Dunia kembali menjemput hari Senin dengan aktivitas padatnya. Pagi ini langit nampak menawan dengan rentetan awan berjejer di beberapa sisi, namun itu tidak secerah Fiki, Fajri dan Zweitson pagi ini.
Bukan Jakarta namanya jika tidak terjadi kemacetan. Ya, seperti yang dialami Fiki, Fajri, dan Zweitson saat ini terjebak dalam kemacetan bersama Fenly yang menjadi supir mereka.
Kemarin selepas Alana siuman, Gilang benar-benar mengusir mereka bertiga, bahkan sampai saat ini Gilang tidak mengijinkan Fiki, Fajri dan Zweitson untuk menjenguk Alana di rumah sakit.
Fiki menghela nafas kasar untuk yang kesekian kalinya, ia menyenderkan kepalanya ke sisi jendela mobil menatap jalanan padat dengan berbagai macam kendaraan yang merangsek maju, kantung matanya menghitam, sejak semalam pikirannya masih terbebani dengan reaksi Alana kemarin, ia sangat tidak menyangka Alana akan setakut itu padanya. Fiki merasa ia sudah sangat gagal menjaga Alana, bahkan sekarang dirinyalah penyebab trauma yang dialami Alana.
Fajri sendiri meski dirinya turut membantu meluruskan kesalah pahaman diantara pertemanan mereka, Gilang tetap melarangnya untuk menemui Alana. Jangankan masuk keruangan Alana hanya menjenguk sampai pintu saja Gilang sampai memanggil satpam untuk mengusir mereka bertiga.
Kejam memang, tapi ia memaklumi karena mungkin sekarang Gilang sudah hilang kepercayaan terhadap dirinya dan juga yang lain.
Lain lagi dengan Zweitson, ia menyimpan amarah di hatinya untuk Anya. Wajar saja, cowok itu pernah menyukai Anya, ya sebuah fakta yang mengejutkan bukan? tapi itulah adanya. Zweitson kecewa, sangat kecewa.
"sekarang nasib kita gimana?" tanya Fiki dengan lesu.
Fajri menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, ia tidak tahu harus apa sekarang, memaksa menemui Alana dan meminta maaf malah akan menyebabkan masalah baru, namun jika hanya diam saja, mereka akan kehilangan kesempatan untuk kembali berbaikan dengan Alana. Fajri bingung!
"minta maaf sama Alana balas dendam sama Anya" jawab Zweitson dengan dingin, ia membenarkan letak kacamatanya lalu memejamkan matanya pelan. Zweitson ngantuk, semalam tidak tidur karena pikirannya di penuhi dengan bagaimana caranya untuk berbaikan dengan Alana. Ya, meski belum ada hasil.
"balas dendam gaakan buat lo jadi orang hebat Son" pungkas Fajri, tidak setuju dengan pendapat Zweitson.
"Anya pasti punya alasan" kata Fajri lagi.
Fiki dan Zweitson sama-sama menoleh kearah Fajri yang duduk di antara mereka berdua.
"lu kenapa jadi belain Anya?!" ngegas Fiki.
"g-ga gitu..
"Anya yang nyebabin persahabatan kita kepecah kaya sekarang!" tegas Zweitson.
Fajri berdecak "bukannya keegoisan kalian juga yang buat kita kayak gini? coba deh lu berdua mikir! kalo ga gegabah kalo dengerin Alana dulu ini semua gaakan terjadi." ujar Fajri mulai menyalahkan kedua temannya.
"kok lo jadi nyalahin kita sih ji?!" Kata Zweitson tidak terima.
"lo juga jangan lupa ji, lo egois karena ga ngasih tau kita lebih awal. Lo mau menang sendiri kan? mau di anggap yang paling baik kan?!" Fiki berucap dengan emosinya, ia lalu berdiri dari duduknya beranjak meninggalkan Fajri dan Zweitson karena mereka sudah sampai di halte Bus sekolah.
"lo egois ji!" tajam Zweitson lalu mengikuti Fiki.
Fajri berdecak lalu mengacak rambutnya sendiri, frustasi. Mengapa sekarang semua malah menyalahkan dirinya?
"ARGHHH!!"
"Jangan teriak di Bus saya atuh a" ujar supir Bus yang bergidik ngeri melihat Fajri yang tiba-tiba teriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA
Teen FictionJika mendengar kata sahabat, pasti kalian akan berfikir mereka adalah orang orang yang selalu ada, setia dan tak pernah menyakiti bahkan menorehkan luka yang akan sulit untuk sembuh nantinya. Ya, Definisi sahabat memang seperti itu. Miris sekali, da...