Malam berganti pagi dengan begitu cepat. Pagi ini langit di dominasi warna abu-abu pekat, awan-awan yang membawa rintik hujan nampak menutupi matahari, suasana yang pas untuk menggambarkan keadaan dirumah sakit saat ini, suram.
Gilang, Shandy, dan Fenly masih setia berada di rumah sakit menunggui Alana, jangan lupakan Fiki, Fajri, dan Zweitson yang memaksa menunggu di rumah sakit meski sudah kena omel Fenly beberapa kali. Jika menanyakan kehadiran Bara, cowok itu pamit pulang karena merasa tugasnya telah selesai.
Mereka semua hanya bisa terdiam larut dalam pikiran masing-masing. Keadaan mereka juga tidak bisa di katakan baik, rambut yang acak-acakan, wajah kusam serta kantung mata yang menghitam akibat tidak tidur semalaman.
Gilang sendiri bingung bagaimana cara memberi tahu ayahnya tentang kanker yang di derita Alana, cowok itu takut membuat kondisi sang ayah malah semakin memburuk di sana. Belum lagi lusa ia harus segera kembali ke USA menjaga ayahnya.
Shandy sebenarnya banyak pekerjaan hari ini, namun cowok itu memilih membatalkan itu semua, dan menemani Gilang kata Fenly tidak akan aman jika dirinya tidak bersama Gilang saat kondisi seperti ini.
Memang susah ya kalo jadi pengendali emosi orang. Shandy kadang lelah namun ia tidak akan meninggalkan Gilang sampai kapanpun, mengingat Gilang juga berarti besar dalam hidupnya.
Suara derap langkah membuat setiap padang mata menoleh kearahnya, terlihat Dokter Andi yang berjalan menghampiri mereka dengan beberapa suster di belakangnya.
"saya akan mengecek kondisi pasien" ijin dokter Andi sebelum akhirnya masuk kedalam ruang ICU memeriksa kondisi Alana.
Gilang berdiri dari duduknya menunggu di depan pintu hingga dokter selesai melakukan pekerjaannya di dalam.
"kalian balik gih, mandi, buluq banget soalnya" kata Shandy seenak jidat.
Fiki mencibir pelan, merutuki ujaran Shandy yang seenaknya, gini-gini juga ia masih ganteng kok. Ya kan?
"Son, Fik, Ji balik aja dulu bentaran ganti baju, kalian masih seragaman juga" timpal Fenly.
"lu juga sama aja kak, belum mandi kan dari kemaren" bantah Zweitson. Ia memalingkan pandangannya.
"gue bisa nanti, udah sana pada balik dulu"
Fajri berdiri dari duduknya lalu berjalan pergi tanpa sepatah katapun. Fiki menyikut lengan Zweitson dengan tatapan penuh tanda tanya menatap kepergian Fajri "si aji mau kemana?"
Zweitson mengedikkan bahunya "gue bukan bapaknya" jawab Zweitson seadanya.
"bercanda mulu lo pada" cibir Shandy.
Adik-adiknya ini benar-benar tidak tahu tempat dan kondisi, harusnya kan sedih-sedihan ini malah ngelawak.
Fiki dan Zweitson tidak menjawab keduanya kembali sibuk melamun. Tak lama dari itu Fajri kembali dengan menenteng dua kantung kresek di tangannya.
Cowok itu menghampiri Gilang yang berdiri di samping pintu ruang ICU memerhatikan Alana dari jendela yang ada di sana.
"Bang gue belikan makan.." kata Fajri sembari menyerahkan sekotak nasi pada Gilang.
Tak ada jawaban, Gilang masih fokus menatap Alana seolah tak mendengar Fajri yang sedari tadi memanggilnya.
"Bang gue..
"saat kondisi Alana kaya gini lo masih mikirin makan ji?" potong Gilang dengan dingin.
Fajri seketika diam, mati kutu di tempat bingung harus merespon apa, bukannya ia tidak peduli dengan kondisi Alana sekarang, Fajri sangat peduli ia juga mengkhawatirkan Alana, namun ia juga harus memerhatikan diri sendiri agar tidak ikut sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA
Teen FictionJika mendengar kata sahabat, pasti kalian akan berfikir mereka adalah orang orang yang selalu ada, setia dan tak pernah menyakiti bahkan menorehkan luka yang akan sulit untuk sembuh nantinya. Ya, Definisi sahabat memang seperti itu. Miris sekali, da...