Hujan deras menguyur kota Bandung, bau aspal meyeruak. Dingin mulai menjalar disekujur tubuh Senja. Gadis itu tidak henti ngedumel, merasa sangat sial atas apa yang sedang menimpahnya sekarang. Bisa-bisanya iya lupa membawa dompet, dan lebih parah ponselnya padam kehabisan baterai.
"Ceroboh banget sih guee.. s gimana coba mau pulang? Mana udah sore." Senja terus merutuki kebodohannya, ia sekarang sedang berteduh di halte. Langit sudah berubah menjadi gelap, ia melirik ke arah jam tangannya.
"Setengah tujuh ya Tuhan. Mana jalanan sepi banget, gue trobos aja kali ya? Daripada disini juga ngga akan ngubah apa-apa." Senja menimang nimang sebentar.
"Mampus dah! Trobos ae lah." Senja berlari di bawah guyuran hujan deras, jalanan sangat sepi. Untungnya ada lampu jalan yang sedikit menerangi langkahnya.
"Dingin.. Langit, Senja kedinginan." bibir Senja berubah warna menjadi biru, diikuti mulutnya yang sudah bergetar.
"Ko Ray, Ko An. Tolong Senja." Senja terus mengoceh, kakinya berlari kencang seolah tidak mengenal lelah.
"Phael, Lo dimana? Bantuin gue plisss. Gue butuh lo.." Senja terus meminta tolong dengan suara lirih kepada orang-orang terdekatnya, berharap mereka dapat mendengar Senja sekarang.
"MAH.. PAH.. SENJA KEDINGINAN, TOLONGIN SENJA. JANGAN SIBUK KERJA TERUS!!!" teriak Senja, kemudian menambah kecepatan larinya. Entah kenapa setelah berteriak tadi dadanya terasa sedikit lega, seakan perasaannya lepas tanpa ada beban. Namun dirinya merasa ia anak yang paling malang, ia lemah perihal kasih sayang orangtua. Air mata Senja jatuh bercampur dengan dinginnya air hujan, kakinya sudah tidak sekuat tadi untuk berlari. Rasanya lututnya terasa lemas sekarang, Senja berjalan tertatih. Ingin rasanya berhambur ke pelukan seseorang.
Sementara di rumah, Raphael sedang mondar-mandir di kamarnya. Ia sudah menghubungi Senja sendari tadi, tapi tidak kunjung mendapat balasan. Cowok itu berkali-kali sudah menghubungi Langit, namun tidak juga mendapat jawaban. Rapahael membuka tirai kamarnya dan melihat mobil papa Senja terparkir di depan rumah sahabatnya itu, sudah dipastikan Langit sedang bertengkar dengan papanya.
Tadi, Langit mengirim pesan kepada Raphael menanyai soal Senja bersamanya atau tidak, kata Andi Senja belum pulang ke rumahnya. Rayn dan Andi juga sudah mencari Senja, namun tidak membuahkan hasil. Mulut Raphael tidak henti komat kamit, kakinya bergerak gelisah. Selalu seperti ini, ia juga bingung. Setiap Senja tidak ada kabar seharian, ia akan khawatir dan tidak bisa diam begitu saja.
"Senjaa, angkat telpon gue. Lo kemana coba, mana hujan deres. Lo baik baik aja kan?"
"Ngga bisa gini terus nih." Raphael menyambar kunci mobilnya, memakai jaketnya asal. Cowok itu menuruni tangga dengan cepat, di bawah ada mami papi nya sedang menikmati coklat panas.
"Mi, Pi. El keluar nyari Senja," katanya bergegas keluar rumah tanpa menunggu balasan dari orangtua nya.
Dijalan, Raphael seperti orang kesetanan. Berkali-kali meremas setir mobilnya menjadi lampiasan kecemasannya terhadap Senja.
"Lo dimana sih Ja. Gue khawatir, lo tau ngga!" Raphael menjambak rambutnya frustrasi. Hujan deras tidak tanggung-tanggung menguyur kota Bandung, gemuruh petir sahut menyaut membuat hati Raphael semakin resah.
Senja itu takut dengan suara gemuruh, segala suara gaduh, kesepian, Raphael tahu betul hal yang paling dibenci Senja.
"Arrghhh... bodoh! Bodoh! Kenapa gue ngga angkat telpon Senja tadi sih, kalau udah gini gimana coba?" Raphael merutuki dirinya yang tidak sempat mengangkat telpon Senja sebelum kehabisan baterai tadi, dikarenakan cowok itu sedang mandi.
Raphael sudah keliling kota Bandung, namun tidak menemukan Senja juga. Sekarang sudah pukul 21:27, namun Senja belum ketemu juga dan hujan tidak reda sendari tadi. Merasa tidak bisa mengendalikan dirinya, Raphael menepikan mobilnya. Kepalanya ia telungkupkan di setir mobil, dia frustasi dan merasa nyesak membayangkan bagaimana kondisi Senja saat ini. Bahu cowok itu bergetar, pertanda ia menangis. Malam sudah semakin dingin tapi sampai sekarang ia belum bisa memastikan keadaan Senja, baik-baik saja atau malah sebaliknya.
Raphael mengangkat kepalanya, ia menghapus cairan bening diujung matanya. Seketikan matanya menyipit, menatap gadis yang sedang meringkuk dibawah lampu jalan. Matanya semakin menajam, sesaat ia sadar. Hoodie gadis dibawah penerang jalan itu sama dengan hoodie couple yang dibeli Senja untuk mereka berdua.Tanpa menunggu lama, Raphael keluar dari mobilnya menerobos hujan.
"Astaga. Senja!" Raphael terkejut bukan main saat benar gadis dibawah penerang jalan itu adalah Senja.
"Ell.. dingin.. capek. Mau peluk." kata Senja lirih. Matanya terpejam, tapi ia tahu jika cowok yang baru saja menghampirinya adalah Raphael, sahabatnya.
"Ssttt.. tenang sekarang ada gue, kita pulang ya? lo udah basah kuyup gini." ujar Rapgael lembut, ia mengerti perasaan Senja sedang dalam keadaan kacau. Cowok itu menggenggam tangan Senja dan menempelkan di pipinya.
"Peluk El.. peluk gue, gue butuh peluk lo sekarang. Pliss.. gue capek banget, ggga tau kenapa." nyaris suara Senja hampir tidak terdengar lagi.
"Iya-iya gue peluk, kenapa ujan-ujanan gini Sayang, hm? Gue panik nyariin lo daritadi. Jangan gini lagi, ngga baik buat kesehatan jantung gue." Raphael memeluk Senja, dalam keadaan seperti ini ia memang sering memanggil Senja dengan sebutan Sayang. Ini memang benar-benar kata sayang yang mendeskripsikan rasa sayangnnya kepada gadis yang menjadi temannya sejak kecil itu.
Raphael mencium kening Senja "Kita pulang ya.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Langit Nabiru
Ficção AdolescentePerihal jiwa yang rindu kedamaian, hati yang butuh ketenangan, raga ingin perhatian. sebuah cerita tentang kehidupan saudara kembar tidak identik, Senjayana Tamara Nabiru & Langit Damara Nabiru. Cover by @rzknyx