya cowok itu ingin mengabari Gilang namun ia mengurungkan niat itu, mengingat Gilang juga sedang menemani papanya yang jatuh sakit, ia tidak ingin menambah beban pikiran kakak dari sahabatnya itu.

"gimana Alana?" tanya Fenly dengan tergesa, menatap keempat adik-adiknya yang hanya diam sembari menunduk. Kebiasaan nih kalo ditanya pasti hanya diam, giliran ghibah aja lancar 128KM/jam.

"kalo kalian ga ngomong, mulutnya sumbangin aja ke yang membutuhkan percuma di pajang doang di muka kalo ga di pake" ujar Shandy dengan santainya, sorot matanya teralih menuju jendela kaca yang menampakan Alana di dalam.

Hatinya sedikit tergores saat melihat Alana terbaring lemah di dalam, biasanya gadis itu banyak bicara, tidak bisa diam, cerewet, rusuh dan sekarang hanya bisa diam dengan selang infus di tangannya. Shandy sama sekali tidak bisa membayangkan jika Gilang tahu semua ini, sahabatnya itu sudah jelas akan sangat panik dan pulang sekarang juga.

"salah gue bang" lirih Fajri, ia semakin menunduk, takut menatap Fenly yang kini menatap kearahnya. Fenly ini termasuk orang yang sangat seram jika sudah marah.

"kenapa bisa?" tanya Fenly.

Fajri hanya diam sembari menghela nafas, memori kejadian tadi siang kembali terputar di pikirannya, ia menyesal sungguh menyesal, namun lagi-lagi egonya yang menang cowok itu tidak berniat menjelaskan semuanya pada Fenly dan Shandy.

"gausah nyalahin diri sendiri, sana tengok ke dalam kalian sahabatnya kan?"titah Shandy menatap keempat adik dari sahabatnya.

Fiki, Fajri dan Zweitson terdiam, mereka merasa sedikit tersindir dengan ujaran Shandy barusan, rasanya mereka malu meski hanya untuk menampakan diri mereka di depan Alana, perlakuan buruk mereka beberapa hari kebelakang sudah jelas menjadi alasan mereka merasa seperti itu. Sedangkan Anya tentu hanya diam ia harus ber-acting bukan?

"heh budek! di suruh masuk malah pada bengong, dah gua aja yang masuk" ujar Shandy dengan ngegas lalu masuk kedalam ruang rawat Alana diikuti Fenly di belakangnya, kasihan jika Alana sendiri di dalam, gadis itu perlu di temani apalagi sekarang Gilang sedang tidak di dekatnya.

ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang