Langkah 4 - Terancam!

843 51 9
                                    


Sebelumnya ....

"Jamet! Siapa yang masukkin gue?!?"

______________

"Kamu niat latihan nggak sih, Nik?"

Adin dengan tatapan kebapakannya menaruh rasa penasaran pada sosok pemuda yang usianya tak jauh beda dengan mahasiswa tingkat akhir di kampusnya kini.

Niko atau lebih lengkap Najendra Prioko Kusuma yang tak lain adalah juga kerabat dari Adin sendiri seketika meringis. Beranjak dari sisi jendela dan bergabung dengan lelaki itu yang sudah bersandar pada body samping piano hitam di sudut yang lain.

"Niat, Mas. Cuma kan aku ngikutin omongannya Mas Adin tadi yang nyuruh istirahat dulu 15 menit," ucapnya sesuai kenyataan dan segera mendaratkan bokong pada stool-nya.

"Nah itu maksudku, disuruh istirahat dulu biar nggak berat kepalamu, tapi kenapa kamu kok malah senyam-senyum sendiri gitu loh ... kaya orang nggak waras jatuhnya. Sudah sini lanjut, lagian berdiri disitu ngeliatin apa tho? Ikan duyung?" Adin kembali membuka buku berisi banyak partitur yang sedang mereka pelajari hari ini.

"Ikan pauuus," timpal Niko asal.

Selain menjadi tenaga pengajar di sebuah sekolah tinggi, Adin memang mengisi waktu luangnya dengan membuka les privat piano, baik dengan honor tertentu maupun sukarela terutama untuk anak-anak yang memang memiliki kecenderungan lebih pada bidang tersebut. Kemudian, soal Niko, pemuda berusia 24 tahun itu sudah aktif lagi belajar piano dengan Adin sejak lima bulan lalu ketika pada akhirnya Sang Ayah mau tidak mau mengijinkan dirinya untuk menuruti kata hati yakni berkecimpung di dunia seni.

"Kamu benar nggak mau nyoba-nyoba daftar kerja di rumah sakit? Sayang loh gelar keperawatanmu kalau nggak dipakai." Sembari mendengar dan menilai keahlian Niko memilin nada yang semakin hari semakin meningkat, Adin kembali membuka percakapan.

Melirik dengan sedikit cuek dan tetap berpusat pada apa yang sedang ia kerjakan, Niko menjawab, "Ah Mas Adin nih, masih bahas itu lagi. Udah dibilang jiwaku nggak disitu loh. Lagian aku kuliah di jurusan itu juga karena nurutin maunya Bapak. Ya kalau jadi relawan sih masih oke-oke aja, tapi serius kali ini biarlah ... aku pingin coba mengejar apa yang memang jadi keinginanku sejak dulu yaitu-"

"Jadi pianis handal yang dikenal banyak orang, bikin konser tunggal yang tiketnya sold hingga ribuan lembar, itu kan?" potong Adin yang sudah sangat hapal dengan kalimat yang selalu Niko jadikan afirmasi sejak muda belia dengan semburat senyum dukungan.

Tertawa antusias. "Nah itu Mas tahu, jadi nggak usah ya bawa-bawa gelar ijazah lagi mulai sekarang." Pemuda itu memperingatinya dengan kedipan jenaka.

"Iyaa, lagian nggak salah juga kok dengan keputusanmu, selama itu baik silahkan, kesempatan sukses bisa terbuka dari banyak pintu. Selama gak makan rumput tetangga, harusnya dibiarkan aja. Cuma ya kadang masih ada aja kan yang menganggap orang itu harus bekerja sesuai dengan ijazahnya, kaya aku gini, maaf ya," canda Adin yang matanya seolah hampir tenggelam seiring dengan senyumnya yang merekah lebar.

Menanggapi lagi. "Kalau Mas Adin sih emang dasarnya idealis, sampai cewek-cewek juga takut ngedeketin, oops!" Niko lantas bertingkah seolah-olah setelah mengatakannya.

Adin tercengang namun menahan tawa kembali bersamaan. "Loh kamu nih kok muterin topik sih? Nyerang aku balik dengan perkara perempuan?"

"Memang nyatanya Mas Adin, buktinya Budhe Rifka curhat terus sama Ibuku, takut kalau-kalau anaknya ...." Agak mendekat, dia berbisik, "Ternyata pemuja terong juga a.k.a 'belok'." Lagi-lagi Niko seketika menutup mulut seakan dirinya sudah salah bicara, sebelum akhirnya menggelakkan tawa puas.

Mengejar Mas DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang