Suara itu, berhenti tepat saat aku berada di depan kamar tamu. Mungkinkah mereka mendengar langkah kakiku?
Klik! Pintu terbuka, menampakkan wajah Yumi yang terkejut. Buru-buru dia menormalkan raut wajahnya. Di balik bahunya, muncul seorang gadis muda yang ukuran tubuhnya lebih pendek dan lebih kecil dari Yumi.
"Kapan Mas datang?" tanya dia sambil merapikan rambutnya. Aku juga melihat bibirnya yang bengkak. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Baru saja, kau tak mengunci pintu, jadi aku langsung masuk." Kutatap gadis yang berada di belakang Yumi, dia tersenyum ramah sambil mengangguk. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya.
"Oh, ya. Ini temanku, Laura." Yumi menyingkir, Laura keluar sambil menyodorkan tangannya padaku, kutatap gadis itu, wajahnya imut dan cantik. Yumi cantik juga tapi agak tegas.
"Saya Laura."
Aku hanya menjabat tangannya sekilas. Lalu berjalan ke ruang tamu, aku tau pasti, Yumi dan Laura mengikutiku ke ruang tamu. Tak ada percakapan berarti, aku tak tertarik mengenal Laura. Pikiranku masih menebak-nebak apa yang baru saja terjadi di antara mereka.
***
"Sejak kapan kalian bersahabat?" tanyaku pada Yumi, kami sudah berada di tempat tidur. Sedangkan Laura telah masuk kembali ke kamar tamu. Malam ini Yumi memakai gaun tanpa lengan yang membuat pikiranku kacau, bagaimana bisa ada kulit semulus dan seputih itu? Dia harus bersyukur terlahir cantik.
"Sudah lama, sejak SMA."
"Aku tak melihat dia hadir saat pesta pernikahan kita."
"Saat itu dia kuliah di luar negri."
Yumi menatap lurus ke arah cermin yang berada di dinding kamar. Selalu seperti ini, dia tak pernah menatapku lama saat kami berbicara, seolah begitu enggan dan malas.
"Saat baru masuk tadi, aku mendengar suara aneh dari kamar tamu, ada apa?" Kutatap tajam Yumi yang langsung menatap cepat padaku. Raut terkejut, akan tetapi dia merubah kembali raut wajahnya menjadi datar.
"Suara?"
"Ya," sahutku, aku tak bisa mencerna jenis suara itu, walaupun aku sudah berumur tiga puluh tahun, aku masih suci dan polos, belum terjamah wanita mana pun. Bagiku, itu adalah suara yang tak biasa.
"Laura mengeluh tubuhnya capek, aku hanya membantu memijitnya." Yumi mengalihkan padangan lagi.
"Kalau aku yang mengeluh capek, apa kau akan memijitku juga?"
"Apa?" Yumi menatapku tak percaya.
"Kau mau memijit Laura."
"Dia temanku," balasnya sengit.
"Aku suamimu. Ayo pijit!" Aku langsung menelungkupkan tubuhku. Mengerjai Yumi sesekali tak ada salahnya, bukan?
"Jangan konyol, Mas!" Suaranya mulai meninggi.
"Atau aku saja yang memijitmu."
"Aku tidak mau!" Dia bangkit kembali, selalu begitu, jika berdebat dia selalu kabur dan pindah kamar. Malam ini kamar tamu sudah terisi dan aku takkan membiarkan mereka berdua. Firasatku mengatakan, ada hal ganjil yang terjadi.
"Eits! Mau ke mana? Ke kamar Laura?" Kucekal tangannya. Menariknya agak keras, Yumi terpaksa duduk kembali di atas ranjang. Wajahnya kesal, aku tak peduli.
"Yumi, kita mungkin selalu memberi jarak sehingga kita tak pernah dekat. Hanya satu penghancur jarak di antara kita ...." Kudekati dia, dia menghindar.
"Tapi sebelum itu, aku mau bertanya, kenapa bibir kalian sama-sama bengkak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranjang Ayumi
Short StoryMenikahi wanita cantik tapi penyuka sesama jenis dan tak mau disentuh, Apakah Adit harus menyerah menaklukkan istrinya yang misterius?