Bimbang

7.2K 515 11
                                    

Aku terpaku dengan wajah yang berada hanya beberapa senti dari wajahku. Tatapan dingin seperti biasa, bibirnya yang merekah terkatup rapat. Rambut panjangnya menjuntai mengenai wajahku. Wanita ini memiliki keindahan dan aroma yang memabukkan, sayangnya tidak normal.

Suara dengkusan kesal terdengar, seiring dia yang menggulingkan tubuhnya dan berbaring di sampingku. Aku tahu, dia kembali mengambil jarak, setelah malam pertama bagiku, dan entah malam ke berapa baginya, berlalu begitu saja. Tanpa kesan berarti.

"Lama sekali ngobrol dengan Ayah. Kalian membicarakan apa?"

"Tak ada, hanya cerita ringan. Kenapa begitu penasaran?"

"Bukannya Mas mau memulangkan aku kembali pada Ayah dan Ibuku?"

Aku mengatupkan rapat mulutku, aku belum sempat bercerita banyak dengan Ayah Ayumi karena pria itu malah memintaku mendampinginya menonton bola. Ingin beranjak, tapi segan. Saat siaran itu selesai, aku bisa bernapas lega.

"Aku belum ingin membahas itu sekarang. Ayo tidur! Tak perlu waspada begitu, aku takkan menyentuhmu lagi."

Yumi menatapku dengan pandangan tak terbaca.

"Kau tahu, Yumi? Aku merasa ditipu. Aku mau bertanya padamu, aku pria ke berapa yang tidur denganmu?"

Mata Yumi melebar. Wanita ini pintar kembali menormalkan raut wajahnya.

"Tak perlu tahu, Mas."

"Apa? Tak perlu tahu?" Aku bangkit, mensejajarkan dudukku dengan Yumi yang bersandar ke sisi ranjang. Jawaban Yumi sangat menyakiti harga diriku. Jadi, dia tak menganggapku penting?

"Ada berapa kenyataan lagi yang akan kau tutupi, Yumi? Selain tak menyukai laki-laki, kau juga ...."

"Tidak perawan," sahutnya cepat. "Tak perlu sungkan. Tak perlu berpikir panjang, kau berhak mendapatkan yang lebih baik dariku."

"Dan setelah itu kau kembali dengan Laura?"

Yumi terdiam.

"Itu sama saja, aku memberikan kesempatan padamu untuk terus tersesat."

Yumi bisu lagi, wanita ini terlalu irit bicara.

"Aku belum bisa menceraikanmu, karena dalam dua bulan ke depan, aku harus memastikan bahwa kau tak mengandung."

Kututup wajahku dengan selimut, membelakangi Yumi yang masih asik dengan dunianya sendiri.

***

Niat Yumi yang ingin menginap tiga hari di rumah orangtuanya batal. Karena sanb Ibu gigih menyuruhnya pulang kembali bersamaku.

Saat sampai di rumah, Yumi buru-buru menuju dapur. Apa lagi kalau bukan menyiapkan sarapan dan memasak untuk bekal makan siangku. Wanita itu cekatan menggunakan alat-alat masak, gerakannya gesit dan hasil masakannya enak.

"Tunggu lima menit, ikannya beku," serunya. Aku berada di belakangnya, hendak menuju ke kamar mandi. Dia mencoba mencongkel ikan Nila yang menyatu sama lain dengan ujung pisau. Mungkin karena tak sabaran, ujung pisau meleset mengenai telapak tangannya.

"Auuh!" Dia mendesis, sambil membuang pisau di tangannya ke westafel. Darah segar mengucur dari telapak tangannya yang terluka dalam.

"Tunggu di sini!"

Aku bergegas menuju kotak P3K. Mencari kain kasa, antiseptik dan plester.

Yumi hanya memandang tangannya yang terus mengucurkan darah. Kusingkirkan ikan beku itu, kupegang tangan Yumi dan mencuci tangannya sekilas. Wanita itu hanya menurut, bahkan saat aku memberi antiseptik dan membalut lukanya, dia hanya diam sambil memandangku dengan tatapan tak terbaca.

"Selesai," kataku. Kurapikan alat-alat itu di atas meja.

"Kenapa Mas peduli?"

Aku tersentak, saat tatapan Yumi penuh selidik. Kenapa peduli? Karena dia istriku.

"Apa pertanyaanmu harus kujawab?" Aku jengkel sendiri. Yumi mendekat, menyisakan sedikit jarak antara wajah kami.

"Aku tak layak mendapatkan banyak perhatian, jangan membuatku berutang makin banyak padamu. Aku takut tak bisa membalasnya."

Aku geram, kutarik leher Yumi. Berbicara tepat di wajah dingin itu.

"Apakah ada utang piutang di antara dua orang yang sudah menikah? Aku baru tahu kau begitu picik." Aku menjauh, namun cekalan di lenganku menghentikan langkahku.

"Adit, jangan bermain-main dengan manusia yang haus perhatian, hatiku bisa tak tertolong."


Ranjang AyumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang