Mereka bertiga akhirnya sampai di sebuah game station pada salah satu mall di Pekanbaru. Tiara terlihat begitu senang. Ia berlari dari satu game ke game lainnya. Dan om Tyonya terlihat dengan sabar mengikuti kemanapun Tiara pergi, mendampingi Tiara memainkan berbagai macam game. Rania tersenyum dengan perasaan haru melihat kedekatan keduanya. Sejak akrab dengan Tyo, Tiara tidak pernah lagi menanyakan kapan ayahnya akan datang. Mungkin kehadiran Tyo sedikit banyak telah menggantikan sosok ayahnya di hati dan pikiran Tiara.
Tiba-tiba Tiara mendatangi tempat Rania duduk menunggu dan menarik bundanya itu. Rania mengikuti langkah gadis kecilnya di antara keramaian pengunjung. Ia membawa Rania ke tempat bola basket. Tiara masih ingat ternyata, dulu merka sering bermain bola basket.
Tyo mengekori mereka dari belakang."Om Tyo, aku sama Bunda main basket, ya," ucap Tiara seraya mengguncang tangan Tyo.
"Oke, Cantik. Kita akan bermain bersama," jawab Tyo seraya menggesekkan kartu ke mesin permainan. Tidak berapa lama bola-bola basket pun menggelinding ke luar dari palangnya.Tiara telah berdiri di atas meja mesin permainan. Lalu Rania dan Tiara segera bermain dengan penuh semangat. Mereka berdua berloncatan dan melemparkan satu per satu bola ke dalam ringnya. Tyo dengan sabar memberikan bola basket satu demi satu pada Tiara.
Mereka berdua bermain dengan gembira, apalagi jika bola berhasil masuk ke dalam ring, Tiara akan besorak kegirangan. Setelah beberapa kali game over Tiara akhirnya minta turun dan minta bermain game yang lainnya. Tiba-tiba ponsel Rania berbunyi. Rania memberi isyarat kepada Tyo untuk izin ke luar mengangkat telepon. Tyo mengangguk paham. Rania mencari tempat yang tidak terlalu ramai, di depan sebuah toko yang sedang direnovasi.
“Assalammualaikum.” Rania mengucapkan salam dengan hati yang masih ragu, karena hanya nomor yang tertera di layar ponsel.
“Waalaikumsalam.” Terdengar suara dingin di ujung sana. Deg, dada Rania bergemuruh. Suara yang sudah teramat lama tidak kudengar. Suara yang selalu dirindukan. Tapi juga suara yang sangat dibencinya.
“Ya, Mas, ada apa?” Rania mencoba menetralisir hati dan perasaannya.
“Kamu dan Tiara di mana?” tanyanya tanpa berbasa basi menanyakan kabar mereka. Rania menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit.
“Apa itu masih penting buat Mas?” suara Rania terdengar bergetar.
“Apa seperti itu sikap seorang istri yang baik? Meninggalkan rumah tanpa pamit dan permisi pada suaminya?” Rania tersenyum perih.
“Istri, Mas? Bukankah Mas sendiri yang mengatakan ingin berpisah? Aku rasa kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi, Mas” Suara Rania mulai terdengar biasa. Sekuat tenaga perempuan itu menahan air mata agar tidak tumpah. Ia tidak boleh menangis lagi.
“Aku berubah pikiran. Aku ingin kita kembali bersama. Bukankah, waktu itu kamu mengatakan bersedia menerima aku apa adanya.” Suara Yuda terdengar penuh keyakinan.
“Sekarang aku yang berubah pikiran, Mas. Aku menerima keputusanmu untuk berpisah.”
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Yuda terdiam untuk beberapa saat.
“Tapi aku kan tidak pernah melupakan kewajibanku sebagai seorang suami ataupun ayah. Aku selalu mengirimkan uang ke rekeningmu setiap bulannya.” Suara laki-laki itu terdengar begitu percaya diri. Ya, benar sekali setiap bulan ia masih mengirimkan uang belanja ke rekening Rania. Tetapi, jumlahnya setiap bulan semakin berkurang. Sampai terakhir, sebelum Rania memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah, uang yang dikirim Yuda tak cukup lagi untuk membayar listrik dan gaji pembantu. Untung dari awal menikah Rania membiasakan diri untuk selalu menabungkan uang belanja meski berapapun jumlahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Kejamnya Cinta"
RomanceDemi wanit lain, Yuda meninggalkan Rania tanpa belas kasihan. Meski Rania bersedia berbagi cinta, tetapi Yuda tetap ingin berpisah. Karena Anggi, wanita yang telah dinikahinya tanpa seizin Rania tidak ingin menjadi yang kedua. Dengan luka dan air ma...