Luo Binghe bisa menyebut hari ini adalah salah satu hari terburuknya. Karena pertama, dia lupa jika dia punya kelas pagi. Dan kedua, Huacheng sakit. Ya, Sakit. Makhluk itu akhirnya bisa sakit juga. Dan Ketiga, dia lupa kelas pagi karena Huacheng sakit!
Dia pikir biasanya Huacheng akan keluar sendiri dari kamarnya saat jam enam pagi untuk menonton TV seperti biasa. Tapi dia tidak melihat batang hidungnya sampai jam setengah tujuh, apa bocah ini tidak masuk sekolah atau bagaimana? Jadinya dia menghampiri kamarnya dan mengetuknya.
Sudah lama mengetuk, tapi Luo Binghe tidak mendapat jawaban sama sekali. Akhirnya dia memutuskan untuk membukanya saja, dan ia menemukan adiknya masih tertidur di ranjangnya dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Apakah dia baik-baik saja?
"Huacheng...? kau tidak sekolah hari ini?" tanyanya dan menggoyangkan tubuh adiknya.
Lalu adiknya tidak menjawab.
"Huacheng," panggilnya lagi lalu membuka selimut adiknya dan ia menemukan wajahnya sudah berkeringat dan memerah. Saat ia menyentuh dahinya, sudah dipastikan anak ini demam.
Sungguh? Akhirnya semua angin malam minggu itu menyerangnya sekarang. Anak ini suka tidak ingat waktu jika sedang bermain. Dia akan berangkat jam lima sore dan pulang jam 10 malam, setiap malam sabtu. Walaupun dalam dua minggu ini dia tidak kemana-mana, dan pergi di hari minggu siangnya tapi tetep saja!
Luo Binghe menghela napasnya, kapan terakhir kali Huacheng demam? Dia tidak tahu. Apa kebiasaan Huacheng saat demam? Dia juga tidak tahu. Jadi dia benar-benar tidak punya petunjuk bagaimana menangani orang yang sakit. Apa seharusnya dia bawa ke dokter saja? Tidak usah, mahal, lagi dia Cuma demam, kalau napasnya sudah di leher baru akan Luo Binghe bawa ke dokter.
Oke, karena dia tidak tahu apa-apa tentang cara merawat orang yang sakit dengan baik dan benar. Ia akhirnya ngide untuk membuka selimut Huacheng. Bukankah biasanya orang demam harus berkeringat? Tapi saat Luo Binghe membuka selimut Huacheng, bocah itu tidak bereaksi apapun. Benar-benar tidak bereaksi apapun.
Luo Binghe menjadi panik sendiri, apa napas anak ini sudah benar-benar tinggal di leher?!
"Huacheng? Hei, Bisa dengar aku? Huacheng!" Panggilnya seraya menepuk pelan pipi adiknya.
Luo Binghe menunggu reaksi Huacheng dengan jantung berdetak kencang tapi bukan karena cinta, dan lebih dari degdeg-an dari menuggu hasil test keluar—walaupun aslinya Luo Binghe tidak pernah terlalu khawatir dengan hasil tesnya karena dia penganut sistem belajar kerjakan dan lupakan.
Lalu anak itu membalas panggilan Luo Binghe hanya dengan hmmm tidak niat. Luo Binghe menghela napasnya lega, setidaknya napas anak ini tidak benar-benar tinggal di leher. Karena kalau sudah di leher, Luo Binghe belum siap menikah dengan pidato 'untuk almarhum adik saya, Huacheng. Kakak ini berhasil mendapatkan dokter muda cantik nan halus sebagai istri sesuai cita-cita kamu dulu. Karena kamu sudah tidak bisa menggapai cita-cita itu, hiks, kakak yang melaksanakannya, cheng, Kakak!' oke ngaco, omong-omong, karena pikiran Huacheng itu liar sedari kecil, jika ditanya cita-citanya apa, dia tidak seperti anak lain yang akan menjawab dokter atau semacamnya, tapi Huacheng akan bilang menjadi suami bu dokter. Tapi karena dia pernah disuntik sekali, cita-citanya luntur hingga kini.
Karena Huacheng setidaknya bisa menjawab panggilan kakaknya, Luo Binghe tidak mau nekat ngide lagi dan akhirnya pergi ke dapur untuk menyiapkan kompresan. Tapi sesampainya di dapur, dia punya delima, pakai air dingin atau air biasa? Atau bahkan pakai air hangat?? Dia tidak mau ngasal karena dia ingat semboyan minyak kayu putih merek cap Lian 'buat anak, jangan coba-coba~'.
Saat sedang asik-asiknya delima batin, tiba-tiba Luo Binghe mendengar suara dentuman 'dug' tidak jauh darinya. Pasti Huacheng jatuh dari ranjang, batin paniknya. Tapi saat dia hendak pergi ke kamar Huacheng, ternyata suara dug itu berasal dari sofa di depan TV dan sudah ada Lan Wangji tergelatak di tanah. Apa lagi ini?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily life of Rainbow [MXTX Fanfiction]
FanficKeseharian absurd dan tidak jelas dari bujang-bujang yang menjelajahi apa arti persaudaraan, pertemanan, dan percintaan dari sudut pandangnya masing-masing. Belajar bagaimana menghargai kehidupan sederhana mereka dengan cara melengkapi satu sama la...