Langkah 5 - Hantu Perawan

503 35 4
                                    

📍Kampus, pada suasana pagi yang cukup sejuk agak mendung.

Deru mesin motor milik Adin mulai terdengar memasuki parkiran khusus dosen. Memilih tempat beratap kanopi dekat pohon beringin, lelaki itu menempatkan kendaraan beserta helmnya dengan rapi sesuai marka.

Tak lupa ringan merapikan rambutnya yang masih setengah basah. Diakhiri mengecek bolak-balik sisi bawah sepatunya untuk memastikan tak ada benda aneh, kotor bahkan berbau yang menempel di sana.

Sudah menjauh lima langkah dari motor, lelaki itu kembali lagi untuk memantapkan diri bahwa ia tak malah membiarkan kontaknya tertinggal di lubang kunci.

"Oke," cicitnya kemudian menjentikkan jari, tanda itu sudah pasti aman, dengan gerakan menggoyang-goyangkan kemudi.

Kaki pria itu mengayun pelan di sepanjang koridor saat sosok perempuan kurus, tinggi montok berada semakin dekat. Parfum kelas atas yang menyengat tak kalah mengusik tentram bulu-bulu penghidu miliknya. Jika boleh jujur, membuatnya ingin bersin.

"Hai, selamat pagi, Din. Yok bareng," ajak Kania, Kaniantari Dewangi cukup semringah, terlihat sedikit mempercepat langkah dari perpotongan koridor yang lain agar sejajar pun seirama dengan Adin.

"Pagi juga, Nia. Gimana? Ini hari pertama kamu mengajar kan, excited?" Lelaki itu tampak mengulas senyum, kepalanya bergerak meneliti sesekali wajah Kania yang begitu berseri dengan riasan nuansa merah muda di sana.

"Yeah, tentu. Hal yang paling kutunggu, menyenangkan. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun menimba ilmu, tiba juga waktunya mentransfer apa yang aku mumpuni kepada mereka semua," jawab Kania sedikit dramatis sembari mengedarkan tangannya pada sekitar, dimana banyak mahasiswa sedang berjibaku dengan kegiatannya masing-masing.

"Aku yakin, mereka juga akan sangat antusias menyambut. Kamu energik, smart, murah senyum dan atraktif." Adin mengeluarkan kalimat yang nyatanya jarang bisa dia ungkapkan pada orang lain. "Cantik lagi," pungkasnya.

Kania terheran. "Din, kamu lagi muji aku barusan? Seorang Nadindra? Hmm, atau cuma ada-ada yaa biar aku senang?" tudingnya kemudian.

"Bukan cuma ada-ada lah, tapi emang benar adanya," lanjut Adin, sementara Kania merasa lelaki di depannya betulan tulus.

Dan, karena sedikit terbawa rasa, perempuan itu justru mematung, tak melanjutkan langkah. Hatinya mendadak riuh berdebar.

"Oh iya Ni, kamu ..." Adin yang baru saja menyadari segera berhenti dan langsung menoleh ke belakang. "Loh, kok malah berhenti, ngapain?" tanyanya dengan senyum lebar, seperti dirinya yang biasa, berperisa gula.

Kania mengerjap dan jadi agak salah tingkah. "Nggak, nggak apa-apa kok." Lalu, kembali berjalan menyusul sang teman sebangku saat sekolah dulu.

Benar, kemarin bukanlah pertemuan pertama mereka. Keduanya sudah menjalin pertemanan sejak masa SMA. Tidak terlalu akrab, namun tidak bisa juga disebut asing.

"Tadi kamu mau ngomong apa, Din?" Kania kembali membuka obrolan, sembari mengatur laju napasnya yang agak memburu.

"Itu, kalau misalnya nanti siang kamu selesai ngajar dan ada waktu senggang, kita makan bareng, sekalian aku ajak kamu keliling kota lagi, ke daerah SMA kita dulu."

Kania terlihat antusias. "Boleh Din, kayanya seru tuh dan pasti banyak banget yang udah berubah kan yaa sekarang? Aku mauuu."

Perempuan itu dengan raut yang menggemaskan tanpa sadar mengapit lengan kokoh lawan bicaranya, yang tentu terlihat semakin menawan di mata Adin, entahlah, sepertinya laki-laki ini sedikit tersihir sekarang.

_

🍂

"Grasak-grusuk banget sih lo, Dith! Nyari apa?" tanya Bagus dengan mulai menyantap pisang rebus yang baru ia comot dari keranjang merah hati di kantin tempat mereka berkumpul saat ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengejar Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang