Rania dan Tiara telah berada di dalam dalam pesawat yang akan membawa mereka menuju tanah kelahiran Rania, Pekanbaru. Hampir 8 tahun Rania tak pernah lagi menjejakkan kaki di bumi Melayu tercinta itu. Karena memang sudah tidak ada siapa-siapa lagi di kota tersebut. Kedua orang tuanya telah lama meninggal dunia.
Saudara satu-satunya pun telah pergi merantau. Ya, ia benar-benar sendiri sekarang. Eh, berdua dengan Tiara tentunya. Rania memakaikan sabuk ke tubuh mungil Tiara. Di sebelah mereka duduk seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang elegan. Wajah cantiknya tak pupus meski usianya terlihat sudah tidak muda lagi.
"Hai, cantik, siapa namanya, Sayang?" Ibu itu menyapa Tiara dengan ramah.
"Iya, nek," ucap Tiara tak kalah ramahnya. Meski masih kecil, Tiara sudah bisa berkomunikasi dengan baik dan cukup ramah dengan orang lain. Meski dengan orang yang baru dikenalnya sekalipun."Oh, Iya. Iya mau coklat nggak?" Ibu itu pun mengulurkan sekotak kecil coklat pada Tiara. Tiara menata Rania dengan ragu. Rania tersenyum seraya menganggukkan kepala. Wajah Tiara langsung sumringah. Ia segera menerima coklat tersebut.
"Makasih, ya, Oma," ucap Tiara dengan suara riang.
"Mau ke Pekanbaru, Dek?" Ibu itu bertanya pada Rania."Iya, Bu," Rania mengangguk.
"Berdua aja?""Nanti ayahnya Iya nyucul lho, Oma." Tiba-tiba Tiara berkata dengan pedenya. Rania mencoba tersenyum. Tapi lagi-lagi bening itu tak bisa ditahan. Pandangan matanya kembali mengabur. Ibu itu seperti mengerti dengan duka yang dirasakan Rania. Ia menyentuh punggung tangan Rania dengan lembut.
Setelah pesawat lepas landas, dan Tiara tertidur, Rania dan ibu yang ternyata bernama ibu Dewi itu bercerita tentang kota Pekanbaru. Rania banyak bertanya bagaimana bumi Lancang Kuning itu sekarang.
Dan ibu Dewi menceritakannya dengan senang hati. Entah mengapa Rania langsung merasa dekat dengan ibu Dewi. Serasa bertemu dengan teman lama. Pada akhirnya tanpa Rania sadari, Rania bercerita tentang kemelut rumah tangganya kepada ibu Dewi.
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Berulangkali ibu Dewi memeluk pundak Rania untuk menenangkan kegundahan hati perempuan berusia 31 tahun itu. Sebelum pesawat mendarat, bu Dewi meminta Rania untuk menyimpan nomor wa nya.
"Jika perlu apa-apa, jangan segan-segan untuk menghubungi Ibu. Pintu rumah Ibu pun selalu terbuka untuk kalian berdua," ucap bu Dewi seraya menggenggap erat tangan Rania.
"Terima kasih, Bu." Rania menjawab dengan suara yang terdengar serak.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam 50 menit, pesawat pun mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Rania membangunkan Tiara dengan pelan. Syukurnya Tiara bukan anak yang rewel. Ia bangun tanpa merengek atau bertingkah macam-macam. Beberapa menit kemudian penumpang dipersilakan turun. Mereka pun bergegas menuju ruang pengambilan bagasi.
Setelah sama-sama mendapatkan bagasi masing-masing, Rania pamit pada bu dewi. Bu Dewi menawarkan tumpangan untuk Rania dan Tiara. Akan tetapi Rania menolaknya karena merasa tidak enak. Baru kenal sudah harus merepotkan. Rania mengatakan ada teman lama yang akan menjemputnya. Akhirnya setelah berpelukan, kami berpisah.
****Dengan memesan taksi akhirnya Rania kembali melewati jalan-jalan di Pekanbaru yang telah begitu banyak berubah. Dalam kurun waktu 8 tahun, Rania seperti tidak lagi mengenal kota ini. Gedung-gedung bertingkat, taman kota, dan yang paling menarik adalah bangunan ruko yang seperti tak habis-habisnya. Begitu pesat perkembangan kota ini.
"Kita udah di Pekanbaru, Bunda?" tanya Tiara yang masih memeluk boneka beruangnya.
"Iya, sayang. Ini Pekanbaru. Di sinilah Bunda lahir dan dibesarkan," ucap Rania seraya memeluk Tiara dengan penuh kasih. Lalu celoteh-celoteh riang fadis kecil itu menemani perjalanan mereka menuju rumah Rania di pinggiran kota Pekanbaru.
