Yumi membuka matanya perlahan, dia agak kaget saat mendapati wajahku tengah dekat dengan wajahnya. Bahkan dia langsung mengambil jarak dariku. Aku tak bermaksud apa-apa, aku hanya memastikan dia masih bernapas atau tidak. Sebuah pikiran gila yang menakutkan, karena bisa saja dia meminum sesuatu dan mencoba bunuh diri lagi.
"Kau sudah tak apa-apa?" tanyaku memastikan. Yumi yang mengubah posisi berbaring menjadi duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng sekilas.
"Aku baik-baik saja."
"Ayo kita ke Dokter!"
"Tidak," sahutnya dengan suara tinggi nyaris membentak, aku melihat kepanikan dan ketakutan saat aku menyebut kata Dokter. Selain takut disentuh, apa dia juga takut dengan dokter? Aneh sekali.
"Yumi, kondisimu lemah, aku takut terjadi apa-apa dengan kandunganmu, kita belum pernah konsultasi, kan?"
Yumi tak bergeming, tatapan matanya yang sayu hanya menikmati pemandangan dinding berjarak beberapa meter di depannya.
"Apa aku bisa meninggalkanmu sendiri? Maksudku ... Aku takut kau pingsan lagi sementara tak ada orang di rumah."
Yumi menoleh padaku, menatapku agak lama, seakan menembus apa yang ada dalam hatiku. Ditatap begitu, aku merasa tak nyaman, Yumi terlihat misterius.
"Siapa yang kau khawatirkan, Mas? Aku atau anak ini?"
Pertanyaan yang tak penting menurutku, akan tetapi Yumi memasang raut menunggu seakan jawaban itu berharga baginya.
"Tentu saja kalian berdua."
"Jika diberikan pilihan, antara aku dan anak ini, kau pilih yang mana?"
"Apa maksudmu?"
"Jawab saja!"
"Kenapa harus memilih, kalian berdua sama-sama penting. Anak itu bergantung padamu, karena kau adalah ibunya. Sementara, kau takkan digelari sebagai seorang ibu jika tak ada anak itu dalam perutmu."
Yumi tersenyum hambar.
"Kau benar." Dia menghindari tatapanku lagi.
"Aku berharap, kau menjaganya baik-baik, Yumi. Aku sangat mengharapkan anak itu, jangan lagi bertingkah konyol dengan memakai benda-benda tajam untuk bunuh diri."
Yumi diam saja, seakan ucapanku adalah angin lalu.
"Yumi ...."
"Aku mendengarmu."
Aku menghela napas. Berusaha untuk sabar dengan sikap Yumi. Bukankah mengabaikan lawan bicara itu amat tak sopan?
"Aku tahu, kau wanita yang baik, kau akan menjadi ibu yang baik."
"Jangan terlalu memandangku sempurna, Mas. Kau tahu pasti apa kekuranganku, memaksakan mulut bicara yang tak sesuai kenyataan itu amat menyiksa."
Ya, aku salah lagi. Semua salah di mata Yumi. Ya sudahlah.
"Baiklah, aku harus bekerja. Jaga dirimu baik-baik, nanti sore kita akan ke mall membeli buah dan susu untuk ibu hamil, aku tak bisa memilih yang sesuai dengan seleramu. Lebih baik kau pilih sendiri."
Yumi kembali diam. Ya, mungkin dia merasa terganggu dengan mulutku yang dari tadi nyinyir padanya. Apa yang kulakukan murni karena mengkhawatirkan keadaannya, melihatnya pingsan beberapa saat yang lalu, sungguh pemandangan yang meresahkan. Dia terbiasa terlihat sehat dan kuat.
***
"Yumi muntah-muntah," kataku pada Danil, kami tengah makan siang bersama di kantin kantor. Danil pria tampan beranak dua, teman dekat yang selalu jadi tempat curhatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranjang Ayumi
Short StoryMenikahi wanita cantik tapi penyuka sesama jenis dan tak mau disentuh, Apakah Adit harus menyerah menaklukkan istrinya yang misterius?