Hampir setengah jam perjalanan, mereka pun sampai di depan rumah orang tua Rania yang tanpak tak terurus. Rania menuntun Tiara turun dari taksi. Setelah membayar taksi dan mengucapkan terima kasih, perempuan dengan dandanan sederhana itu meletakkan kedua travel bag di depan pintu gerbang rumah, lalu ia bergegas ke rumah yang berada di sebelah rumah kedua orang tuanya.
"Assalammualaikum. Mak Tuo, Mak Tuo." Rania mengetuk pintu rumah saudara jauh ibunya itu
.
"Walaikumsalam, siapa?" Terdengar sahutan dari dalam rumah."Ini Rania, Mak Tuo," jawab Rania sedikit membesarkan volume suaranya. Tidak berapa lama pintu pun terbuka. Seorang wanita tua, Mak Tuo, telah berdiri di ambang pintu.
"Ya, Allah Nia. Lama sekali tidak pulang." Mak Tuo memeluk Rania dengan erat. Air mata Rania kembali tumpah. Teringat kedua orang tuanya yang telah tiada.
"Bunda nangis terus dari kemaren." Tiba-tiba Tiara menggoyang tangan Rania. Rania tersadar dan segera melepaskan pelukanku pada mak tuo."Eh, tidak, Nak. Ini karena Bunda udah lama nggak ketemu sama Nenek. Ayo, salim sama Nenek, Nak," ucap Rania seraya mengelus kepala Tiara. Tiara pun mengulurkan tangannya.
"Ini, anakmu Nia? Duh sudah besar ya, cantik lagi." Mak tuo merunduk dan mencium pipi temben Tiara."Iya, Mak Tuo, Tiara sudah hampir 4 tahun."
"Nia mau ambil kunci rumah Mak Tuo," ucap Rania seraya kembali menggenggam tangan Tiara.
"Masuk dulu, kita makan siang di sini dulu, baru nanti kamu dan anakmu masuk rumah. Nanti Mak Tuo bantu bersih-bersih di sana." ujar mak tuo seraya melebarkan daun pintu. Rania merasa tidak enak menolak.Akhirnya Rania mengajak Tiara untuk masuk ke dalam rumah kayu dengan model panggung itu. Udara di dalam rumah terasa sejuk, mungkin karena dinding dan lantai rumah semuanya terbuat dari kayu. Rumah-rumah orang Melayu memang asri, terutama rumah-rumah yang sudah berumur tua.
Karena halamannya luas dan rumahnya terbuat dari kayu dengan jendela yang lebar serta banyak. Mak tuo mempersilakan mereka duduk. Lalu mak tuo mulai sibuk menghidangkan makan siang. Rumah terlihat sepi. Anak perempuan mak tuo yang telah menikah juga tinggal di rumah ini, tetapi kalau siang hari ia dan suaminya berjualan di pasar bawah. Semetara tiga orang cucu mak tuo belum pulang dari sekolah.
****
Setelah makan siang dan menumpang sholat zuhur di rumah mak tuo, Rania pun beranjak menuju rumahnya. Mak tuo mengikuti mereka dari belakang. Mak tuo membuka kunci gembok pagar, lalu mendorongnya. Rumput-rumput liar terlihat tumbuh di antara pavling block yang terpasang di halaman depan. Terlihat sekali rumah yang tidak pernah dirawat dan diurus. Mak Tuo dengan cekatan membuka pintu rumah, lalu masuk ke dalam dan membuka semua jendela. Bau apek dan debu terasa menusuk hidung.
Di rumah inilah Rania melewatkan masa kecil, remaja, dan masa-masa sebelum menikah. Pernah ada keluarga yang hangat dan bahagia di rumah ini. Ketika ayah dan ibu masih hidup, ketika mereka masih berkumpula berempat. Kenangan demi kenangan kembali memenuhi kepala Rania.
Rania tidak tahu, bagaimana ia akan menjalani hari setelah ini. Bagaimana ia harus melewati hidup berdua dengan Tiara tanpa kehadiran sang suami. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari pekerjaan. Berbekal ijazah sarjana SI. Rania yakin masih bisa memperoleh pekerjaan yang layak di kota kelahirannya ini.
Bersambung …
KAMU SEDANG MEMBACA
"Kejamnya Cinta"
RomanceDemi wanit lain, Yuda meninggalkan Rania tanpa belas kasihan. Meski Rania bersedia berbagi cinta, tetapi Yuda tetap ingin berpisah. Karena Anggi, wanita yang telah dinikahinya tanpa seizin Rania tidak ingin menjadi yang kedua. Dengan luka dan air ma...